PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g82_No5 hlm. 32
  • Perkataan yang Paling Berat

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Perkataan yang Paling Berat
  • Sedarlah!—1982 (No. 5)
  • Bahan Terkait
  • Esau
    Pemahaman Alkitab, Jilid 1
  • Yakub dan Esau Berdamai
    Belajarlah dari Cerita-Cerita di Alkitab
  • Warisan Jadi Milik Yakub
    Belajarlah dari Cerita-Cerita di Alkitab
  • Anak Kembar Dua yang Berbeda
    Buku Cerita Alkitab
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1982 (No. 5)
g82_No5 hlm. 32

Perkataan yang Paling Berat

”KASIHAN istriku,” kata seorang suami yang simpatik. ”Ia sudah bersusah payah memasak makanan siang untuk beberapa temannya yang masih muda. Tetapi sewaktu mereka seharusnya tiba, tidak seorang pun yang muncul. Mula-mula ia hanya sedikit tersinggung, Lalu jengkel. Kemudian sangat marah sampai hampir menangis seraya waktu semakin siang. Makanan ’khusus’ yang ia buat mulai hangus. Tidak seorangpun datang untuk menjelaskan mengapa mereka terlambat.” Ia meneruskan: ’Dalam keadaan seperti itu anda mulai kuatir jangan-jangan terjadi sesuatu yang jauh lebih buruk. (Ada apa dengan mereka? Jangan-jangan ada kecelakaan.) Akhirnya, dua orang muncul. Yang lain tidak datang sama sekali.”

Walaupun kejadian seperti ini dapat menyebabkan putusnya persahabatan, untung sekali bahwa tingkah laku Kristen lebih unggul. Sang suami berkata: ”Esoknya istriku mengharapkan air mata penyesalan ketika ia bertemu ketiga temannya yang pelupa itu. Sebaliknya ia langsung diberi salam disertai senyuman yang gelisah. Beberapa hari berlalu. Aku bangga bahwa isteriku mengambil inisiatif mendekati teman-temannya. Menangis sedikit, pelukan sedikit dan persoalannya beres. Tetapi masih ada pertanyaan dalam pikiranku: ’Tidak mungkinkah seandainya mereka hanya mengatakan: ”Maafkan kami”?’”

Ada benarnya bagian ulangan dari lagu populer yang berbunyi: ”Kata maaf rasanya paling berat diucapkan.” Mengapa? Mungkin karena ”maaf” berarti mengaku salah. Memang, tidak sulit untuk mengaku salah secara umum. Katakanlah kepada seseorang: ”Anda tidak sempurna!” Kemungkinan sekali ia akan menjawab, ”’Kan semua juga tidak sempurna?” Tetapi coba katakan bahwa ia egois, sombong, tinggi hati, tidak punya perasaan, kekanak-kanakan atau menjengkelkan, maka anda akan melukai perasaannya. Tidak heran Alkitab menasihatkan kita untuk melupakan, menanggung dan mengampuni kesalahan orang lain.—Amsal 17:9; Efesus 4:32; Kolose 3:13.

Walaupun terlambat datang untuk makan siang kelihatannya remeh, justru kesalahan kecil demikian sering menimbulkan hambatan yang seolah-olah tak teratasi di antara orang-orang. Tetapi hambatan sedemikian sering dapat disingkirkan dengan pernyataan sederhana, ”Maafkan aku.”

Ya, tetapi siapa yang harus lebih dulu mengatakannya? ”Bukan saya!” kata anda. Anda sudah menganalisa keadaannya dan menanggap diri ”tidak bersalah.” ”Salah satu pasti benar,” anda berkukuh. Tetapi cara berpikir demikian tidak membantu anda untuk menyadari bahwa ”lawan” anda mungkin memandangnya dari sudut yang berbeda. (Amsal 18:17) Akibatnya, jalan buntu. Dengan memandang pernyataan maaf sebagai kekalahan, kedua pihak menggali jurang dan bersiap untuk suatu peperangan yang panjang.

Namun, Alkitab memperlihatkan bahwa bahkan permusuhan yang berlarut-larut dapat diselesaikan jika orang bersedia mengorbankan gengsi. Pertimbangkan, misalnya, kepala keluarga Yakub. Ia rela mengorbankan bukan hanya gengsinya untuk mengakhiri suatu perselisihan. Persaingan dengan saudara kembarnya, Esau, dapat dijejaki kembali sampai saat kelahiran mereka. Hal ini meledak menjadi kebencian yang hebat ketika Yakub mengatur keadaan demikian rupa untuk menerima hak kesulungan, yang Esau telah jual kepadanya untuk semangkok bubur merah. (Kejadian 25:22-34; 27:1-41) Yakub lari meluputkan kehidupannya! Berlalunya banyak tahun tidak mengurangi kebencian Esau kepada Yakub.

Akhirnya tiba hari konfrontasi. Yakub dengan rendah hati mengirim utusan-utusan, memohon untuk bertemu dengan Esau. Dengan membaca Kejadian pasal 32 dan 33 anda dapat merasakan ketegangan yang timbul seraya dua saudara yang mengalami permusuhan ini siap untuk bertemu; Yakub dengan kawanan binatang dan anak-anaknya, Esau dengan gerombolannya sebanyak 400 orang! Pasti Esau sudah merancang pembunuhan. Tetapi Yakub sudah bertekad untuk berdamai. Ia dengan rendah hati memberikan bukti persahabatan, dan alangkah hebatnya bukti tersebut! Ratusan ternak yang berharga, kambing, domba dan banyak lembu, unta dan sapi jantan, yang diserahkan oleh hamba-hamba Yakub menjadi persembahan untuk perdamaian. Bayangkan keheranan Esau melihat pertunjukan kemurahan ini!

Tetapi perdamaian menuntut lebih lagi. Berhadapan muka dengan Esau, apa yang dilakukan oleh Yakub? ”Dan ia sendiri berjalan di depan mereka dan ia sujud sampai ke tanah tujuh kali, hingga ia sampai ke dekat kakaknya itu,” seolah-olah mengakui berhadapan dengan seorang yang jauh lebih tinggi. Hasilnya? ”Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka.”—Kejadian 32:13-15; 33:1-4.

Pelajarannya? Dalam perselisihan pribadi, ada yang lebih penting dari pada siapa yang ”benar” atau ”salah.” Penting agar perdamaian dipulihkan. Jadi, bila perselisihan timbul, tanyalah diri anda, ”Apakah aku melihat dari sudut pandangan dia? Apakah aku menanganinya dengan cara Kristen? Maukah aku merendahkan diri? Karena telah membuat terganggu perasaan orang lain, dapatkah aku lebih dulu mengatakan, ’Maafkan saya’?”

Ada pepatah, ”Maaf hanya satu kata.” Tetapi satu kata yang penuh kuasa. Berusahalah menjadi yang pertama untuk mengatakannya.—Matius 5:9, 23, 24.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan