PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g 11/91 hlm. 8-9
  • Dibesarkan di Sebuah Kota Afrika

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Dibesarkan di Sebuah Kota Afrika
  • Sedarlah!—1991
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Masuk Sekolah
  • Mencuci dan Mengambil Air
  • Anak-Anak sebagai Jaminan Keselamatan
  • Kunci-Kunci Menuju Pendidikan yang Baik
    Sedarlah!—1995
  • Perlukah Saya Meninggalkan Bangku Sekolah?
    Pertanyaan Kaum Muda—Jawaban yang Praktis
  • Sekolah yang Sukses yang Ada di Seluas Dunia
    Sedarlah!—1995
  • Apa Aku Berhenti Sekolah Saja?
    Sedarlah!—2010
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1991
g 11/91 hlm. 8-9

Dibesarkan di Sebuah Kota Afrika

Laju pertumbuhan penduduk di negara-negara pinggir Sahara Afrika termasuk di antara yang tertinggi di dunia. Di sana setiap wanita, rata-rata, melahirkan lebih dari enam anak. Kemiskinan, lingkungan yang semakin buruk, dan kelangkaan sumber-sumber daya hanya menambah kesukaran. Inilah laporan langsung tentang keadaan hidup di belahan bumi itu.

SAYA dibesarkan di sini, di sebuah kota besar di Afrika Barat. Ada tujuh orang anak dalam keluarga kami, tetapi dua orang meninggal pada waktu masih kecil. Rumah kami hanyalah ruang tidur dan ruang tamu kontrakan. Ayah dan Ibu tidur di ruang tidur, dan kami anak-anak tidur di atas tikar di lantai ruang tamu, anak-anak lelaki di suatu sisi ruangan, dan anak-anak perempuan di sisi yang lain.

Seperti kebanyakan orang di lingkungan kami, kami tidak mempunyai banyak uang, dan kami tidak selalu memiliki setiap hal yang kami butuhkan. Kadang-kadang bahkan tidak tersedia cukup makanan. Di pagi hari, sering kali tidak ada sesuatu untuk kami makan kecuali nasi sisa kemarin yang dipanaskan kembali. Kadang-kadang, bahkan itu pun tidak mencukupi. Berbeda dengan anggapan beberapa orang bahwa seorang suami, sebagai pencari nafkah, harus mendapatkan porsi yang terbesar, baru sang istri, sedangkan anak-anak hanya mendapat sisa-sisa, orang-tua kami mengalah dan membiarkan kami, anak-anak, memakan apa yang ada. Saya menghargai pengorbanan mereka.

Masuk Sekolah

Beberapa orang di Afrika beranggapan bahwa hanya anak-anak lelaki yang harus pergi sekolah. Mereka merasa bahwa anak-anak perempuan tidak perlu sekolah karena mereka akan menikah dan suami mereka akan memelihara mereka. Orang-tua saya tidak sepaham dengan pandangan itu. Kami berlima disekolahkan. Namun, itu merupakan beban keuangan bagi orang-tua saya. Barang-barang seperti pensil dan kertas tidak jadi masalah, akan tetapi buku-buku pelajaran sangat mahal, begitu pula seragam sekolah yang diwajibkan.

Ketika saya mulai masuk sekolah, saya tidak memiliki sepatu. Baru sesudah saya duduk di kelas dua sekolah dasar, saat saya berusia 14 tahun, orang-tua saya mampu membelikan saya sepatu. Tetapi, itu tidak berarti saya sama sekali tidak mempunyai sepatu. Satu-satunya sepatu yang saya miliki dipakai bila ke gereja, dan saya tidak diperbolehkan untuk memakainya ke sekolah maupun ke tempat-tempat lain. Saya harus pergi dengan kaki telanjang. Kadang-kadang, ayah saya dapat membelikan karcis bis, tetapi jika tidak, kami harus jalan kaki pulang-pergi ke sekolah. Jaraknya kira-kira tiga kilometer sekali jalan.

Mencuci dan Mengambil Air

Kami mencuci pakaian di sungai kecil. Saya ingat sewaktu pergi ke sana bersama ibu, yang menjinjing ember, sebatang sabun dan pakaian kotor. Di sungai, Ibu akan mengisi ember dengan air, meletakkan pakaian-pakaian di dalamnya dan menggosokkan sabun. Lalu, ia akan memukul-mukul pakaian pada batu-batu licin dan membilasnya di sungai. Setelah itu, ibu menebarkan pakaian-pakaian di bebatuan lain untuk dikeringkan karena pakaian-pakaian tersebut terlalu berat untuk dibawa dalam keadaan basah. Saya masih muda pada waktu itu, maka saya ditugaskan untuk menjaga pakaian-pakaian yang kering agar tidak dicuri orang. Ibu melakukan hampir semua pekerjaan itu.

Sedikit orang memiliki saluran pipa air ke rumah mereka, maka salah satu tugas saya sehari-hari adalah untuk pergi membawa timba ke kran di luar, yang disebut pipa tegak. Masalahnya adalah selama musim kering banyak pipa tegak dikunci untuk menghemat air. Pada suatu waktu, kami melewatkan sehari penuh tanpa air untuk minum. Tidak setetes pun! Kadang-kadang, saya harus berjalan beberapa kilometer untuk mencari hanya satu timba air. Membawa air di kepala sambil menempuh perjalanan demikian jauh merontokkan rambut saya pada tempat menaruh timba tersebut. Kepala saya botak setempat pada usia sepuluh tahun. Saya senang bahwa sekarang rambut saya tumbuh kembali.

Anak-Anak sebagai Jaminan Keselamatan

Dengan mengenang kembali, saya dapat mengatakan bahwa kehidupan kami berada pada tingkat rata-rata, bahkan di atas rata-rata untuk ukuran daerah kami di Afrika. Saya mengenal banyak keluarga lain yang standar hidupnya jauh lebih buruk daripada kami. Banyak teman sekolah saya harus berjualan di pasar sebelum dan sepulang sekolah agar dapat menghasilkan uang bagi keluarga mereka. Yang lain tidak mampu membeli sesuatu untuk makan pagi sebelum sekolah, dan mereka akan meninggalkan rumah dalam keadaan lapar dan berada di sekolah seharian tanpa makanan. Saya dapat mengingat sering kali saya makan roti di sekolah dan salah seorang dari antara anak-anak ini datang dan memohon kepada saya ketika saya sedang makan roti di sekolah. Maka saya akan membelah-belah roti itu untuk berbagi dengannya.

Di tengah kesukaran dan kekerasan hidup demikian, kebanyakan orang masih menyukai untuk memiliki keluarga besar. ”Satu anak bukanlah anak,” demikian kata banyak orang di sini. ”Dua anak adalah satu, empat anak adalah dua.” Itu karena angka kematian bayi di sini termasuk yang tertinggi di dunia. Orang-tua tahu bahwa walaupun beberapa anak mereka akan mati, beberapa anak akan hidup, bertumbuh, mendapat pekerjaan, dan membawa pulang uang. Kemudian mereka akan dapat merawat orang-tua mereka yang sudah lanjut usia. Di negeri yang tidak memiliki tunjangan sosial, hal ini sangat berarti.—Seperti diceritakan oleh Donald Vincent.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2026)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan