PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g97 22/1 hlm. 3-4
  • Toleransi dari Ekstrem ke Ekstrem

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Toleransi dari Ekstrem ke Ekstrem
  • Sedarlah!—1997
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Dari Toleransi ke Fanatik
  • Dari Toleransi ke Perbuatan Amoral
  • Melindungi Kebebasan​—Bagaimana?
    Sedarlah!—1999
  • Keseimbangan yang Patut Dapat Mempermanis Kehidupan Anda
    Sedarlah!—1997
  • Lentuk, namun menurut Standar-standar Ilahi
    Sedarlah!—1997
  • Toleransi
    Sadarlah!—2015
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1997
g97 22/1 hlm. 3-4

Toleransi dari Ekstrem ke Ekstrem

KEINDAHAN panorama Lembah Kashmir menggugah seorang filsuf abad ke-16 untuk berseru, ”Jika di dunia ini ada firdaus, di sinilah letaknya!” Jelaslah, ia sama sekali tidak menyadari apa yang akan terjadi di kemudian hari di bagian dunia itu. Dalam lima tahun terakhir, sekurang-kurangnya 20.000 jiwa tewas di sana dalam pertikaian antara kaum separatis dan Angkatan Bersenjata India. Surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung sekarang melukiskan wilayah itu sebagai ”Lembah air mata”. Lembah Kashmir memberikan pelajaran yang sederhana namun berharga: Tanpa toleransi, daerah yang berpotensi menjadi firdaus dapat binasa.

Apa artinya bersikap toleran? Menurut Collins Cobuild English Language Dictionary, ”jika Anda bersikap toleran, Anda membiarkan orang lain memiliki sikap dan kepercayaannya sendiri, atau berperilaku dengan cara tertentu, bahkan sekalipun Anda tidak sependapat atau tidak berkenan dengan hal-hal tersebut”. Sungguh sifat yang bagus untuk dipertunjukkan! Pastilah kita merasa tenteram berada di antara orang-orang yang merespek kepercayaan dan sikap kita, bahkan apabila hal itu berbeda dengan yang mereka miliki.

Dari Toleransi ke Fanatik

Lawan dari toleransi adalah sikap tidak toleran, yang memiliki beberapa tingkat intensitas. Sikap tidak toleran dapat berawal dari ketidaksukaan yang picik atas perilaku atau cara seseorang melakukan sesuatu. Pikiran sempit mencekik kenikmatan hidup dan menutup pikiran seseorang terhadap gagasan-gagasan baru.

Misalnya, seorang yang kaku mungkin terperangah melihat antusiasme yang penuh gairah dari seorang anak. Seorang pemuda mungkin merasa bosan terhadap sikap tenang dari orang yang lebih tua darinya. Coba saja minta seseorang yang sangat berhati-hati untuk bekerja sama dengan seseorang yang berjiwa petualang, mereka berdua mungkin dapat menjadi jengkel. Mengapa mereka harus terperangah, bosan, atau jengkel? Karena, dalam setiap kasus, orang ini merasa sulit untuk mentoleransi sikap atau perilaku orang lain.

Apabila sikap tidak toleran berkembang, pikiran sempit dapat memburuk menjadi prasangka, yakni perasaan anti terhadap suatu kelompok, ras, atau agama. Yang lebih buruk dari prasangka adalah kefanatikan, yang dapat diperlihatkan dalam bentuk kebencian yang bengis. Akibatnya adalah penderitaan dan pertumpahan darah. Pikirkan akibat dari sikap tidak toleran selama Perang Salib! Bahkan dewasa ini, sikap tidak toleran merupakan penyebab dalam konflik-konflik di Bosnia, Rwanda, dan Timur Tengah.

Toleransi menuntut adanya keseimbangan, dan mempertahankan keseimbangan yang patut tidaklah mudah. Kita seperti bandul jam yang berayun dari satu sisi ke sisi yang lain. Kadang-kadang, kita memperlihatkan terlalu sedikit toleransi; kadang-kadang, terlalu banyak.

Dari Toleransi ke Perbuatan Amoral

Apakah mungkin untuk bersikap terlalu toleran? Senator AS Dan Coats, dalam pidatonya pada tahun 1993, melukiskan ”suatu perdebatan tentang makna dan praktek dari toleransi”. Apa yang ia maksudkan? Sang senator menyatakan keprihatinannya bahwa atas nama toleransi, beberapa orang ”meninggalkan kepercayaan akan kebenaran moral​—apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang benar dan apa yang salah”. Orang-orang semacam itu merasa bahwa masyarakat tidak berhak menghakimi mana perilaku yang baik dan mana yang buruk.

Pada tahun 1990, politisi Inggris Lord Hailsham menulis bahwa ”musuh moralitas yang paling memautkan bukanlah ateisme, agnostisisme, materialisme, ketamakan atau faktor apa pun yang diduga orang. Musuh sejati dari moralitas adalah nihilisme, paham yang meyakini sesuatu yang secara harfiah nihil”. Jelaslah, jika kita meyakini sesuatu yang nihil, kita tidak punya standar berkenaan perilaku yang pantas dan segala sesuatu dapat ditoleransi. Tetapi apakah patut untuk mentoleransi semua bentuk tingkah laku?

Tidak demikian menurut seorang kepala sekolah menengah umum dari Denmark. Dalam sebuah artikel surat kabar yang ditulisnya pada awal tahun 1970-an, ia mengeluh tentang iklan-iklan surat kabar untuk pertunjukan porno yang melukiskan hubungan seksual antara binatang dan manusia. Iklan-iklan ini diperbolehkan karena ”toleransi” ala Denmark.

Jelaslah, problem-problem akan muncul jika toleransi dipertunjukkan dalam kadar yang terlalu sedikit maupun yang terlalu banyak. Mengapa sulit untuk menghindari sikap-sikap ekstrem dan tetap dalam keseimbangan yang patut? Silakan baca artikel berikut.

[Gambar di hlm. 3]

Reaksi berlebihan terhadap kesalahan anak dapat membawa akibat yang merusak bagi mereka

[Gambar di hlm. 4]

Mentoleransi apa pun yang dilakukan anak-anak tidak akan membuat mereka bertanggung jawab dalam kehidupan

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan