PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g98 22/12 hlm. 12-15
  • Dari Pahlawan Perang Menjadi Prajurit Kristus

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Dari Pahlawan Perang Menjadi Prajurit Kristus
  • Sedarlah!—1998
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Pembebasan
  • Dilatih Dalam Agama dan Perang
  • Perubahan Pascaperang
  • Mengambil Pendirian Saya
  • Akhirnya​—Prajurit Kristus!
  • Jangan Undur
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1984 (s-4)
  • Prajurit
    Pemahaman Alkitab, Jilid 2
  • Kenangan Saya sebagai Sejarawan Militer
    Sedarlah!—1993
  • Selalu Menemukan Sesuatu untuk Dilakukan bagi Yehuwa
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1989
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1998
g98 22/12 hlm. 12-15

Dari Pahlawan Perang Menjadi Prajurit Kristus

SEBAGAIMANA DICERITAKAN OLEH LOUIS LOLLIOT

Pada tanggal 16 Agustus 1944, saya berada di antara pasukan Sekutu yang mendarat di pantai selatan Prancis pada Perang Dunia II. Setelah seminggu bertempur di Pesisir Laut Tengah, skuadron tank saya memasuki pelabuhan Marseilles dan bertempur hingga mencapai bukit ke arah Basilika Notre-Dame-de-la-Garde. Misi kami adalah merebut kubu-kubu Jerman di sana.

PERTEMPURANNYA sangat hebat. Sebuah tank dalam kelompok saya terkena serangan, dan tiga teman saya di dalamnya tewas. Kemudian, sebutir ranjau menghancurkan salah satu penapak dari tank saya sehingga melumpuhkannya. Bertekad pantang mundur, kami terus berjuang selama beberapa jam berikutnya.

Sambil memegang sepucuk senapan mesin di tangan yang satu serta bendera Prancis di tangan yang lain, saya memanfaatkan jeda sesaat dalam pertempuran dan bergerak maju dengan berjalan kaki bersama seorang pejuang gerakan Pembebasan Prancis. Dalam keadaan lesu dan tubuh terbalut bubuk mesiu, saya menancapkan bendera Prancis di pintu masuk basilika tersebut.

Pembebasan

Pada minggu-minggu berikutnya, kami bergerak ke arah utara untuk mengejar tentara Jerman yang sedang mundur. Para penembak gelap serta kabel-kabel yang dipasang setinggi kepala melintasi jalan memaksa kami bergerak maju dengan lubang masuk tank-tank kami tertutup rapat.

Pada bulan Oktober, detasemen kami tiba di Ramonchamp, sebuah kota kecil di Pegunungan Vosges di bagian timur laut Prancis. Kota itu tampaknya telah ditelantarkan. Sewaktu saya berdiri di menara meriam tank saya dan memeriksa keadaan sekeliling, tiba-tiba sebuah roket yang ditembakkan dari sebuah jendela melesat ke dalam tank dan meledak, seketika itu juga menewaskan ketiga anak buah saya. Saya dan seorang prajurit lain mengalami cedera parah, sedangkan tank itu lumpuh total. Meskipun kaki saya terkena 17 serpihan roket, saya mengambil alih kendali atas tank tersebut sementara tank lain menarik kami.

Karena insiden ini, saya menerima pujian melalui pesan-pesan kilat ke markas. Beberapa hari kemudian, sewaktu Jenderal de Lattre de Tassigny, komandan Angkatan Bersenjata Pertama Prancis, menyematkan tanda jasa pada saya atas prestasi saya di Marseilles, ia berkomentar, ”Kita akan bertemu lagi dalam waktu dekat.”

Tak lama setelah itu, saya ditugasi menjadi atase pribadi jenderal. Beberapa waktu kemudian, saya menemaninya ke Berlin sewaktu ia mewakili Prancis dalam acara penyerahan diri Jerman pada tanggal 8 Mei 1945. Selama empat tahun berikutnya, saya selalu berada bersamanya, siap menaati semua perintahnya.

Namun, bagaimana saya sampai terlibat sedemikian jauh dalam peristiwa-peristiwa utama dari Perang Dunia II?

Dilatih Dalam Agama dan Perang

Saya dibesarkan sebagai penganut Katolik Roma yang saleh dengan hasrat untuk melayani Allah dan negara saya. Pada tanggal 29 Agustus 1939, persis beberapa hari sebelum Prancis ikut dalam Perang Dunia II, saya mendaftarkan diri untuk bergabung dalam kavaleri bermotor. Saya baru berusia 18 tahun. Setelah lima bulan dilatih di École Militaire (Akademi Militer) di Paris, saya diutus ke garis depan Prancis bagian timur sebagai tamtama.

Ini adalah masa yang dikenal sebagai perang bohongan, disebut demikian karena yang kami lakukan hanyalah menunggu tentara Jerman yang sedang sibuk bertempur di garis depan lain. Kemudian, sewaktu Jerman akhirnya menyerang, saya tertangkap dan ditahan pada bulan Juni 1940. Dua bulan kemudian, saya berhasil melarikan diri, dan akhirnya dapat bergabung dengan pasukan Prancis di Afrika Utara.

Dalam kampanye militer di Tunisia melawan tentara Jerman di bawah Jenderal Erwin Rommel, yang dijuluki Desert Fox (Rubah Gurun), lebih dari 70 persen tubuh saya menderita luka bakar dan saya dalam keadaan koma selama sembilan hari. Selama tiga bulan saya berada di rumah sakit di Sidi-bel-Abbès, bagian barat laut Aljazair, tempat kantor pusat Legiun Asing Prancis berada. Sewaktu berada di Afrika Utara, saya menerima Salib Militer, Croix de Guerre.

Para imam Katolik mendesak kami untuk menunaikan tugas ”Kristen” kami. Mengikuti desakan mereka, saya siap berkorban jiwa demi Prancis. Sebisa mungkin, saya menerima Komuni sebelum setiap pertempuran. Dan, sewaktu berada dalam pertempuran yang sengit, saya berdoa kepada Allah dan Perawan Maria.

Saya merespek setiap prajurit musuh, banyak dari antaranya juga adalah penganut Katolik Roma yang saleh. Ada yang mengenakan sabuk dengan gesper berukirkan Gott mit uns (Allah beserta kita). Bukankah aneh untuk berpikir bahwa Allah akan menjawab doa para prajurit di kedua belah pihak yang bertempur, namun kedua-duanya menganut agama yang sama?

Perubahan Pascaperang

Seusai perang, pada tanggal 10 April 1947, saya menikahi Reine, seorang gadis dari kota kelahiran Jenderal de Lattre de Tassigny yakni Mouilleron-en-Pareds, di Vendée. Sang jenderal menjadi saksi perkawinan saya. Setelah kematiannya pada bulan Januari 1952, saya membawa panjinya pada upacara pemakaman kenegaraan untuknya.

Kemudian, pada suatu hari Minggu pagi di pengujung tahun 1952, sewaktu saya dan istri saya sedang bersiap-siap hendak menghadiri Misa bersama putri kami yang masih kecil, dua Saksi-Saksi Yehuwa membunyikan bel pintu kami. Apa yang mereka katakan mengenai Alkitab membangkitkan rasa ingin tahu kami. Meskipun saya dan istri saya sangat religius, kami tidak banyak tahu mengenai Alkitab, karena gereja melarang kami membacanya. Saksi yang menawarkan pengajaran Alkitab bersama kami adalah Léopold Jontès, yang pada waktu itu sebagai pengawas kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di Prancis. Dari pelajaran Alkitab kami, akhirnya saya berhasil menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab sejak masa kanak-kanak.

Misalnya, saya selalu merasa penasaran dengan Doa Bapa Kami. Sebagai penganut Katolik, saya percaya bahwa semua orang baik pergi ke surga sewaktu mereka meninggal, jadi saya tidak dapat mengerti mengapa kami berdoa kepada Allah, ”Jadilah kehendak-Mu di bumi”. (Matius 6:9, 10, TB; cetak miring red.) Para imam yang pernah saya ajak bicara berupaya menghindari pertanyaan saya mengenai hal ini atau mengatakan bahwa doa ini akan terjawab sewaktu semua orang menjadi penganut Katolik Roma. Tetapi, saya tidak puas dengan jawaban itu.

Para imam juga tidak dapat menyediakan jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan saya mengenai Tritunggal. Ajaran Katolik ini mengatakan, menurut kata-kata sebuah kredo gereja, bahwa ’sang Bapak adalah Allah, sang Anak adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah, namun tidak ada tiga Allah melainkan satu Allah’. Jadi, sungguh merupakan sumber sukacita yang besar bagi saya dan istri saya sewaktu kami menemukan dari ajaran Alkitab yang jelas bahwa Yesus adalah Putra Allah dan bukan Allah Yang Mahakuasa.​—Markus 12:30, 32; Lukas 22:42; Yohanes 14:28; Kisah 2:32; 1 Korintus 11:3.

Kami berdua merasa seolah-olah mata kami dicelikkan untuk pertama kalinya dan bahwa kami telah menemukan mutiara yang tak ternilai, yang sebanding dengan pengorbanan apa pun. (Matius 13:46) Kami sadar bahwa kami harus membuat pilihan untuk memperoleh harta ini. Tak lama kemudian, kami menerima sudut pandangan seperti rasul Paulus, yang mengatakan bahwa ia menganggap ”segala sesuatu sebagai kerugian karena nilai yang lebih unggul dari pengetahuan akan Kristus Yesus”. Dengan demikian, kami membuat penyesuaian dalam kehidupan kami guna melayani Allah.​—Filipi 3:8.

Mengambil Pendirian Saya

Pada bulan April 1953, hanya beberapa bulan setelah kami mulai belajar Alkitab dengan Saksi-Saksi, saya menerima perintah untuk bergabung dengan korps ekspedisi yang sedang diutus untuk bertempur di Indocina. Pada waktu itu, saya sedang berdinas sebagai ajudan komandan dalam Majelis Tinggi di Paris. Karena pada waktu itu saya telah memahami prinsip Alkitab mengenai kenetralan, saya sadar bahwa saya harus membuat keputusan. (Yohanes 17:16) Saya memberi tahu para atasan bahwa saya menolak menaati perintah untuk bertempur di Indocina, dan menyatakan tekad saya untuk tidak ambil bagian dalam perang lagi.​—Yesaya 2:4.

”Sadarkah kamu bahwa ini sama dengan mencoreng arang di mukamu dan menutup semua pintu kesempatan?” tanya atasan saya. Sejak saat itu, saya seolah-olah ditarik dari lapangan permainan. Tetapi, ini merupakan perlindungan, karena saya tidak dipanggil lagi untuk latihan militer. Banyak dari keluarga dan sahabat saya tidak mengerti bagaimana mungkin saya membuang apa yang mereka anggap sebagai kedudukan istimewa dalam masyarakat.

Sebagai hasil dari riwayat militer saya, saya mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah, yang merespek saya terlepas dari kepercayaan saya. Selama dua tahun berikutnya, saya mendapatkan perpanjangan izin absen karena alasan kesehatan, dan saya tidak perlu meneruskan satu pun dari kedudukan saya. Sementara itu, saya dan istri saya menghadiri perhimpunan di sidang setempat dari Saksi-Saksi Yehuwa dan bahkan membagikan kepercayaan baru kami kepada orang lain.

Akhirnya​—Prajurit Kristus!

Akhirnya, pada awal tahun 1955, saya bebas dari semua kewajiban militer. Lima belas hari kemudian, pada tanggal 12 Maret, saya dan istri saya melambangkan pembaktian kami kepada Allah Yehuwa dengan pembaptisan air pada sebuah kebaktian di Versailles. Karena profesi saya telah berubah, saya harus mencari pekerjaan lain untuk menafkahi keluarga saya. Selama empat tahun berikutnya, saya bekerja sebagai kuli barang di Halles (pusat pasar), di Paris. Meskipun tidak mudah membuat penyesuaian demikian, Yehuwa memberkati upaya saya.

Selama bertahun-tahun, saya dan istri saya dapat membantu banyak orang menyambut berita Alkitab. Saya mempunyai kesempatan untuk menjelaskan sudut pandang Kristen mengenai kenetralan kepada berbagai kalangan berwenang militer dan sipil. Karier saya sebelumnya sebagai prajurit sering kali terbukti berguna dalam melunturkan prasangka banyak orang mengenai Saksi-Saksi Yehuwa. Ini memberi saya kesempatan untuk menjelaskan kedudukan Kristen yang netral sehubungan dengan peperangan bangsa-bangsa, memperlihatkan bahwa ini adalah kedudukan yang juga diambil oleh para pengikut Kristus masa awal. Misalnya, Profesor C. J. Cadoux menulis dalam bukunya, The Early Church and the World, ”Setidak-tidaknya hingga masa pemerintahan Marcus Aurelius [161-180 M], tidak ada orang Kristen yang menjadi prajurit setelah ia dibaptis.”

Salah satu pencobaan tersulit yang saya hadapi adalah kematian istri saya pada tahun 1977. Ia meninggal setelah sakit selama setahun, dengan berani menyatakan imannya hingga saat-saat menjelang kematiannya. Saya dikuatkan oleh harapan kebangkitan yang menakjubkan. (Yohanes 5:28, 29) Bantuan lain dalam menanggulangi kepedihan hati saya adalah sewaktu saya mendaftar sebagai perintis biasa, sebutan untuk rohaniwan sepenuh waktu Saksi-Saksi Yehuwa. Saya melakukannya pada tahun 1982 setelah pensiun dari pekerjaan duniawi. Belakangan, pada tahun 1988, betapa bahagianya saya dapat melayani sebagai instruktur di sekolah pelatihan perintis!

Sejak kematian istri saya, saya harus berjuang melawan depresi yang sesekali muncul. Tetapi, sahabat-sahabat dekat yang kuat secara rohani telah membantu saya pulih. Sepanjang semua pencobaan semacam itu, saya selalu merasakan kekuatan dan kebaikan hati yang penuh kasih dari Yehuwa, yang memelihara semua orang yang percaya kepada-Nya. (Mazmur 18:3) Saya juga merasa bahwa pencobaan yang kita lampaui turut melatih kita untuk meneruskan peperangan rohani kita. (1 Petrus 1:6, 7) Selanjutnya, sebagai penatua sidang, saya dapat membantu orang lain yang mengalami depresi.​—1 Tesalonika 5:14.

Sewaktu masih kecil, saya berangan-angan untuk menjadi seorang prajurit, dan boleh dikatakan, saya telah menjadi prajurit bahkan hingga sekarang. Saya meninggalkan satu pasukan dan memasuki pasukan yang lain, menjadi seorang ”prajurit dari Kristus Yesus”. (2 Timotius 2:3) Kini, meskipun kesehatan saya memburuk, saya berjuang keras untuk menggunakan kesanggupan saya yang terbaik dalam meneruskan perjuangan sebagai prajurit dari Kristus dalam ”peperangan yang baik” yang pada akhirnya berkemenangan, demi kehormatan dan kemuliaan Allah kita, Yehuwa.​—1 Timotius 1:18.

Louis Lolliot meninggal pada tanggal 1 Maret 1998, sewaktu artikel ini sedang dipersiapkan untuk diterbitkan.

[Gambar di hlm. 13]

Perkawinan kami, dihadiri oleh Jenderal de Lattre de Tassigny

[Gambar di hlm. 15]

Louis Lolliot bersama istrinya, Reine, pada tahun 1976

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan