PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w94 15/9 hlm. 4-7
  • Mengapa Mengampuni?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Mengapa Mengampuni?
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1994
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Kerugian Akibat Semangat Tidak Suka Mengampuni
  • Belajar Mengampuni
  • Berupaya Seimbang
  • Manfaat dari Suka Mengampuni
  • ’Teruslah Ampuni Satu Sama Lain dengan Lapang Hati’
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1997
  • Ampunilah Satu Sama Lain dengan Lapang Hati
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2012
  • Apakah Saudara Mengampuni seperti yang Yehuwa Lakukan?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1994
  • Yehuwa Selalu Siap Mengampuni
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa (Edisi Pelajaran)—2022
Lihat Lebih Banyak
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1994
w94 15/9 hlm. 4-7

Mengapa Mengampuni?

SARJANA dan penulis Yahudi bernama Joseph Jacobs pernah melukiskan pengampunan sebagai ”hal yang paling luhur sekaligus paling sulit dari semua pelajaran moral”. Memang, banyak orang merasa bahwa kata-kata ”Saya memaafkanmu” sangat sulit diucapkan.

Kelihatannya, pengampunan mirip sekali dengan uang. Pengampunan dapat dihambur-hamburkan dengan limpah dan dengan murah hati untuk orang lain atau dapat diirit-irit dengan pelit bagi diri sendiri. Yang pertama adalah cara yang saleh. Kita sepatutnya memupuk kebiasaan menghambur-hamburkan bila menyangkut soal mengampuni. Mengapa? Karena Allah menganjurkannya dan karena semangat yang tidak mengampuni serta mendendam hanya membuat masalahnya bertambah buruk.

Banyak orang mengatakan, ”Saya tidak terganggu; akan saya balas!” Menyedihkan, ini adalah prinsip penuntun bagi banyak orang yang hidup dewasa ini. Sebagai contoh, seorang wanita menolak untuk berbicara dengan ipar perempuannya selama lebih dari tujuh tahun karena, menurut pengakuan wanita itu, ”ia sangat melukai hati saya dan saya belum sanggup mengampuninya”. Namun perlakuan bisu seperti itu, jika digunakan sebagai alat untuk memancing permohonan maaf dari tertuduh atau sebagai senjata untuk menghukum, jarang memuaskan keinginan untuk balas dendam. Sebaliknya, hal itu justru dapat memperpanjang pertentangan, membiarkan dendam berkembang sepenuhnya. Jika lingkaran kepedihan ini tidak dipatahkan, genggaman yang kuat dari pembalasan dendam dapat merusak hubungan dan bahkan kesehatan seseorang.

Kerugian Akibat Semangat Tidak Suka Mengampuni

Jika seorang tidak mau mengampuni, konflik yang timbul menciptakan stres. Selanjutnya, stres dapat menyebabkan penyakit yang serius. Dr. William S. Sadler menulis, ”Tidak seorang pun yang dapat menghargai sepenuhnya sebagaimana halnya seorang dokter, persentase yang luar biasa besar dari penyakit dan penderitaan manusia yang langsung dapat dibuktikan sebagai akibat kekhawatiran, takut, konflik, . . . pikiran yang tidak sehat serta kehidupan yang tidak bersih.” Meskipun demikian, seberapa besar sebenarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh kegelisahan emosi? Sebuah publikasi medis menjawab, ”Statistik . . . menunjukkan bahwa dua pertiga dari para pasien yang pergi ke dokter memiliki gejala-gejala yang disebabkan atau diperburuk oleh stres mental.”

Ya, kepahitan, kekesalan, dan dengki jauh dari aman. Emosi yang menggigit ini sama seperti karat yang sedikit demi sedikit menggerogoti bodi sebuah mobil. Bagian luar mobil tersebut mungkin tampak cantik, namun di bawah lapisan cat, proses yang merusak sedang berlangsung.

Yang bahkan lebih penting lagi, bila kita tidak mau mengampuni padahal ada dasar untuk menunjukkan belas kasihan, hal itu juga dapat membahayakan kita secara rohani. Dalam pandangan Yehuwa, kita mungkin menjadi seperti hamba dalam ilustrasi Yesus. Sang hamba diampuni dari utangnya yang sangat besar oleh majikannya. Namun, ketika sesama hamba memohon kepadanya untuk mengampuni utangnya yang terhitung kecil, ia kasar dan tidak mau mengampuni. Yesus menjelaskan bahwa jika kita juga tidak bersedia mengampuni, Yehuwa tidak akan mengampuni dosa-dosa kita. (Matius 18:21-35) Oleh karena itu, jika kita tidak suka mengampuni, kita bisa kehilangan hati nurani kita yang bersih di hadapan Allah dan bahkan harapan kita di masa depan! (Bandingkan 2 Timotius 1:3.) Kalau begitu, apa yang dapat kita lakukan?

Belajar Mengampuni

Pengampunan yang sejati berasal dari hati. Hal itu mencakup memaafkan kesalahan orang yang bersalah dan membuang segala keinginan untuk membalas. Dengan demikian, pengadilan terakhir dan pembalasan yang mungkin terjadi diserahkan ke tangan Yehuwa.—Roma 12:19.

Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa karena ”liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu”, hati tidak selalu cenderung mengampuni sekalipun patut. (Yeremia 17:9) Yesus sendiri mengatakan, ”Dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.”—Matius 15:19.

Syukurlah, hati kita dapat dilatih melakukan apa yang benar. Akan tetapi, pelatihan yang kita perlukan harus datang dari sumber yang lebih tinggi. Kita tidak dapat melakukannya sendiri. (Yeremia 10:23) Pemazmur yang mendapat ilham ilahi menyadari hal ini dan berdoa meminta petunjuk Allah. Ia memohon kepada Yehuwa dalam doa, ”Ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku. Buatlah aku mengerti petunjuk titah-titah-Mu.”—Mazmur 119:26, 27.

Menurut mazmur yang lain, Raja Daud dari Israel purba berupaya ”mengerti petunjuk” Yehuwa. Ia langsung menerapkannya dan belajar darinya. Jadi, ia dapat mengatakan, ”[Yehuwa] adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian [Yehuwa] sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.”—Mazmur 103:8, 13.

Kita perlu belajar seperti yang dilakukan Daud. Dengan sungguh-sungguh, pelajarilah teladan Allah yang sempurna dalam hal mengampuni, juga teladan Putra-Nya. Dengan demikian, kita dapat belajar mengampuni dari hati.

Namun, beberapa orang mungkin bertanya: Bagaimana dengan dosa serius? Apakah semua dosa harus diampuni?

Berupaya Seimbang

Jika seseorang sangat dilukai hatinya, kepedihannya bisa jadi begitu besar. Terutama sekali jika seseorang menjadi korban yang tidak bersalah dari suatu dosa yang serius. Beberapa orang mungkin bahkan bertanya-tanya, ’Bagaimana saya dapat mengampuni seseorang yang dengan keji mengkhianati dan melukai saya?’ Dalam hal suatu dosa besar yang memang patut mengakibatkan pemecatan, korban mungkin perlu menerapkan nasihat Matius 18:15-17.

Bagaimanapun banyak hal bergantung kepada orang yang bersalah. Sejak perbuatan salah tersebut dilakukan apakah ada tanda-tanda pertobatan yang tulus? Apakah si pedosa telah berubah, mungkin bahkan berupaya sungguh-sungguh untuk mengganti kerugian? Dalam pandangan Yehuwa pertobatan semacam itu merupakan kunci untuk mendapat pengampunan bahkan dalam hal dosa yang benar-benar berat. Sebagai contoh, Yehuwa mengampuni Manasye, salah seorang raja yang paling jahat dalam sejarah Israel. Atas dasar apa? Allah berbuat demikian karena Manasye pada akhirnya merendahkan dirinya dan bertobat dari jalan-jalannya yang jahat.—2 Tawarikh 33:12, 13.

Dalam Alkitab, pertobatan sejati mencakup perubahan yang tulus dalam sikap, penyesalan sepenuh hati atas kesalahan apa pun yang dilakukan. Jika cocok dan mungkin, pertobatan hendaknya disertai suatu upaya memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan akibat dosa tersebut. (Lukas 19:7-10; 2 Korintus 7:11) Jika pertobatan semacam itu tidak dilakukan, Yehuwa tidak mengampuni.a Selain itu, Allah tidak mengharapkan agar orang-orang Kristen mengampuni orang-orang yang pernah diterangi secara rohani namun kini dengan sengaja dan tanpa penyesalan mempraktekkan perbuatan salah. (Ibrani 10:26-31) Dalam kasus yang ekstrem, pengampunan mungkin bahkan tidak layak.—Mazmur 139:21, 22; Yehezkiel 18:30-32.

Apakah pengampunan mungkin diberikan atau tidak, seorang korban dosa yang serius mungkin ingin mempertimbangkan pertanyaan lain: Haruskah saya terus berada dalam kekacauan emosi, merasa sangat terluka dan marah, sampai masalahnya benar-benar terpecahkan? Pertimbangkan sebuah contoh. Raja Daud merasa sangat terluka ketika jenderalnya, Yoab, membunuh Abner dan Amasa, ”dua orang yang lebih benar dan lebih baik dari pada [Yoab]”. (1 Raja 2:32) Daud menyatakan kegusarannya secara lisan dan tanpa ragu-ragu kepada Allah dalam doa. Meskipun demikian, pada waktunya, kehebatan amarah Daud kemungkinan sekali mereda. Ia tidak dikuasai oleh kegusaran sampai pada hari kematiannya. Daud bahkan terus bekerja sama dengan Yoab, namun ia tidak begitu saja mengampuni pembunuh yang tidak bertobat ini. Daud memastikan bahwa keadilan dilaksanakan pada akhirnya.—2 Samuel 3:28-39; 1 Raja 2:5, 6.

Mungkin dibutuhkan waktu dan upaya sebelum orang yang terluka oleh dosa serius dari orang lain mengatasi amarah mereka yang semula. Proses pemulihan mungkin akan jauh lebih mudah jika orang yang bersalah mengakui kesalahannya dan bertobat. Akan tetapi, seorang korban yang tidak bersalah semestinya mampu mendapatkan penghiburan dan ketenangan dari pengetahuannya akan keadilan dan hikmat Yehuwa serta dari sidang Kristen, tidak soal bagaimanapun haluan orang yang bersalah tersebut.

Sadarilah juga, bahwa jika saudara mengampuni seorang pedosa, hal ini tidak berarti bahwa saudara mengampuni dosanya. Bagi orang Kristen, mengampuni berarti dengan percaya penuh menyerahkan masalahnya ke tangan Yehuwa. Ia adalah Hakim yang adil-benar di seluruh alam semesta, dan Ia akan melaksanakan keadilan-Nya pada waktu yang tepat. Hal itu akan termasuk mengadili ”orang-orang sundal dan pezinah” yang licik.—Ibrani 13:4.

Manfaat dari Suka Mengampuni

Sang pemazmur Daud bernyanyi, ”Sebab engkau, ya [Yehuwa], baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.” (Mazmur 86:5) Apakah saudara, seperti Yehuwa, ”suka mengampuni”? Manfaatnya banyak.

Pertama, mengampuni orang lain memajukan hubungan baik. Alkitab mendesak orang-orang Kristen, ”Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”—Efesus 4:32.

Kedua, pengampunan membawa damai. Bukan hanya damai dengan sesama manusia namun juga kedamaian batin.—Roma 14:19; Kolose 3:13-15.

Ketiga, mengampuni orang lain membantu kita mengingat bahwa kita sendiri membutuhkan pengampunan. Ya, ”semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”.—Roma 3:23.

Akhirnya, mengampuni orang lain membuka jalan agar dosa-dosa kita diampuni Allah. Yesus mengatakan, ”Jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di Sorga akan mengampuni kamu juga.”—Matius 6:14.

Bayangkan begitu banyaknya perkara yang memenuhi pikiran Yesus pada petang hari menjelang kematiannya. Ia mengkhawatirkan murid-muridnya, pekerjaan pengabaran, dan terutama integritasnya kepada Yehuwa. Namun, bahkan ketika ia menderita dengan hebat di tiang siksaan, apa yang ia katakan? Kata-kata terakhirnya antara lain adalah, ”Bapa, ampunilah mereka.” (Lukas 23:34) Kita dapat meniru teladan sempurna dari Yesus dengan mengampuni satu sama lain dari hati.

[Catatan Kaki]

a Akan tetapi, Yehuwa memang memperhitungkan faktor-faktor lain sewaktu menimbang apakah pantas untuk memberi pengampunan. Misalnya, jika seorang yang bersalah tidak mengetahui standar-standar Allah, ketidaktahuan semacam itu bisa jadi mengurangi beban kesalahan tersebut. Pada waktu Yesus meminta Bapaknya untuk mengampuni orang-orang yang melaksanakan hukuman mati atas dirinya, Yesus jelas sedang berbicara mengenai prajurit-prajurit Roma yang membunuhnya. Mereka ’tidak tahu apa yang mereka lakukan’, tidak tahu siapa ia sebenarnya. Akan tetapi, para pemimpin agama yang mendalangi hukuman mati tersebut menanggung kesalahan yang jauh lebih besar—dan bagi banyak dari antara mereka, pengampunan tidak mungkin diberikan.—Yohanes 11:45-53; bandingkan Kisah 17:30.

[Gambar di hlm. 5]

Apakah saudara memahami perumpamaan Yesus tentang hamba yang tidak mau mengampuni?

[Gambar di hlm. 7]

Mengampuni orang lain memajukan hubungan baik dan membawa kebahagiaan

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan