PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Sewaktu Harapan dan Kasih Lenyap
    Sedarlah!—1998 | 8 September
    • Sewaktu Harapan dan Kasih Lenyap

      SEORANG gadis berusia 17 tahun dari Kanada menuliskan alasan mengapa ia ingin mati. Antara lain, ia mencantumkan: ’Merasa kesepian dan takut akan masa depan; merasa sangat kurang dibandingkan dengan rekan-rekan sekerja lain; perang nuklir; rusaknya lapisan ozon; penampilan saya sangat buruk, jadi saya tidak akan pernah mendapat suami dan akhirnya akan sendirian; saya rasa hidup ini tidak ada artinya, jadi untuk apa saya jalani; jika saya mati, saya tidak lagi membebani orang lain; saya tidak akan pernah disakiti lagi oleh siapa pun.’

      Mungkinkah ini adalah sebagian alasan mengapa anak muda bunuh diri? Di Kanada, ”selain kecelakaan kendaraan bermotor, bunuh diri kini merupakan penyebab kematian paling umum di antara mereka”.​—The Globe and Mail.

      Profesor Riaz Hassan, dari Flinders University di Australia Selatan, menyatakan dalam makalahnya ”Unlived Lives: Trends in Youth Suicide”, ”Ada beberapa alasan sosiologis sehubungan dengan pertanyaan tersebut dan tampaknya sangat berpengaruh terhadap meningkatnya bunuh diri remaja. Ini adalah tingkat pengangguran remaja yang tinggi; perubahan dalam keluarga Australia; meningkatnya penggunaan dan penyalahgunaan obat bius; meningkatnya tindak kekerasan remaja; kesehatan mental; dan semakin besarnya perbedaan antara ’kebebasan teoretis’ dan kemandirian yang dialami.” Makalah itu selanjutnya menyatakan bahwa hasil beberapa survei menyingkapkan adanya perasaan pesimis akan masa depan dan memperlihatkan bahwa ”sebagian besar kaum muda melihat masa depan mereka dan masa depan dunia dengan rasa takut dan waswas. Mereka membayangkan suatu dunia yang hancur oleh perang nuklir dan polusi serta kemerosotan lingkungan, suatu masyarakat yang tidak manusiawi dengan teknologi yang di luar kendali dan merajalelanya pengangguran”.

      Menurut pol Gallup terhadap remaja usia 16 hingga 24 tahun, penyebab tambahan untuk bunuh diri adalah melebarnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin, meningkatnya jumlah rumah tangga dengan orang-tua tunggal, meningkatnya penggunaan senjata api, penganiayaan anak, dan ”ketidakpercayaan akan hari esok” secara umum.

      Newsweek melaporkan bahwa di Amerika Serikat, ”keberadaan senjata api boleh jadi merupakan faktor terpenting [dalam bunuh diri remaja]. Sebuah penelitian yang membandingkan para korban bunuh diri remaja yang tidak memperlihatkan gangguan mental dengan anak-anak yang tidak melakukan bunuh diri mendapati satu perbedaan saja: adanya senjata api berpeluru di rumah. Inikah buktinya bahwa senjata api tidak membunuh orang-orang?” Dan, jutaan rumah memiliki senjata api berpeluru!

      Rasa takut dan ketidakpedulian masyarakat dapat segera mendorong kaum muda yang lemah untuk bunuh diri. Perhatikan: Tingkat kejahatan disertai tindak kekerasan yang dilakukan terhadap remaja usia 12 hingga 19 tahun besarnya dua kali lipat dibandingkan dengan kejahatan terhadap penduduk secara umum. Penelitian mendapati bahwa ”wanita muda berusia 14 hingga 24 tahun paling besar kemungkinannya diserang”, majalah Maclean’s melaporkan. ”Wanita paling sering diserang dan dibunuh oleh orang-orang yang mengaku mengasihi mereka.” Akibatnya? Hal ini dan rasa takut yang lain ”mengikis kepercayaan dan perasaan aman dari gadis-gadis ini”. Dalam sebuah penelitian, hampir sepertiga wanita yang pernah diperkosa mengaku telah mempertimbangkan untuk bunuh diri.

      Sebuah laporan dari Selandia Baru menyajikan sudut pandangan lain dari bunuh diri pada usia muda, dengan menyatakan, ”Nilai-nilai duniawi dan materialistis yang populer menyamakan kesuksesan individu dengan kekayaan, penampilan menarik, dan kekuasaan membuat banyak orang muda merasa tidak berarti dan dibuang oleh masyarakat.” Selain itu, The Futurist mengatakan, ”[Kaum muda] memiliki kecenderungan kuat untuk pemuasan instan, menginginkan segala sesuatu dan ingin segera memperolehnya. Acara TV favorit mereka adalah opera sabun. Mereka ingin agar dunia mereka penuh dengan orang-orang yang sama menariknya, mengenakan pakaian mode terbaru, punya banyak uang dan prestise, dan tanpa kerja keras.” Begitu banyaknya penantian yang tidak realistis dan tidak terpenuhi demikian tampaknya mengakibatkan suatu taraf keputusasaan dan dapat menuntun pada bunuh diri.

      Sifat yang Menyelamatkan Kehidupan?

      Shakespeare menulis, ”Kasih menghibur bagaikan sinar matahari seusai hujan.” Alkitab mengatakan, ”Kasih tidak pernah berkesudahan.” (1 Korintus 13:8) Dalam sifat itu terdapat kunci untuk problem kaum muda yang cenderung bunuh diri​—kerinduan untuk kasih dan komunikasi. The American Medical Association Encyclopedia of Medicine menyatakan, ”Orang-orang yang ingin bunuh diri biasanya merasa kesepian tanpa harapan, dan kesempatan untuk berbicara kepada seorang pendengar yang simpatik dan berpengertian adakalanya sudah cukup untuk mencegah tindakan yang putus asa itu.”

      Kaum muda sering kali sangat membutuhkan kasih dan perasaan dimiliki. Memenuhi hal ini semakin sulit seraya hari-hari berlalu dalam dunia yang menghancurkan dan tanpa kasih ini​—dunia yang di dalamnya mereka nyaris tidak punya wewenang apa pun. Penolakan dari orang-tua akibat keluarga berantakan dan perceraian dapat turut menjadi faktor bunuh diri di kalangan remaja. Dan, penolakan ini banyak bentuknya.

      Perhatikan kasus orang-tua yang jarang berada di rumah bersama anak-anak mereka. Ayah dan ibu mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka atau mengejar rekreasi yang tidak melibatkan anak-anak. Secara tidak langsung ini menyiratkan pesan penolakan yang cukup jelas terhadap anak-anak mereka. Wartawan dan peneliti terkemuka, Hugh Mackay, mengomentari bahwa, ”orang-tua semakin mementingkan diri. Mereka mendahulukan diri sendiri guna mempertahankan gaya hidup mereka. . . . Kasarnya, punya anak kini bukan zamannya lagi. . . . Hidup semakin keras dan orang-orang semakin asyik dengan diri sendiri”.

      Selain itu, dalam beberapa kebudayaan, pria-pria yang memiliki citra diri jantan mungkin tidak ingin terlihat sebagai pengasuh. Wartawan Kate Legge melukiskannya dengan tepat, ”Pria yang cenderung melayani masyarakat umumnya memilih tugas menyelamatkan kehidupan atau memadamkan kebakaran daripada tugas mengasuh anak . . . Mereka lebih menyukai tugas kepahlawanan melawan kekuatan eksternal yang membutuhkan kekuatan fisik dan tidak perlu banyak bicara daripada tugas yang menyangkut interaksi dengan orang.” Dan, tentu saja, dewasa ini salah satu tugas yang paling banyak menyangkut interaksi dengan orang adalah menjadi orang-tua. Menjadi orang-tua yang buruk sama dengan menolak seorang anak. Akibatnya, putra-putri Anda dapat mengembangkan citra diri negatif dan keterampilan sosial yang buruk. The Education Digest menyimpulkan, ”Tanpa citra positif akan diri sendiri, anak-anak tidak punya dasar untuk membuat keputusan demi manfaat terbaik mereka sendiri.”

      Dapat Timbul Keputusasaan

      Para peneliti percaya bahwa keputusasaan adalah penyumbang utama bunuh diri. Gail Mason, penulis tentang bunuh diri di kalangan remaja Australia, mengamati, ”Keputusasaan dianggap lebih dikaitkan dengan gagasan untuk bunuh diri daripada depresi. Keputusasaan adakalanya didefinisikan sebagai salah satu gejala depresi. . . . Biasanya ini terlihat dalam bentuk perasaan putus asa dan kecil hati akan masa depan kaum muda secara umum, dan masa depan ekonomi mereka secara khusus: serta yang lebih jarang, perasaan putus asa mengenai situasi global.”

      Contoh buruk berupa ketidakjujuran di pihak para pemimpin masyarakat tidak menggugah kaum muda untuk meningkatkan tingkat etika dan moral mereka sendiri. Sikapnya kemudian menjadi, ”Buat apa?” Harper’s Magazine mengomentari kesanggupan kaum muda untuk mendeteksi kemunafikan, dengan mengatakan, ”Kaum muda, dengan penciuman mereka yang tajam terhadap kemunafikan, pada kenyataannya adalah pembaca yang mahir​—tetapi bukan pembaca buku. Apa yang sedemikian seriusnya mereka baca adalah gejala-gejala sosial yang muncul dari dunia tempat mereka harus mencari nafkah kelak.” Dan, apa yang terbaca dari gejala-gejala itu? Penulis Stephanie Dowrick menyimpulkan, ”Tidak seperti yang sudah-sudah, kita sangat dibanjiri oleh informasi tentang caranya untuk hidup. Tidak seperti yang sudah-sudah, orang-orang semakin kaya atau semakin terdidik, namun di mana-mana terdapat keputusasaan.” Dan, tidak banyak pemuka politik dan agama yang dapat dijadikan tokoh anutan. Dowrick mengajukan beberapa pertanyaan yang relevan, ”Bagaimana kita memperoleh hikmat, ketangguhan, dan bahkan makna dari penderitaan yang sia-sia? Bagaimana kita dapat memupuk kasih dalam suasana mementingkan diri, keras kepala, dan tamak?”

      Anda akan menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini dalam artikel kami berikutnya, dan ini mungkin mengejutkan Anda.

      [Blurb di hlm. 6]

      ”Sebagian besar kaum muda melihat masa depan mereka dan masa depan dunia dengan rasa takut dan waswas”

      [Blurb di hlm. 7]

      ”Kesempatan untuk berbicara kepada seorang pendengar yang simpatik dan berpengertian adakalanya sudah cukup untuk mencegah tindakan yang putus asa itu”

      [Kotak di hlm. 6]

      Beberapa Indikator Bunuh Diri

      • Susah tidur, hilangnya selera makan

      • Mengasingkan atau menarik diri, cenderung mengalami kecelakaan

      • Kabur dari rumah

      • Perubahan penampilan yang dramatis

      • Penyalahgunaan obat bius dan/atau alkohol

      • Resah dan agresif

      • Bicara soal kematian; pesan tertulis untuk bunuh diri; karya seni yang melukiskan tindak kekerasan, khususnya terhadap diri sendiri

      • Perasaan bersalah

      • Ada saat-saat putus asa, khawatir, depresi, dan menangis

      • Membagi-bagikan milik pribadi

      • Rentang perhatian yang semakin pendek

      • Kehilangan minat akan kegiatan yang menyenangkan

      • Mengkritik diri sendiri

      • Promiskuitas seksual

      • Penurunan prestasi di sekolah secara tiba-tiba, problem absen sekolah

      • Menjadi anggota kultus atau geng

      • Penuh kegembiraan setelah depresi

      Berdasarkan Teens in Crisis (Asosiasi Administrator Sekolah Amerika) dan Depression and Suicide in Children and Adolescents, oleh Philip G. Patros dan Tonia K. Shamoo

      [Gambar di hlm. 7]

      Kasih yang hangat dan keibaan hati dapat membantu seorang muda menghargai kehidupan

  • Sewaktu Harapan dan Kasih Kembali
    Sedarlah!—1998 | 8 September
    • Sewaktu Harapan dan Kasih Kembali

      ORANG-TUA, guru, dan orang-orang lain yang berurusan dengan remaja sadar bahwa baik mereka atau kaum muda atau siapa pun juga tidak dapat mengubah dunia. Ada pengaruh-pengaruh bagaikan gelombang pasang yang bekerja, yang tidak dapat dihentikan oleh siapa pun. Namun, ada banyak hal yang dapat kita semua lakukan untuk turut membuat kaum muda lebih bahagia, lebih sehat, dan harmonis.

      Karena mencegah lebih baik daripada mengobati, orang-tua hendaknya memikirkan dengan cermat bagaimana gaya hidup dan prioritas mereka dapat membentuk sikap dan perilaku anak-anak mereka. Menciptakan lingkungan yang pengasih dan peduli di rumah memberikan keamanan terbaik untuk mencegah perilaku yang mengarah ke bunuh diri. Salah satu hal yang paling dibutuhkan kaum muda adalah orang-orang yang bersedia mendengarkan mereka. Jika orang-tua tidak bersedia mendengarkan mereka, barangkali orang-orang yang tidak kompeten bersedia melakukannya.

      Apa artinya itu bagi orang-tua dewasa ini? Luangkanlah waktu untuk anak-anak Anda sewaktu mereka membutuhkannya​—semasa mereka muda. Bagi banyak keluarga, ini tidak mudah. Mereka berjuang mencari nafkah, dan tidak ada pilihan selain kedua orang-tua harus bekerja. Orang-tua yang bersedia dan sanggup membuat pengorbanan agar punya lebih banyak waktu bersama anak-anak mereka sering kali menuai imbalan, yaitu melihat putra-putri mereka menikmati kehidupan yang berhasil. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan di awal, adakalanya bahkan upaya terbaik di pihak orang-tua tidak menjamin bahwa tidak akan timbul problem serius dengan anak-anak mereka.

      Sahabat dan Orang Dewasa Lain Dapat Membantu

      Perang, pemerkosaan, dan penganiayaan atas kaum muda menuntut upaya luar biasa untuk mengendalikan dampak-dampaknya. Ini hendaknya dilakukan oleh orang-orang dewasa yang benar-benar mempedulikan mereka. Kaum muda yang trauma akibat pengalaman negatif demikian mungkin tidak menyambut baik upaya untuk membantu mereka. Ini mungkin menuntut investasi besar berupa waktu dan upaya Anda. Tentu saja, tidak bijaksana atau pengasih untuk meremehkan atau menolak mereka. Tidak dapatkah kita menggali sedikit lebih dalam sumber daya emosi kita serta memperlihatkan kebaikan hati dan kasih yang dibutuhkan guna mengulurkan bantuan kepada mereka yang bermasalah?

      Bukan hanya orang-tua, melainkan juga sahabat dan bahkan saudara kandung khususnya perlu tanggap mengamati kecenderungan dalam diri orang muda yang mungkin mengindikasikan keadaan emosi yang rapuh dan mungkin tidak seimbang. (Lihat kotak ”Bantuan yang Bermutu Dibutuhkan”, halaman 8.) Jika terdapat tanda-tanda, cepatlah mendengarkan. Jika memungkinkan, cobalah membantu remaja yang dalam kesusahan untuk berbicara melalui pertanyaan-pertanyaan yang ramah guna meyakinkan mereka akan persahabatan Anda yang tulus. Sahabat dan sanak saudara yang dapat dipercaya boleh jadi dapat mendukung orang-tua dalam menangani situasi yang sulit; tetapi, tentu saja, mereka hendaknya berhati-hati agar tidak mengambil alih peran orang-tua. Sering kali kecenderungan bunuh diri di kalangan remaja merupakan permohonan keras mereka untuk minta perhatian​—perhatian orang-tua.

      Salah satu pemberian terbaik yang dapat diberikan oleh siapa pun kepada kaum muda adalah harapan yang kukuh akan masa depan yang bahagia, suatu dorongan untuk terus hidup. Banyak remaja telah mengakui kebenaran janji Alkitab akan suatu sistem dunia yang lebih baik yang akan segera tiba.

      Nyaris Bunuh Diri tetapi Terselamatkan

      Di Jepang, seorang wanita muda yang sering kali memikirkan untuk bunuh diri mengatakan, ”Betapa seringnya saya ingin mengambil jalan itu. Sewaktu masih balita, saya dianiaya secara seksual oleh seseorang yang saya percaya. . . . Di masa lalu, saya menulis tak terhitung banyaknya catatan yang berbunyi ’saya ingin mati’. Kemudian, saya menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa, dan saya kini melayani sebagai penginjil sepenuh waktu, tetapi desakan ini masih melanda saya sewaktu-waktu. . . . Tetapi, Yehuwa telah mengizinkan saya tetap hidup, dan seolah-olah Ia berkata dengan lembut kepada saya, ’Teruslah hidup’.”

      Seorang gadis berusia 15 tahun dari Rusia menjelaskan, ”Sewaktu saya berusia delapan tahun, saya mulai merasa bahwa tidak ada yang membutuhkan saya. Orang-tua saya tidak punya waktu untuk berbicara dengan saya, dan saya mencoba menyelesaikan problem saya sendiri. Saya mengasingkan diri. Saya senantiasa bertengkar dengan sanak saudara saya. Kemudian, timbul pikiran untuk bunuh diri. Betapa bahagianya saya sewaktu bertemu dengan Saksi-Saksi Yehuwa!”

      Dan, berikut ini adalah komentar yang menganjurkan dari Cathy di Australia, yang kini berusia awal 30-an, yang memperlihatkan bahwa keputusasaan benar-benar dapat berbalik menjadi harapan, ”Saya senantiasa bermimpi mengenai berbagai metode mengakhiri kehidupan saya dan akhirnya berupaya bunuh diri. Saya ingin lari dari dunia ini, yang penuh dengan kepedihan hati, amarah, dan kehampaan. Depresi mempersulit saya keluar dari ’jaring labah-labah’ tempat saya merasa terperangkap. Jadi, tampaknya bunuh diri merupakan jawabannya pada waktu itu.

      ”Sewaktu pertama kali saya mendengar tentang kemungkinan bumi menjadi suatu firdaus, dengan kehidupan yang bahagia dan penuh damai bagi semua orang, saya benar-benar mendambakannya. Tetapi, rasanya itu hanyalah impian yang mustahil. Akan tetapi, lambat laun saya mulai memahami pandangan Yehuwa mengenai kehidupan dan betapa berharga kita masing-masing di mata-Nya. Saya mulai merasa yakin bahwa ada harapan untuk masa depan. Akhirnya, saya menemukan jalan keluar dari ’jaring labah-labah’ itu. Akan tetapi, ternyata sulit juga untuk keluar darinya. Sewaktu-waktu, saya dilanda depresi dan merasa bingung sekali. Namun, menjadikan Allah Yehuwa sebagai pusat perhatian saya memungkinkan saya menarik diri dekat sekali kepada-Nya dan merasa aman. Saya bersyukur kepada Yehuwa untuk segala hal yang telah Ia lakukan bagi saya.”

      Tidak Ada Lagi yang Mati Muda

      Dengan mempelajari Alkitab, seorang muda dapat sadar bahwa ada sesuatu yang lebih baik untuk dinantikan​—sesuatu yang rasul Kristen, Paulus, sebut ”kehidupan yang sebenarnya”. Ia menasihati pria muda Timotius, ”Berilah perintah kepada mereka yang kaya . . . untuk mendasarkan harapan mereka, bukan kepada kekayaan yang tidak pasti tetapi kepada Allah, yang memberikan segala sesuatu dengan limpah kepada kita untuk kenikmatan kita; untuk mengupayakan kebaikan, kaya dalam perbuatan-perbuatan yang baik, . . . dengan aman menimbun fondasi yang baik bagi mereka sendiri untuk masa depan, agar mereka dapat menggenggam dengan teguh kehidupan yang sebenarnya.”​—1 Timotius 6:17-19.

      Pada dasarnya, nasihat Paulus berarti bahwa kita hendaknya melibatkan diri dengan orang-orang lain, membantu mereka memiliki harapan yang kukuh untuk masa depan. ”Kehidupan yang sebenarnya” adalah kehidupan yang telah Yehuwa janjikan dalam dunia baru-Nya berupa ”langit baru dan bumi baru”.​—2 Petrus 3:13.

      Banyak remaja yang dahulunya nyaris bunuh diri kemudian memahami bahwa penyalahgunaan obat bius dan gaya hidup yang amoral hanyalah bagaikan jalan panjang yang menyesatkan menuju kematian, dan bunuh diri adalah jalan pintasnya. Mereka akhirnya sadar bahwa dunia ini, dengan perang, kebencian, perilaku sewenang-wenang, dan cara-caranya yang tidak pengasih akan segera berlalu. Mereka telah tahu bahwa sistem dunia ini sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Mereka percaya sepenuhnya bahwa Kerajaan Allah adalah satu-satunya harapan yang nyata, karena kerajaan itu akan mendatangkan suatu dunia baru, tempat bukan hanya kaum muda, melainkan juga semua umat manusia yang taat tidak akan pernah harus mati​—ya, bahkan tidak akan pernah ingin mati lagi.​—Penyingkapan (Wahyu) 21:1-4.

      [Kotak di hlm. 8]

      Bantuan yang Bermutu Dibutuhkan

      The American Medical Association Encyclopedia of Medicine mengatakan bahwa ”lebih dari 90 persen bunuh diri terjadi karena penyakit psikiatris”. Ensiklopedia itu mencantumkan penyakit-penyakit seperti depresi parah (sekitar 15 persen), skisofrenia (sekitar 10 persen), ketergantungan pada alkohol (sekitar 7 persen), gangguan kepribadian antisosial (sekitar 5 persen), dan beberapa bentuk neurosis (kurang dari 5 persen). Nasihatnya, ”Semua upaya bunuh diri seharusnya ditanggapi dengan serius. Dua puluh hingga 30 persen dari orang-orang yang berupaya bunuh diri mengulangi upaya mereka dalam masa setahun.” Dr. Jan Fawcett menulis, ”Lebih dari 50 persen bunuh diri [di Amerika Serikat] terjadi pada orang-orang yang tidak mencari dokter jiwa.” Dan, sumber lain mengatakan, ”Aspek pengobatan yang terpenting adalah agar orang itu menemui seorang psikiater sesegera mungkin untuk membantu menuntaskan depresi yang mendasarinya.”

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan