-
Apa yang Telah Terjadi dengan Kasih kepada Sesama?Sedarlah!—1998 | 22 Oktober
-
-
Apa yang Telah Terjadi dengan Kasih kepada Sesama?
JUTAAN orang merasa diri tak berdaya, takut, dan merana, tidak ada tempat untuk mengadu. ”Saya makan sendirian, berjalan sendirian, tidur sendirian, dan berbicara sendirian,” ratap seseorang. Segelintir orang saja yang mau mengulurkan tangan dan memperlakukan orang-orang yang membutuhkan bantuan secara pengasih.
Seorang mantan wanita-pengusaha menuturkan, ’Pada suatu malam, seorang janda yang tinggal selantai dengan saya, mengetuk pintu saya dan mengatakan bahwa dia kesepian. Dengan sopan namun terus terang saya mengatakan bahwa saya sibuk. Dia meminta maaf karena telah mengganggu saya, lalu pergi.’
Wanita ini melanjutkan, ’Ada rasa bangga dalam diri saya karena tidak terjebak oleh orang yang membosankan itu. Keesokan sorenya, seorang teman menelepon dan bertanya apakah saya kenal dengan wanita yang tinggal di gedung apartemen yang saya tempati yang bunuh diri malam sebelumnya. Pasti Anda bisa menerka, wanita itulah yang mengetuk pintu saya.’ Wanita pengusaha ini kemudian mengatakan bahwa ia telah mendapat ”pelajaran yang pahit”.
Bukan rahasia lagi jika bayi-bayi bisa mati karena tidak mendapatkan kasih sayang. Orang-orang dewasa juga bisa mati bila mereka tidak mendapatkan kasih sayang. Dalam suratnya yang ditulis sebelum bunuh diri, seorang gadis cantik berusia 15 tahun menulis, ”Kasih berarti tidak lagi kesepian.”
Tragedi Masa Kini
Beberapa tahun yang lalu, sewaktu berkomentar tentang kebencian antaretnik, majalah Newsweek melaporkan, ”’Bencilah sesamamu’ kelihatannya menjadi slogan tahun ini.” Selama pertikaian di Bosnia dan Herzegovina, bekas bagian Yugoslavia, lebih dari satu juta orang dipaksa meninggalkan rumah mereka, dan puluhan ribu orang terbunuh. Oleh siapa? ”Oleh tetangga kami sendiri,” ratap seorang gadis kecil yang diusir dari desanya. ”Kami kenal mereka.”
”Sebelumnya, kami hidup bersama dengan damai,” kata seorang wanita mengenai 3.000 orang dari suku Hutu dan suku Tutsi yang tinggal di desa Ruganda. The New York Times mengatakan, ”Kisah desa ini juga adalah kisah tentang Rwanda: suku Hutu dan suku Tutsi tinggal berdampingan, kawin mengawinkan antarsuku, tidak mempersoalkan atau bahkan sudah tidak tahu lagi siapa yang orang Hutu dan siapa yang orang Tutsi. Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi,” dan ”pembantaian pun mulai.”
Begitu pula di Israel, orang-orang Yahudi dan Arab hidup berdampingan, tetapi banyak di antara mereka saling membenci. Selama abad ke-20 ini, keadaan yang serupa terdapat di Irlandia Utara, di India dan Pakistan, di Malaysia dan Indonesia, dan antarras di Amerika Serikat—ya, di seluruh dunia ini.
Tentu, contoh-contoh kebencian antaretnik dan antaragama tidak habis-habisnya bila disebutkan. Belum pernah terjadi dalam sejarah, dunia begitu kekurangan kasih.
Siapakah yang Bertanggung Jawab?
Kebencian, seperti halnya kasih, adalah sesuatu yang diajarkan. Syair sebuah lagu populer mengatakan bahwa anak-anak ”diajar sebelum terlambat/Sebelum berusia enam atau tujuh atau delapan tahun/Untuk membenci semua orang yang dibenci oleh sanak saudaramu”. Terutama dewasa ini, kebencian diajarkan. Gereja-gereja khususnya tidak berhasil mengajarkan kasih kepada anggotanya.
Surat kabar Prancis Le Monde bertanya, ”Mana mungkin seseorang mengelak untuk berpikir bahwa suku Tutsi dan suku Hutu yang sedang berperang di Burundi dan Rwanda dilatih oleh misionaris-misionaris Kristen yang sama dan menghadiri gereja yang sama?” Ya, menurut National Catholic Reporter, Rwanda adalah ”negara yang 70% penduduknya beragama Katolik”.
Sebelumnya, pada abad ini, negara-negara Eropa Timur beralih kepada Komunisme yang ateis. Mengapa? Pada tahun 1960, dekan sebuah fakultas ilmu agama di Praha, Cekoslowakia, menyatakan, ”Kita, orang-orang Kristen ini, bertanggung jawab atas Komunisme. . . . Ingat, orang-orang Komunis tadinya adalah orang-orang Kristen. Jika mereka menjadi tidak percaya kepada Allah yang adil, salah siapakah ini?”
Pikirkanlah apa yang dilakukan gereja-gereja selama Perang Dunia I. Brigadir Jenderal Inggris, Frank Crozier membahas tentang perang tersebut, ”Gereja-gereja Kristen adalah pencetak terbaik orang-orang haus-darah yang pernah kita miliki dan mereka telah kita manfaatkan sepenuhnya.” Belakangan, setelah Perang Dunia II, The New York Times mengatakan, ”Di masa lampau, hierarki Katolik tiap negara, selalu mendukung perang-perang yang dilakukan bangsa mereka, memberkati tentaranya dan mendoakan agar mereka menang, sementara kelompok uskup lain di pihak lawan berdoa di depan umum untuk hasil-hasil yang sebaliknya.”
Namun, Yesus Kristus mempertunjukkan kasih dalam semua kegiatannya, dan rasul Paulus menulis, ”Kamu sendiri diajar Allah untuk saling mengasihi.” (1 Tesalonika 4:9) ”Orang-orang Kristen sejati adalah saudara-saudari dalam Yesus Kristus,” kata seorang staf penulis untuk Sun, Vancouver. ”Mereka sama sekali tidak akan pernah sengaja saling menyakiti.”
Jelaslah, gereja-gereja memikul tanggung jawab yang berat atas kurangnya kasih dewasa ini. Sebuah artikel yang diterbitkan dalam majalah India Today mengatakan, ”Sebagian besar kejahatan yang mengerikan dilakukan atas nama agama.” Akan tetapi, ada alasan dasar mengapa generasi kita ditandai oleh ketidakpedulian yang tidak berperasaan ini terhadap orang-orang lain.
Mengapa Kasih Mendingin
Pencipta kita memberikan jawabannya. Firman-Nya, Alkitab, menyebut zaman kita hidup ini sebagai ”hari-hari terakhir”. Nubuat Alkitab mengatakan bahwa ini adalah periode yang di dalamnya orang-orang ”tidak memiliki kasih sayang alami”. Yesus Kristus memberi tahu di muka bahwa ”kasih kebanyakan orang akan mendingin” pada ”masa kritis yang sulit dihadapi”, yang juga disebut dalam Alkitab sebagai ”penutup sistem perkara”.—2 Timotius 3:1-5; Matius 24:3, 12.
Jadi, kurangnya kasih dewasa ini, merupakan bagian dari bukti bahwa kita hidup pada hari-hari terakhir dunia ini. Syukurlah, hal ini juga berarti bahwa dunia orang-orang yang tidak saleh ini akan segera digantikan oleh dunia baru yang adil-benar yang diperintah dengan kasih.—Matius 24:3-14; 2 Petrus 3:7, 13.
Namun, apakah ada alasan bagi kita untuk benar-benar percaya bahwa perubahan demikian mungkin—bahwa kita dapat hidup dalam suatu dunia tempat semua orang akan saling mengasihi dan hidup berdampingan dengan damai?
-
-
Dapatkah Semua Orang Saling Mengasihi?Sedarlah!—1998 | 22 Oktober
-
-
Dapatkah Semua Orang Saling Mengasihi?
SEORANG ahli hukum baru saja mengatakan bahwa untuk menikmati ”kehidupan abadi”, kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesama kita seperti diri sendiri. Yesus memuji ahli hukum itu dan mengatakan kepadanya, ”Engkau menjawab dengan tepat; ’teruslah lakukan ini dan engkau akan memperoleh kehidupan.’” (Lukas 10:25-28; Imamat 19:18; Ulangan 6:5) Tetapi, pria itu, karena ingin membuktikan bahwa dirinya adil-benar, bertanya, ”Siapa sesungguhnya sesamaku?”
Pasti, ahli hukum itu mengharapkan Yesus berkata, ”Sesamamu orang Yahudi”. Akan tetapi, Yesus menuturkan sebuah kisah mengenai orang Samaria yang baik hati, yang memperlihatkan bahwa orang-orang berkebangsaan lain juga adalah sesama kita. (Lukas 10:29-37; Yohanes 4:7-9) Selama pelayanannya, Yesus menekankan bahwa mengasihi Allah dan mengasihi sesama adalah perintah-perintah terpenting dari Pencipta kita.—Matius 22:34-40.
Namun, adakah kelompok yang benar-benar telah mengasihi sesama mereka? Mungkinkah semua orang saling mengasihi?
Mukjizat pada Abad Pertama
Yesus memberi tahu para pengikutnya bahwa mereka akan dikenali melalui kasih mereka yang melampaui batas-batas rasial, nasional, dan lain-lain. Ia mengatakan, ”Aku memberikan kepadamu sebuah perintah baru, agar kamu mengasihi satu sama lain; sebagaimana aku telah mengasihi kamu, agar kamu juga mengasihi satu sama lain.” Kemudian, ia menambahkan, ”Dengan inilah semua akan mengetahui bahwa kamu adalah murid-muridku, jika kamu mempunyai kasih di antara kamu sendiri.”—Yohanes 13:34, 35; 15:12, 13.
Ajaran-ajaran Yesus mengenai kasih, yang ditunjang oleh teladannya, menghasilkan suatu mukjizat abad pertama. Mukjizat itu adalah para pengikutnya mulai meniru Majikan mereka, belajar saling mengasihi dengan cara yang mengundang perhatian dan decak kagum di mana-mana. Tertullian, seorang penulis pada abad kedua dan ketiga M, mengutip kata-kata orang-orang non-Kristen yang memuji para pengikut Yesus, ’Lihatlah betapa mereka saling mengasihi dan siap mati demi sesamanya.’
Ya, rasul Yohanes menulis, ”Kita wajib menyerahkan jiwa kita bagi saudara-saudara kita.” (1 Yohanes 3:16) Yesus bahkan mengajar murid-muridnya untuk mengasihi musuh-musuh mereka. (Matius 5:43-45) Apa akibatnya bila orang-orang benar-benar saling mengasihi sebagaimana yang Yesus ajarkan untuk mereka lakukan?
Seorang profesor di bidang politik merenungkan pertanyaan tersebut atas dasar bukti-bukti yang ada. Sehingga, seperti tertulis dalam The Christian Century, ia bertanya, ”Dapatkah seseorang benar-benar membayangkan Yesus melemparkan granat ke arah musuh-musuhnya, menggunakan senapan mesin, menggunakan penyembur api, menjatuhkan bom nuklir dan meluncurkan misil balistik antarbenua (ICBM) yang dapat menewaskan atau mencederai ribuan ibu dan anak?”
Profesor ini menjawab, ”Pertanyaan ini begitu menggelikan sehingga hampir tidak pantas dijawab.” Maka, ia mengajukan pertanyaan, ”Jika Yesus tidak dapat melakukan hal ini dan tetap kukuh pada sifat-sifatnya, bagaimana kita dapat melakukan hal yang sama dan loyal kepadanya?” Oleh karena itu, kita tidak perlu heran, oleh sikap netral yang diperlihatkan para pengikut Yesus pada masa awal, yang didokumentasikan dengan baik oleh banyak buku sejarah. Pertimbangkan dua contoh ini.
Our World Through the Ages, oleh N. Platt dan M. J. Drummond, mengatakan, ”Perilaku orang Kristen sangat berbeda dengan perilaku orang Roma. . . . Karena Kristus mengabarkan perdamaian, orang-orang Kristen tidak mau menjadi tentara.” Dan, The Decline and Fall of the Roman Empire, oleh Edward Gibbon, menyatakan, ”[Orang Kristen masa awal] tidak mau terlibat secara aktif dalam dinas administrasi sipil maupun pertahanan militer imperium Roma. . . . Tidak mungkin orang Kristen menjadi tentara, tanpa meninggalkan tugas yang lebih suci.”
Bagaimana dengan Dewasa Ini?
Dewasa ini, apakah ada orang yang mempraktekkan kasih seperti halnya Kristus? Encyclopedia Canadiana menyatakan, ”Pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa merupakan kebangkitan dan pemulihan kekristenan yang mula-mula yang dipraktekkan oleh Yesus dan murid-muridnya . . . Mereka semua bersaudara.”
Apa artinya hal ini? Artinya, Saksi-Saksi Yehuwa tidak membiarkan apa pun—baik ras, kebangsaan, maupun latar belakang etnik—menyebabkan mereka membenci sesama mereka. Mereka juga tidak mau membunuh siapa pun, karena mereka secara simbolis telah menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas, sebagaimana Alkitab nubuatkan akan dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang sejati.—Yesaya 2:4.
Tidak heran, sebuah tajuk rencana di Sacramento Union, Kalifornia, mengemukakan, ”Tidak berlebihan jika kita katakan, bahwa seandainya seluruh dunia hidup selaras dengan kredo Saksi-Saksi Yehuwa, pertumpahan darah dan kebencian akan berakhir, dan kasih akan memerintah laksana raja”!
Dengan nada serupa, seorang penulis menyatakan dalam majalah Ring, Hongaria, ”Saya menyimpulkan jika hanya Saksi-Saksi Yehuwa yang tinggal di bumi, perang akan lenyap, dan satu-satunya tugas polisi adalah mengatur lalu lintas dan mengeluarkan paspor.”
Dalam majalah gereja Italia, Andare alle genti, seorang biarawati Katolik Roma juga menulis dengan rasa kagum terhadap Saksi-Saksi Yehuwa, ”Mereka tidak mau melakukan bentuk kekerasan apa pun dan, tanpa memberontak, mereka bertahan menghadapi berbagai pencobaan yang ditimpakan kepada mereka karena kepercayaan mereka . . . Betapa berbedanya dunia ini seandainya suatu pagi kita semua bangun dan dengan tegas memutuskan untuk tidak mengangkat senjata lagi, apa pun risikonya atau alasannya, persis seperti Saksi-Saksi Yehuwa!”
Saksi-Saksi Yehuwa terkenal karena berprakarsa untuk membantu sesama mereka. (Galatia 6:10) Dalam karyanya, Women in Soviet Prisons, seorang wanita Latvia mengatakan bahwa ia sakit berat sewaktu bekerja di kamp kerja paksa Potma pada pertengahan dekade 1960-an. ”Selama saya sakit, [Saksi-Saksi] menjadi juru rawat yang rajin. Tidak mungkin ada perawatan yang lebih baik daripada yang mereka berikan, khususnya dalam kondisi kamp seperti itu.” Ia menambahkan, ”Saksi-Saksi Yehuwa menganggap membantu setiap orang sebagai suatu kewajiban, tidak soal agama maupun kebangsaannya.”
Baru-baru ini, media massa di Republik Ceko menarik perhatian kepada perilaku Saksi-Saksi Yehuwa sewaktu dalam kamp-kamp konsentrasi. Sewaktu mengomentari film dokumenter ”The Lost Home” yang dibuat di Brno, surat kabar Severočeský deník mengatakan, ”Patut diperhatikan bahwa bahkan orang-orang sezaman yang bisa diandalkan [orang-orang Yahudi Ceko dan Slovakia yang masih hidup ini], dengan kekaguman yang nyata, telah memberikan kesaksian yang memihak para tahanan dari kalangan Saksi-Saksi Yehuwa, ’Mereka adalah orang-orang yang sangat berani, orang-orang yang selalu membantu kami sebisa mereka, meskipun menghadapi risiko hukuman mati,’ demikian komentar banyak orang. ’Mereka mendoakan kami, seolah-olah kami adalah bagian dari keluarga mereka, mereka menganjurkan kami agar tidak menyerah.’”
Namun, bagaimana dengan mengasihi orang-orang yang sebenarnya membenci Anda? Apakah hal ini mungkin?
Kasih Mengalahkan Kebencian
Ajaran Yesus berkenaan dengan mengasihi musuh-musuh sesuai dengan amsal Alkitab, ”Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air.” (Amsal 25:21; Matius 5:44) Seorang wanita kulit hitam yang baru-baru ini menjadi seorang Saksi-Saksi Yehuwa, menulis tentang pengaruh positif yang dihasilkan karena menerima perhatian yang pengasih dari orang-orang yang semula dipandang sebagai musuh, demikian, ”Kadang-kadang hati saya begitu tersentuh sampai-sampai saya tidak kuasa menahan air mata sewaktu merasakan kasih yang tulus dari Saksi-Saksi Yehuwa kulit putih. Padahal, belum lama berselang, demi revolusi, saya tanpa ragu-ragu membunuh orang-orang kulit putih.”
Seorang Saksi berkebangsaan Prancis bercerita bahwa seorang tetangga melaporkan ibunya kepada Gestapo sewaktu Perang Dunia II. ”Akibatnya, ibu saya harus mendekam di kamp konsentrasi Jerman selama dua tahun, dan ia hampir mati di sana,” demikian penjelasan sang putri. ”Seusai perang, polisi Prancis meminta Ibu menandatangani sebuah dokumen yang akan memberatkan wanita tetangga itu sebagai kaki tangan Jerman. Akan tetapi, ibu saya menolak.” Belakangan, tetangga itu menderita kanker stadium akhir. Sang putri menuturkan, ”Ibu menggunakan waktu berjam-jam untuk membuat bulan-bulan terakhir kehidupan tetangganya senyaman mungkin. Saya tidak akan pernah lupa bagaimana kasih mengalahkan kebencian.”
Tak diragukan lagi, orang-orang dapat belajar untuk saling mengasihi. Orang-orang yang semula bermusuhan—orang Tutsi dan Hutu, orang Yahudi dan Arab, orang Armenia dan Turki, orang Jepang dan Amerika, orang Jerman dan Rusia, orang Protestan dan Katolik—semuanya telah dipersatukan oleh kebenaran Alkitab!
Karena jutaan orang yang tadinya memendam kebencian kini bisa saling mengasihi, pasti seluruh dunia umat manusia dapat melakukannya. Akan tetapi, harus kita akui, suatu perubahan besar-besaran di seluruh dunia diperlukan agar semua orang saling mengasihi. Bagaimana perubahan ini dapat terjadi?
[Gambar di hlm. 7]
Kulit hitam dan putih di Afrika Selatan
Orang Yahudi dan Arab
Orang Hutu dan Tutsi
Secara simbolis, Saksi-Saksi telah menempa pedang mereka menjadi mata bajak
-
-
Saat Semua Orang Akan Saling MengasihiSedarlah!—1998 | 22 Oktober
-
-
Saat Semua Orang Akan Saling Mengasihi
DALAM khotbahnya di atas Gunung, Yesus Kristus menunjukkan saatnya semua orang akan saling mengasihi. Sewaktu menyampaikan pengantar untuk kata-katanya, Yesus mengutip Mazmur yang ke-37, dengan mengatakan, ”Berbahagialah orang-orang yang berwatak lemah lembut, karena mereka akan mewarisi bumi.” Mazmur Alkitab juga menjelaskan bagaimana situasi yang luar biasa ini akan terwujud, dengan berkata, ”Orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.”—Matius 5:5; Mazmur 37:9.
Perubahan yang luar biasa akan terjadi—semua orang yang berbuat jahat akan disingkirkan dari muka bumi dan hanya orang-orang yang saling mengasihi yang akan tetap tinggal! Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Yesus melanjutkan khotbahnya yang terkenal untuk menunjukkan caranya sewaktu ia mengajar kita untuk berdoa, ”Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:10, TB) Perhatikan tempat terjadinya kehendak Allah. Bukan hanya di surga. ”Kami berdoa, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga,” demikian penegasan sebuah artikel dalam The Christian Century.
Kalau begitu, apa sebenarnya Kerajaan Allah yang diajarkan oleh Yesus agar kita doakan? Jelaslah, kerajaan ini pemerintahan yang nyata, yang memerintah dari surga. Oleh karena itu, kerajaan itu disebut ”Kerajaan surga”. (Matius 10:7) Penguasa terlantik Kerajaan ini, atau pemerintahan ini, ialah putra Allah, Yesus Kristus.
Lama berselang sebelum Yesus dilahirkan oleh Maria, Yesaya, nabi Yehuwa, telah memberi tahu tentang peristiwa yang menakjubkan tersebut dan apa yang akan menyusul segera setelahnya, ”Seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan.” (Yesaya 9:5, 6) Setelah kematian dan kebangkitannya, Yesus duduk bersama Bapaknya di surga, menunggu perintah untuk mulai memerintah sebagai Raja.—Mazmur 110:1, 2; Ibrani 10:12, 13; Penyingkapan (Wahyu) 11:15.
Apa yang kemudian akan terjadi dengan dunia yang penuh dengan kebencian ini? Perhatikan bagaimana Alkitab menjawab pertanyaan ini. Nabi Allah, Daniel, memberi tahu di muka, ”Pada zaman raja-raja, Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain: kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya.”—Daniel 2:44.
Jelaslah, nubuat Alkitab ini menunjuk ke masa depan, pada suatu perubahan besar-besaran dalam urusan-urusan manusia. Seluruh sistem perkara ini, termasuk orang-orang dari dunia umat manusia yang dengan keras kepala tidak mau menundukkan diri kepada pemerintahan Allah, akan disingkirkan dari muka bumi! Perhatikanlah apa yang akan menggantikannya.
Kehidupan dalam Dunia Baru yang Adil-Benar
Pada waktu dunia tua ini berakhir kelak, akan ada orang-orang yang selamat. Alkitab menjelaskan, ”Dunia ini sedang berlalu dan demikian pula keinginannya, tetapi dia yang melakukan kehendak Allah tetap selama-lamanya.” (1 Yohanes 2:17) Ya, orang-orang yang melakukan kehendak Allah akan selamat memasuki dunia baru, seperti halnya Nuh beserta keluarganya hidup melewati akhir dunia pada zaman mereka. Rasul Petrus menulis, ”Ada langit baru dan bumi baru yang kita nantikan sesuai dengan janjinya, dan di dalamnya keadilbenaran akan tinggal.”—2 Petrus 3:5-7, 11-13.
Berkenaan dengan masa manakala satu-satunya pemerintah yang ada adalah Kerajaan Allah, Alkitab menjanjikan, ”Orang-orang benar akan mewarisi negeri dan tinggal di sana senantiasa.” (Mazmur 37:29) Orang-orang yang adil-benar akan menikmati kehidupan di bumi yang telah dibersihkan. Benar-benar masa yang gemilang! Periksalah berkat-berkat yang Alkitab katakan sebagaimana diilustrasikan pada halaman-halaman berikut ini, bila Anda belum memeriksanya.
Tidakkah hati Anda tersentuh karena tahu bahwa Pencipta kita menjanjikan perkara-perkara yang luar biasa ini demi orang-orang yang menyembah Dia? Sesungguhnya, inilah maksud-tujuan Allah ketika Ia menciptakan pasangan manusia yang pertama dan menempatkan mereka dalam firdaus di bumi! Perhatikan bahwa Allah memberi tahu mereka, ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”—Kejadian 1:27, 28.
Adam dan Hawa diharapkan mempunyai anak-anak, dan seraya anak-anak ini bertambah dewasa, mereka diharapkan turut dalam pekerjaan yang menyenangkan untuk memelihara Firdaus di bumi. Pikirkanlah sukacita yang akan dialami sewaktu meluaskan batas-batas taman Eden seraya keluarga manusia bertambah besar! Jelaslah, menjadikan seluruh bumi suatu firdaus, memang merupakan maksud-tujuan Allah. Apakah maksud-tujuan ini akan terwujud? Kita dapat yakin akan hal itu, karena firman Allah sendiri menjadi jaminannya! Ia menjanjikan, ”Aku telah mengatakannya,. . . maka Aku hendak melaksanakannya.”—Yesaya 46:11; 55:11.
Apakah Anda akan menikmati hidup selama-lamanya dalam Firdaus di bumi seperti yang dilukiskan dalam ayat-ayat di halaman-halaman berikut ini? Memang, tidak semua orang akan diizinkan hidup di sana selama-lamanya. Ada persyaratannya. Apa persyaratannya?
Memenuhi Syarat untuk Hidup Selama-lamanya
Pertama-tama, semua orang yang ingin hidup dalam dunia baru Allah harus belajar untuk saling mengasihi, sebagaimana yang Allah ajarkan untuk kita lakukan. Alkitab mengatakan, ”Kamu sendiri diajar Allah untuk saling mengasihi.” (1 Tesalonika 4:9) Bagaimana kita bisa diajar oleh Allah?
Terutama melalui Firman tertulis-Nya, Alkitab. Artinya, untuk hidup selama-lamanya, kita harus menerima ajaran-ajaran Allah yang terdapat dalam Alkitab. Seorang siswa Alkitab dari sebuah negeri Timur, berkata, ”Saya menanti-nantikan, masa seperti yang Alkitab janjikan, masa manakala semua orang sudah belajar saling mengasihi.”
Dalam doa kepada Bapaknya, Yesus menyebutkan sebuah persyaratan penting. Ia mengatakan, ”Ini berarti kehidupan abadi, bahwa mereka terus memperoleh pengetahuan mengenai dirimu, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenai pribadi yang engkau utus, Yesus Kristus.” (Yohanes 17:3) Brosur 32 halaman Apa yang Allah Tuntut dari Kita? akan membantu Anda untuk mendapatkan pengetahuan ini. Anda dapat memperoleh satu eksemplar dengan mengisi kupon yang terdapat di halaman 32 dan mengirimkan kupon tersebut ke Watchtower, 25 Columbia Heights, Brooklyn, NY 11201-2483, atau ke salah satu alamat yang cocok yang terdapat di halaman 5.
[Kotak/Gambar di hlm. 8-10]
Janji-Janji Allah
Persaudaraan yang Penuh Kasih di Seluas Dunia
”Allah tidak berat sebelah, tetapi dalam setiap bangsa orang yang takut kepadanya dan mengerjakan keadilbenaran dapat diterima olehnya.”—Kisah 10:34, 35.
Tidak Ada Lagi Kejahatan atau Peperangan
”Tetapi orang fasik akan dipunahkan dari tanah itu.”—Amsal 2:22.
”[Allah] menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi.”—Mazmur 46:10.
Makanan yang Sehat Tersedia dengan Limpah
”Tanaman gandum berlimpah-limpah di negeri, bergelombang di puncak pegunungan.”—Mazmur 72:16.
Perdamaian Antara Manusia dan Binatang
”Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. . . . dan seorang anak kecil akan menggiringnya.”—Yesaya 11:6.
Penyakit, Usia Lanjut, dan Kematian Disingkirkan
”[Allah] akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan kematian tidak akan ada lagi, juga tidak akan ada lagi perkabungan atau jeritan atau rasa sakit. Perkara-perkara yang terdahulu telah berlalu.”—Penyingkapan 21:4.
Kebangkitan di Bumi bagi Orang-Orang yang Dikasihi yang Telah Meninggal
”Jamnya akan tiba ketika semua orang yang di dalam makam peringatan akan mendengar suara [Yesus] dan keluar.”—Yohanes 5:28, 29.
-