PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w85_s-15 hlm. 27-32
  • Kasih Keluargaku kepada Allah Walaupun Penjara dan Kematian

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Kasih Keluargaku kepada Allah Walaupun Penjara dan Kematian
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1985 (s-15)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Rumah ”Abad Keemasan” Kami
  • Semua Harmonis
  • Kesengsaraan Mulai
  • Yang Paling Muda Di Bawah Tekanan
  • Seluruh Keluarga Diuji
  • Ravensbrück—Teman-Teman dan Musuh-Musuh
  • Martir Pertama
  • Martir Kedua
  • Kasih kepada Allah Masih Tetap Di Tempat Yang Pertama
  • Pengaruh-Pengaruh Kemudian
  • Apa yang Dapat Kubalas kepada Yehuwa?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2009
  • Dengan Sabar Menanti Yehuwa Sejak Kecilku
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1997
  • Percaya pada Perhatian Yehuwa yang Pengasih
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2004
  • Dimotivasi oleh Loyalitas Keluarga Saya pada Allah
    Sedarlah!—1998
Lihat Lebih Banyak
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1985 (s-15)
w85_s-15 hlm. 27-32

Kasih Keluargaku kepada Allah Walaupun Penjara dan Kematian

Seperti yang diceritakan oleh Magdalena Kusserow Reuter

KAKAK saya Wilhelm akan dihukum mati oleh Nazi esok pagi. Kejahatannya? Dengan sengaja menolak dinas dalam tentara Jerman. Ia berumur 25 tahun dan menyadari benar mendekatnya saat hukuman mati oleh regu penembak. Selama malam dari tanggal 26 April 1940 itu, ia menulis kepada kami surat perpisahan berikut, dan setelah itu ia pergi tidur dengan tenang dan tidur nyenyak.

”Ayah dan ibu serta saudara-saudaraku yang kekasih,

Kalian semua mengetahui betapa besar arti kalian bagiku, dan saya selalu diingatkan akan hal ini setiap kali saya melihat foto keluarga kita. Betapa harmonisnya segala sesuatu di rumah. Walaupun demikian, di atas segala-galanya kita harus mengasihi Allah, sebagaimana Pemimpin [Führer] kita Yesus Kristus perintahkan. Jika kita membela Dia, Ia akan memberi pahala kepada kita.”

Di malam terakhirnya Wilhelm yang kami kasihi mengingat kami—orangtua Kristennya dan lima saudara laki-laki serta lima saudara perempuannya, suatu keluarga yang luar biasa besar dan harmonis. Selama waktu yang kacau ini, kami sebagai satu keluarga selalu menjaga agar kasih kami kepada Allah selalu ada di tempat pertama.

Rumah ”Abad Keemasan” Kami

Orangtuaku, Franz dan Hilda Kusserow, adalah Siswa-Siswa Alkitab, atau Saksi-Saksi Yehuwa, yang rajin, sejak mereka dibaptis tahun 1924, di tahun ketika saya dilahirkan sebagai anak mereka yang ketujuh. Masa kanak-kanak yang kami 11 anak nikmati bersama orangtua kami adalah masa yang luar biasa. Karena ayahku cepat pensiun dari pekerjaan duniawi, ia dapat menggunakan banyak waktu untuk kami. Dan ia melakukan ini selaras dengan prinsip-prinsip Alkitab. Tidak ada satu hari yang berlalu tanpa kami menerima nasihat dan petunjuk Alkitab. Orangtua kami mengetahui bahwa anak-anak tidak akan otomatis menjadi pemuji Yehuwa hanya karena orangtuanya demikian.

Dalam tahun 1931 ayah menyambut undangan Lembaga Watchtower untuk memindahkan keluarganya yang besar ke satu daerah di mana pada waktu itu belum ada sidang setempat. Di Paderborn dan sekitarnya—mencakup kurang lebih 200 kota dan desa—ada banyak pekerjaan bagi kami untuk mengabarkan berita Kerajaan. Kakak perempuan saya yang sulung, Annemarie, melayani sebagai perintis istimewa, dan ayah serta kakak laki-laki yang berumur 15 tahun, Siegfried, sebagai perintis biasa.

Dari jarak yang jauh orang bisa melihat dua tanda besar yang dilukis pada kedua sisi rumah kami di Bad Lippspringe. Dalam bahasa Jerman ayah menulis di situ: BACALAH ’ABAD KEEMASAN’ (’LESEN SIE ‘DAS GOLDENE ZEITALTER’)(’THE GOLDEN AGE’, nama sebelumnya dari majalah Awake! [Sedarlah!]). Rumah itu terletak pada jalan rel trem yang menghubungi Paderborn dan Detmold. Setiap kali trem berhenti di depan rumah, masinis berteriak, ”Perhentian trem, GOLDEN AGE!” Dan benar juga, rumah kami yang terletak di atas sebidang tanah seluas 1,2 hektar dan dikelilingi oleh suatu taman yang indah dengan semak-semak dan pohon-pohon menjadi bagi kami pusat pendidikan dan kegiatan, yang semuanya berkisar pada abad keemasan dari Kerajaan Allah yang akan datang.—Matius 6:9, 10.

Semua Harmonis

Suatu keluarga yang diberkati dengan begitu banyak anak membutuhkan pimpinan. Sering kali ada sayur-mayur dan buah-buahan untuk dituai. Ayam-ayam dan itik-itik perlu pemeliharaan, dan anak-domba dari keluarga membutuhkan botol susunya. Anjing ”Fiffi” dan kucing ”Pussi”, juga anggota-anggota keluarga yang disayangi, membutuhkan perhatian. Maka Ayah mengatur rencana untuk pekerjaan pemeliharaan rumah, berkebun, dan pemeliharaan binatang-binatang piaraan. Setiap anak turut-serta dalam berbagai corak pekerjaan, yang diadakan berganti-ganti tiap minggu antara laki-laki dan perempuan.

Ayah juga memasukkan waktu untuk rekreasi, yang mencakup musik, seni lukis dan banyak hal lain, semuanya diawasi oleh ibu, seorang guru yang ahli. Kami mempunyai lima biola, satu piano, satu organ, dua akordeon, satu gitar dan beberapa suling. Ya, orangtua kami tidak saja mengawasi pekerjaan rumah dari sekolah, tetapi mereka jadikan musik dan menyanyi bagian dari acara pendidikan kami.

Yang saya rasa paling penting dewasa ini ialah bahwa tidak pernah ada satu hari berlalu tanpa kami menerima pelajaran rohani, baik pada waktu makan dengan mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami maupun secara menghafal beberapa ayat Alkitab. Ayah juga menuntut agar kami belajar menyatakan diri dengan tepat. Dengan kata lain, kami menikmati kehidupan keluarga yang diidamkan, yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Tentu, kami juga mempunyai kelemahan-kelemahan, dan Ayah sering mendisiplin kami dengan kata-kata yang lebih sakit dari pada hukuman apapun. Ia selalu mengajar kami untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan kami dan rela mengampuni orang-orang lain. Pada waktu itu kami tidak menyadari betapa pentingnya semua latihan ini untuk hari depan.

Anggota yang paling muda dalam keluarga, Paul-Gerhard, lahir tahun 1931. Ia disambut oleh kakak laki-lakinya, Wilhelm, Karl-Heinz, Wolfgang, Siegfried, dan Hans-Werner, dan juga oleh saya dan kakak perempuan saya, Annemarie, Waltraud, Hildegard, dan Elisabeth.

Kesengsaraan Mulai

Kira-kira waktu ini Adolf Hitler mulai berkuasa di Jerman. Rupanya ayah tahu bahwa problem-problem akan datang, dan ia makin lebih mempersiapkan kami untuk tahun-tahun yang sulit di masa depan. Ia menunjukkan kepada kami dari Alkitab bahwa beberapa Saksi yang setia akan dianiaya, dimasukkan penjara, dan bahkan dibunuh. (Matius 16:25; 2 Timotius 3:12; Wahyu 2:10) Saya masih ingat bahwa saya berpikir hal ini mungkin tidak terjadi pada keluarga kami. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi atas kami di masa depan.

Pukulan pertama adalah kematian kakak saya Siegfried karena kecelakaan tenggelam pada umur 20 tahun. Lalu di musim semi 1933 kami mulai diawasi dengan ketat oleh anggota-anggota Nasional-Sosialis, sekarang umum dikenal sebagai golongan Nazi. Polisi rahasia memerintahkan untuk menghapus tanda-tanda di rumah kami. Tetapi mutu cat pada waktu itu begitu rendah sehingga masih terlihat ”GOLDEN AGE” dengan jelas! Dan masinis trem terus berteriak, ”Perhentian trem, GOLDEN AGE!”

Lambat-laun tekanan-tekanan makin bertambah keras. Rekan-rekan Saksi, yang dengan kejam dianiaya oleh Gestapo, mencari perlindungan di rumah kami. Pensiun ayah dipotong karena ia menolak untuk menyerukan ”Heil Hitler”. Antara 1933 dan 1945, Gestapo menggeledah rumah kami kira-kira 18 kali. Namun apakah semua ini menakuti kami anak-anak? Kakak perempuan saya Waltraud mengingat, ”Bahkan dengan bertambahnya penindasan, kami mendapat kekuatan dari orangtua kami, yang tetap tentu belajar Alkitab bersama kami. Kami masih mengikuti jadwal dari Ayah.”

Yang Paling Muda Di Bawah Tekanan

Kami diliputi perasaan gugup seraya yang paling muda dari kami pergi ke sekolah setiap hari. Guru-guru menuntut agar kami menghormati bendera, menyanyikan nyanyian-nyanyian Nazi, dan mengangkat tangan seraya menyerukan ”Heil Hitler”. Karena kami menolak, kami dijadikan sasaran ejekan. Tetapi apa yang membantu kami untuk tetap teguh? Kami semua setuju bahwa rahasianya ialah karena Ayah dan Ibu setiap hari membahas problem-problem kami masing-masing pada waktu itu terjadi. (Efesus 6:4) Mereka menerapkan kepada kami bagaimana harus bertindak dan bagaimana membela diri dengan Alkitab. (1 Petrus 3:15) Sering kami mengadakan adegan-adegan latihan, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memberikan jawaban.

Kakak saya Elisabeth masih ingat ujian berat yang ia hadapi, ”Suatu saat yang paling sulit bagi kami yang tidak pernah akan kami lupakan adalah ketika di musim semi tahun 1939, kepala sekolah menuduh kami anak-anak ditelantarkan secara rohani dan moral dan mengatur melalui pengadilan agar kami dikeluarkan dari sekolah dan dibawa dengan paksa ke suatu tempat yang tidak diketahui. Saya berumur 13 tahun, Hans-Werner 9, dan Paul-Gerhard baru 7 tahun.”

Belum lama ini, lebih dari 40 tahun kemudian, Paul-Gerhard menerima surat dari seorang pejabat yang perasaan hatinya masih terus mengganggu dia. Ia menulis, ”Sayalah polisi yang membawa anda dan kakak-kakak anda ke sekolah anak-anak nakal. Saya menyerahkan anda pada malam itu juga.” Bayangkan, tiga anak yang tidak berdaya diculik dari sekolah tanpa sepatah kata kepada orangtua kami!

Ibu berusaha mencari tahu ke mana mereka dibawa. Akhirnya, setelah beberapa minggu, ia menemukan mereka di suatu sekolah anak-anak nakal di Dorsten. Direkturnya segera menyadari bahwa anak-anak itu berkelakuan baik dan bahwa mereka tidak cocok di situ, maka setelah beberapa bulan mereka dibebaskan. Tetapi mereka tidak sampai ke rumah. Apa yang terjadi?

Saudara-saudara saya dicegat oleh Gestapo dan dibawa dari Dorsten ke Nettelstadt dekat Minden dan ditempatkan di suatu sekolah latihan dari Nazi. Kunjungan dari keluarga tentu dilarang, tetapi ibu berusaha dengan cara apapun yang mungkin untuk menguatkan anak-anaknya, termasuk mengirim surat-surat tersembunyi. Sekali waktu ia bahkan dapat bertemu dan berbicara dengan mereka dengan tidak dilihat orang. Kemudian anak-anak itu dipisahkan dan dibawa ke tempat-tempat yang berbeda. Mereka tetap mempertahankan integritas mereka dan menolak untuk memberi salut kepada bendera atau untuk menyerukan ”Heil Hitler”. Mereka menunjuk kepada Kisah 4:12, di mana mengenai Yesus dikatakan, ”Keselamatan [Heil, dalam bahasa Jerman] tidak ada di dalam siapapun juga.”

Seluruh Keluarga Diuji

Sementara itu, Ayah mengalami dua kali hukuman penjara. Ia dibebaskan dari penjara pada tanggal 16 Agustus 1940, hanya untuk dikirim kembali delapan bulan kemudian dan menjalani hukuman penjaranya yang ketiga di Kassel-Wehlheiden. Akan tetapi selama masa bebas yang pendek ini, betapa besar sukacitanya untuk dapat membaptiskan tiga dari kami—Hildegard yang berumur 19 tahun, Wolfgang yang berumur 18 tahun, dan saya, pada waktu itu berumur 16 tahun.

Ayah dipenjarakan kembali bersamaan waktu di mana Ibu dan Hildegard sedang ditahan. Saya juga dibawa ke pengadilan dan pada umur 17 tahun dihukum kurungan tersendiri di penjara anak-anak di Vechta. Di sana saya hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Bangun pagi sekali dan hanya duduk sepanjang hari memandang tembok-tembok putih-bersih tidaklah mudah. Saya berusaha mengingat sebanyak mungkin dari apa yang telah saya belajar dan kagum akan kekayaan-kekayaan rohani yang saya peroleh. Saya mengingat kembali lagu-lagu Kerajaan secara keseluruhan dan menyusun tema-tema Alkitab. Betapa berterima kasih saya atas semua latihan yang teliti yang orangtua berikan kepadaku!

Pada waktu enam bulan pertama di penjara hampir berakhir, kepala penjara memanggil saya ke kantornya dan menerangkan bahwa saya dapat dibebaskan jika saya menandatangani suatu pernyataan menyangkal imanku sebagai ajaran palsu. Sekali lagi saya mempunyai hak kehormatan untuk membela imanku. Sebagai jawaban ia diam saja. Lalu ia mengatakan dengan suara sedih bahwa ia harus mengembalikan saya kepada Gestapo. Empat bulan kemudian saya diangkut ke konsentrasi kamp Ravensbrück.

Ibuku dan Hildegard masih berada di penjara. Saya berjumpa dengan mereka kemudian pada waktu mereka dikirim ke Ravensbrück. Setelah itu Ibu dan saya dapat tinggal bersama sampai akhir perang. Annemarie dan Waltraud juga menjalani waktu dalam penjara. Setiap anggota keluarga sekarang telah ditempatkan dalam penjara atau diculik. Rumah besar kami di Bad Lippspringe, yang pernah dipenuhi dengan gelak tertawa dan nyanyian anak-anak yang riang, sekarang telah kosong. Tanda-tanda di dua-dua sisi dari rumah telah dicat berulang-ulang. GOLDEN AGE tidak kelihatan lagi.

Ravensbrück—Teman-Teman dan Musuh-Musuh

Pada waktu saya tiba di Ravensbrück, walaupun dalam keadaan tahanan saya mengharapkan akan bertemu dengan Saksi-Saksi yang lain. Namun bagaimana saya dapat bertemu mereka di antara ribuan tahanan itu? Bagian dari prosedur penerimaan adalah menghilangkan kutu-kutu. Tahanan yang memeriksa kepalaku bertanya dengan suara rendah, ”Mengapa engkau berada di sini?” ”Saya seorang Penyelidik Alkitab,” jawabku. ”Selama datang, saudariku yang kekasih!” Setelah itu saya dibawa ke blok Penyelidik Alkitab di mana Saudari Gertrud Poetzinger menaruh saya di bawah pengawasannya.

Hari berikutnya saya dipanggil ke kantor komandan kamp. Di atas mejanya sebuah Alkitab besar terbuka di Roma pasal 13. Ia perintahkan saya membaca ayat pertama, yang mengatakan, ”Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya.” Setelah saya selesai ia berkata, ”Dan sekarang anda menerangkan kepada saya mengapa anda tidak mau taat kepada pemerintah yang di atas.” Saya menjawab, ”Untuk dapat menerangkan ini, saya harus membaca seluruh pasal.” Ia langsung menutup Alkitab dan menyuruh saya pergi. Demikianlah mulai tiga setengah tahun saya di Ravensbrück.

Selain kekejaman dari penjaga-penjaga SS, mungkin musim dingin adalah bagian yang paling buruk dari pengalaman itu. Kami biasa berdiri berbaris dalam kedinginan yang membeku untuk dihitung oleh pejabat kepala setiap pagi. Ini mulai jam 4 pagi dan bisa berjalan dari dua sampai lima jam! Kami tidak diperbolehkan untuk memasukkan tangan ke dalam saku, dan kaki tangan saya menjadi bengkak karena kedinginan dan membutuhkan perhatian medis.

Namun kami juga menggunakan jam-jam yang terbuang itu dalam barisan untuk membina satu sama lain secara rohani. Pada waktu penjaga-penjaga SS berada dalam jarak cukup jauh sehingga tidak bisa mendengar, kami semua mengulangi satu ayat dari mulut ke mulut dan dengan demikian memusatkan pikiran kami kepada Firman Allah. Pada suatu kesempatan kami semua mempelajari Mazmur 83, mengulanginya satu demi satu, dengan hati-hati supaya tidak ketahuan oleh penjaga. Bantuan rohani ini membantu kami untuk bertahan. Tetapi marilah kita kembali ke musim semi 1940.

Martir Pertama

Kakak saya Wilhelm dijatuhi hukuman mati yang dilaksanakan di hadapan umum di pekarangan rumah sakit di Münster. Ia adalah martir pertama dari keluarga. Ibu dan saya mengunjungi dia beberapa saat sebelum ia mati. Kami terkesan oleh sikapnya yang begitu tenang. Ia ingin agar Ibu membawa mantelnya dengan mengatakan, ”Saya tidak membutuhkannya lagi.”

Hitler menolak naik banding yang ketiga dari Wilhelm terhadap hukuman mati dan menandatangani sendiri surat perintah untuk pelaksanaan itu. Tetapi bahkan seraya mata Wilhelm diikat, ia masih diberi kesempatan terakhir untuk menyangkal imannya. Ia menolak. Keinginannya terakhir? Supaya mereka menembak langsung. Pengacaranya yang ditunjuk oleh pengadilan kemudian menulis kepada keluarga, ”Ia langsung meninggal, menghadapi kematian dengan berdiri tegak. Sikapnya sangat berkesan kepada pengadilan dan kami semua. Ia mati untuk keyakinannya.”

Ibu segera pergi ke Münster untuk mendapatkan mayatnya. Ia mengambil keputusan untuk menguburnya di Bad Lippspringe. Sebagaimana ia katakan, ”Kami akan memberi kesaksian besar kepada orang-orang yang mengenal dia.” Ia menambahkan, ”Aku akan menjadikan Setan menderita karena membunuh Wilhelm.” Ia meminta Ayah dibebaskan dari penjara empat hari untuk menghadiri pemakaman, dan dengan tidak disangka-sangka hal ini diizinkan!

Ayah berdoa pada pemakaman, dan Karl-Heinz, kakak laki-laki yang kedua, mengucapkan kata-kata penghiburan dari Alkitab kepada kumpulan besar orang-orang berkabung yang berkumpul di kuburan Wilhelm. Beberapa minggu kemudian, tanpa diadili, Karl-Heinz juga dikirim ke kamp konsentrasi, mula-mula ke Sachsenhausen dan kemudian ke Dachau.

Martir Kedua

Kakak laki-laki yang lain, Wolfgang, telah berpihak kepada Allah yang benar pada waktu ia dibaptis walaupun ia mengetahui hal ini dapat membawa dia kepada kematian. Tetapi ia tidak bisa melupakan contoh-contoh yang menonjol dalam keteguhan dari ayah dan saudara-saudaranya laki-laki, ya, sebenarnya dari seluruh keluarga. Pada tanggal 27 Maret 1942, satu setengah tahun setelah ia dibaptis, ia sendiri duduk dalam sel di Berlin menulis surat perpisahan berikut,

”Sekarang, sebagai anak laki-laki yang ketiga dan saudaramu, saya harus meninggalkan kalian besok pagi. Jangan sedih, sebab waktunya akan tiba di mana kita akan bersama lagi. . . . Betapa besarnya sukacita kita nanti, bila kita dikumpulkan kembali! . . . Sekarang kita dipisah-pisah, dan masing-masing kita harus menahan ujian; sesudah itu kita akan menerima pahala.”

Hitler telah memutuskan bahwa kematian dengan ditembak terlalu baik untuk orang-orang yang tetap menolak. Ia memerintahkan hukuman dengan pemenggalan kepala. Sebagai martir kedua dari keluarga kami, Wolfgang dipenggal kepala di penjara di Brandenburg. Ia baru berumur 20 tahun.

Kasih kepada Allah Masih Tetap Di Tempat Yang Pertama

Apa yang terjadi dengan anggota-anggota keluarga yang selamat melampaui zaman Nazi itu? Waltraud dan Hans-Werner adalah yang pertama tiba kembali di Bad Lippspringe pada akhir Perang Dunia II. Hildegard, Elisabeth, dan Paul-Gerhard menyusul. Ayah, dengan satu kaki patah, mengadakan perjalanan pulang mengendarai kereta pengangkut binatang dan duduk di antara domba-domba.

”Kami berbahagia sekali mendapat Ayah bebas lagi dan kembali bersama kami,” ingat Waltraud. ”Tetapi ia sakit sekali. Dalam bulan Juni 1945, seorang perawat membawa kembali saudara kami Karl-Heinz dalam keadaan sakit parah dari kamp konsentrasi Dachau. Dalam bulan Juli 1945, Annemarie tiba kembali dari penjara di Hamburg-Fuhlsbüttel, melalui jalan yang berputar-putar. Anggota-anggota terakhir dari keluarga, Ibu dan Magdalena, setelah banyak kesulitan tiba kembali dari Ravensbrück dalam bulan September 1945. Banyak sekali yang harus kami ceritakan!”

Apakah masa penganiayaan dan kehilangan keluarga memadamkan kasih kami kepada Allah? Sama sekali tidak! Ayah, walaupun sakit, tidak mempunyai saat yang tenang sebelum ia selesai mengorganisasi pekerjaan, termasuk kegiatan pengabaran dari rumah ke rumah, dan mengatur untuk mengadakan perhimpunan-perhimpunan. Seraya mengatur rencana keluarga, yang menyediakan perawatan bagi yang sakit dan mengatur kebutuhan mencari nafkah, kami tidak lupa bahwa kasih kami kepada Allah harus mendapat tempat pertama. Kami memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk pelayanan sepenuh-waktu. Demikianlah Elisabeth dan saya menjadi perintis istimewa tahun 1946, sedang Annemarie dan Paul-Gerhard melayani sebagai perintis biasa.

Pengaruh-Pengaruh Kemudian

Tetapi pengaruh-pengaruh kemudian dari penganiayaan atas kesehatan kami segera menjadi nyata. Dalam bulan Oktober 1946, pada umur 28 tahun, Karl-Heinz meninggal akibat penyakit paru-paru. Dalam bulan Juli 1950, ayah kami yang kekasih mengakhiri kehidupannya di bumi dengan keyakinan bahwa pekerjaan-pekerjaannya akan terus menyertai dia. Ibuku, yang juga mempunyai harapan surgawi, meninggal tahun 1979. (Lihat Wahyu 14:13.) Elisabeth harus meninggalkan dinas sepenuh-waktu, tetapi ia terus setia hingga kematiannya dalam tahun 1980. Tahun 1951 Ibu mengikuti dinas perintis dan, walaupun sudah berumur lebih dari 60 tahun, sanggup meneruskan selama tiga setengah tahun. Dan betapa besar sukacitanya untuk melihat sebelum kematiannya, bagian terbesar dari cucu-cucunya terjun dalam dinas sepenuh-waktu.

Saudaraku yang bungsu, Paul-Gerhard, bekerja di percetakan di Betel Jerman sampai ia diundang untuk mengikuti sekolah misionaris dari Gilead. Ia tamat bersama kelas ke-19 dalam tahun 1952. Setelah beberapa tahun lagi dalam dinas sepenuh-waktu, ia terpaksa harus berhenti pada waktu istrinya sakit parah. Bahkan walaupun istrinya masih tetap harus berbaring, ia melayani sebagai penatua, dan anak perempuan mereka Brigitte sekarang melayani sebagai perintis istimewa. Anak laki-laki mereka Detlef sudah merintis selama 14 tahun. Dua anak dari Elisabeth, Jethro dan Wolfgang, juga sudah berada dalam dinas sepenuh-waktu selama bertahun-tahun.

Dalam tahun 1948, saya juga pergi melayani di Betel Wiesbaden. Di keluarga Betel saya merasa aman, sama seperti di rumah. Kami bekerja keras, sering sampai jauh malam, untuk membongkar pengiriman-pengiriman buku dalam jumlah besar dari kantor pusat Brooklyn. Tahun 1950 saya menikah dengan George Reuter, sesama pekerja Betel. Maka, suatu masa baru mulai bagi saya, dengan pengalaman-pengalaman yang indah berdampingan dengan suamiku dalam dinas wilayah, distrik, dan misionaris di Togo, Afrika, di Luxembourg, dan sekarang di Spanyol selatan.

Dan sisa dari keluarga? Tahun 1960, Annemarie, Waltraud, dan Hildegard, bersama Ibu, pindah ke sebuah kota besar di Jerman, di mana mereka bisa bekerja dengan sidang-sidang yang berbahasa Inggris dan Italia. Hildegard, yang selamat melampaui hampir lima tahun penjara dan konsentrasi kamp, akhirnya tunduk kepada kematian tahun 1979. Annemarie dan Waltraud terus bekerja dengan semangat berkorban dan pengabdian diri.

Memang benar, keluarga kami, yang menaruh kasih kepada Allah di tempat pertama, telah mengalami kata-kata Yesus bahwa ”Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara,” untuk menguji kesetiaan hamba-hamba Allah ”sampai mati”. Tetapi kami tidak pernah lupa apa yang Yesus juga katakan, ”Barangsiapa menang, ia tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua.”—Wahyu 2:10, 11.

Maka itu, kami mempunyai cukup alasan memandang ke masa depan untuk dipersatukan dalam ”GOLDEN AGE” mendatang—yang bukan hanya dilukis di dinding. Di bawah Kerajaan Allah ini akan menjadi kenyataan!—Wahyu 20:11–21:7.

[Gambar di hlm. 28]

Foto terakhir yang pernah diambil dari seluruh keluarga. Dari kiri ke kanan, berdiri: Siegfried, Karl-Heinz, Wolfgang, Ayah, Ibu, Annemarie, Waltraud, Wilhelm, Hildegard. Duduk: Paul-Gerhard, Magdalena, Hans-Werner, and Elisabeth

[Gambar di hlm. 30]

Rumah keluarga yang terletak di perhentian trem ”GOLDEN AGE”

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2026)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan