PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Apakah Harapan untuk Perdamaian Memudar?
    Sedarlah!—2002 | 22 Oktober
    • Apakah Harapan untuk Perdamaian Memudar?

      ”Dewasa ini, kita merasa seperti hidup . . . di tengah-tengah tornado, suatu bencana yang tak ada bandingannya.”​—Surat kabar ”La Repubblica”, Roma, Italia.

      SETELAH serangan teroris pada tahun lalu di New York City dan Washington, DC, semakin banyak orang bertanya-tanya mengenai masa depan umat manusia. Gambar-gambar di TV yang memperlihatkan Menara Kembar runtuh dalam kobaran api​—serta gambar-gambar yang memperlihatkan keputusasaan orang-orang yang selamat​—ditayangkan berulang kali. Gambar-gambar itu membuat orang-orang di seluas dunia sangat tertekan. Selain tekanan batin, timbul pula perasaan bahwa dunia ini dengan satu atau lain cara sedang mengalami perubahan bersejarah. Benarkah demikian?

      Perang meletus sebagai dampak lanjutan peristiwa 11 September 2001. Dalam waktu singkat, bangsa-bangsa yang tadinya saling bermusuhan menjadi sekutu dalam upaya bersama untuk menaklukkan terorisme. Secara keseluruhan, korban jiwa dan kerusakan sangat besar. Namun, perubahan yang mungkin lebih signifikan bagi banyak orang di seluas dunia adalah hilangnya rasa aman, meningkatnya perasaan bahwa tidak seorang pun, di mana saja, yang benar-benar aman.

      Para pemimpin dunia sedang menghadapi problem yang sangat besar. Para wartawan dan komentator bertanya-tanya tentang cara mencegah terorisme agar tidak menyebar dengan sangat cepat, mengingat hal itu tampaknya disulut oleh kemiskinan dan fanatisme​—masalah yang tampaknya tak mampu dituntaskan oleh siapa pun. Ketidakadilan sedemikian meluasnya di dunia ini sampai-sampai hal yang sangat sepele dapat menyulut keributan yang sangat besar. Orang-orang dari segala golongan bertanya-tanya apakah masalah masyarakat akan pernah lenyap. Apakah perang​—dengan segala penderitaan, kematian, dan kehancuran yang diakibatkannya​—akan pernah berakhir?

      Jutaan orang berpaling kepada agama yang terorganisasi untuk mendapatkan jawabannya. Namun, yang lain lebih skeptis. Bagaimana dengan Anda? Menurut Anda, apakah para pemimpin agama dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Dan, dapatkah mereka benar-benar turut mewujudkan perdamaian melalui doa-doa mereka?

  • Agama-Agama Berkumpul di Assisi Mencari Perdamaian
    Sedarlah!—2002 | 22 Oktober
    • Agama-Agama Berkumpul di Assisi Mencari Perdamaian

      ”Jangan ada lagi kekerasan! Jangan ada lagi perang! Jangan ada lagi terorisme! Atas nama Allah, semoga semua agama mewujudkan keadilan dan perdamaian, pengampunan dan kehidupan, serta kasih di atas bumi!”​—Paus Yohanes Paulus II.

      ASSISI, ITALIA, 24 Januari 2002​—Para utusan agama yang terorganisasi di dunia berkumpul untuk berdoa demi perdamaian, suatu perdamaian yang kini terancam oleh terorisme, intoleransi, dan ketidakadilan. Pertemuan itu diumumkan oleh sri paus sekitar dua bulan setelah runtuhnya Menara Kembar di New York City. Banyak pemimpin agama dengan antusias menyambut undangan Vatikan.

      Pada dua peristiwa sebelumnya​—pertama pada tahun 1986 dan belakangan pada tahun 1993​—sri paus juga telah menyerukan diselenggarakannya hari doa di kota yang sama di Italia.a Lebih dari seribu wartawan dari seluruh penjuru dunia datang untuk memantau pertemuan tahun 2002 itu. Banyak agama mengirim utusan untuk berdoa demi perdamaian​—Susunan Kristen (Katolik, Lutheran, Anglikan, Ortodoks, Metodis, Baptis, Pantekosta, Kaum Mennon, Kaum Quaker, dan lain-lain), Islam, Hinduisme, Konfusianisme, Sikhisme, Jainisme, Tenrikyo, Buddhisme, Yudaisme, agama-agama tradisional Afrika, Shinto, dan Zoroastrianisme. Delegasi dari agama-agama lain, serta seorang utusan Dewan Gereja Sedunia, juga hadir.

      Deklarasi-Deklarasi yang Mendukung Perdamaian

      Kegiatan dimulai pada pukul 8.40, ketika ”kereta perdamaian” berangkat dari stasiun kecil Vatikan. Kereta dengan tujuh gerbong itu, yang diperlengkapi dengan baik agar nyaman, dikawal oleh dua helikopter. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, sri paus dan para pemimpin agama lainnya tiba di Assisi. Pengamanan sangat ketat​—ada sekitar seribu polisi yang berjaga-jaga.

      Para pemimpin agama itu berkumpul di sebuah piazza (alun-alun) kuno yang ditutupi tenda yang sangat besar. Di dalamnya, para utusan agama itu duduk di atas panggung besar warna merah berbentuk V, dengan sri paus di tengah. Di sisi panggung terdapat sebatang pohon zaitun​—lambang perdamaian. Di depan panggung, terdapat lebih dari 2.000 tamu pilihan. Barisan depan diduduki beberapa pejabat tertinggi Italia. Paduan suara yang mengesankan menyanyikan himne-himne perdamaian untuk menyelingi pidato-pidato. Di bagian lain kota itu, ribuan orang, kebanyakan kaum muda, memajang spanduk-spanduk antiperang dalam beberapa bahasa dan menyanyikan lagu-lagu tentang perdamaian. Banyak orang membawa cabang-cabang zaitun.

      Setelah menduduki tempatnya di panggung, sri paus menyambut para delegasi dari berbagai agama. Lalu, setelah dinyanyikannya sebuah himne dalam bahasa Latin yang didasarkan pada Yesaya 2:4​—yang menubuatkan masa manakala ”bangsa tidak akan mengangkat pedang melawan bangsa”—dua belas delegasi, masing-masing mengenakan jubah keagamaannya yang khas, mengucapkan dengan khidmat deklarasi-deklarasi yang mendukung perdamaian. Berikut ini adalah beberapa contohnya.

      ”Pada saat yang bersejarah ini, umat manusia perlu melihat isyarat-isyarat perdamaian dan mendengar kata-kata harapan.”​—Kardinal François Xavier Nguyên Van Thuân.

      Allah ”bukanlah Allah peperangan dan pertikaian, melainkan Allah perdamaian”.​—Patriark Ekumenis Bartholomeus I.

      ”Perbedaan agama hendaknya tidak membuat [orang-orang] mengabaikan, atau bahkan membenci, orang lain yang berbeda agama.”​—Dr. Setri Nyomi, Aliansi Gereja Reformasi Sedunia.

      ”Keadilan dan kasih persaudaraan adalah dua pilar yang mutlak dibutuhkan untuk perdamaian sejati di antara umat manusia.”​—Kepala Suku Amadou Gasseto, utusan agama-agama tradisional Afrika.

      ”Hanya perdamaian yang suci, perang tidak pernah suci!”​—Andrea Riccardi, Gereja Katolik.

      Beberapa delegasi mengakui bahwa agama-agama memikul tanggung jawab yang berat karena menyulut intoleransi dan perang. Utusan Federasi Gereja Lutheran Sedunia menyatakan bahwa dunia ini telah ”diguncang oleh kebiadaban rasa benci yang dikobarkan oleh fundamentalisme agama”. Seorang utusan Yudaisme mengatakan, ”Agama telah ikut menyulut banyak peperangan yang mengerikan dan berdarah.” Seorang delegasi Hindu menyatakan, ”Sejarah berulang kali menyingkapkan contoh bagaimana orang-orang yang mengaku sebagai juru selamat telah memanfaatkan agama untuk mengendalikan massa dan menyebabkan perpecahan.”

      Setelah dengan serius mengecam terorisme dan perang, para delegasi kembali ke tempatnya masing-masing yang telah ditentukan, untuk berdoa demi perdamaian kepada allahnya masing-masing.

      Doa demi Perdamaian

      Para wakil agama-agama Susunan Kristen berdoa bersama di Basilika bawah St. Francis, dekat makam St. Francis. Upacara itu dimulai dengan ”permohonan kepada Trinitas” oleh sri paus dan tiga delegasi lain. Doa-doa diselingi himne dan permohonan yang mengagungkan perdamaian serta pembacaan Alkitab dengan tema yang sama. Salah satu doa memohonkan peneguhan ”iman yang tak terbagi”. Untuk mengakhiri upacara itu, para partisipan menyanyikan Doa Bapa Kami dalam bahasa Latin, yang didasarkan pada Matius pasal 6, ayat 9 sampai 13.

      Sementara itu, delegasi kelompok agama lainnya berdoa di lokasi-lokasi lain. Di sebuah balai yang menghadap ke Mekah, kaum Muslim bersujud di karpet sambil berseru memanggil Allah. Para penganut Zoroastrianisme, yang berdoa dekat penganut Jainisme dan penganut Konfusianisme, menyalakan api suci. Para delegasi yang mewakili agama-agama tradisional Afrika berdoa kepada arwah para leluhur mereka. Orang-orang Hindu memohon perdamaian dari dewa-dewa mereka. Semuanya memohon dengan sangat kepada allah-allah mereka sesuai dengan ritusnya masing-masing.

      Komitmen Bersama untuk Perdamaian

      Para delegasi berkumpul kembali di bawah tenda untuk bagian penutup upacara ini. Lentera-lentera​—melambangkan harapan untuk perdamaian​—dibagikan secara khidmat kepada para delegasi oleh para biarawan. Adegan itu sungguh menggugah. Lalu, para anggota berbagai delegasi membacakan komitmen bersama untuk perdamaian, masing-masing dengan pernyataan yang berbeda.

      ”Membina perdamaian menuntut kasih terhadap sesama.”​—Patriark Ekumenis Bartholomeus I.

      ”Kekerasan dan terorisme tidak sejalan dengan semangat agama yang sesungguhnya.”​—Dr. Konrad Raiser, delegasi dari Dewan Gereja Sedunia.

      ”Kami bertekad untuk mendidik orang-orang agar saling merespek dan menghargai.”​—Bhai Sahibji Mohinder Singh, wakil agama Sikh.

      ”Perdamaian tanpa keadilan bukanlah perdamaian sejati.”​—Uskup Ortodoks Vasilios.

      Akhirnya, sri paus membacakan kata-kata yang terdapat pada pengantar artikel ini. Pada penutup pertemuan antarkepercayaan ini, para delegasi saling berpelukan sebagai lambang perdamaian. Kata-kata yang dipilih secara cermat serta menggugah perasaan diucapkan disertai dengan kemegahan dan upacara. Namun, bagaimana reaksi terhadap peristiwa yang mengesankan ini?

      ’Kalau Saja Janji-Janji Diikuti oleh Tindakan’

      Surat-surat kabar dan stasiun-stasiun televisi memuji inisiatif sri paus. Ada yang bahkan menyebut sri paus ”juru bicara seluruh Susunan Kristen”. Surat kabar Vatikan L’Osservatore Romano mencanangkan pertemuan di Assisi itu sebagai ”tonggak sejarah dalam membangun peradaban yang penuh damai”. Tajuk utama surat kabar Corriere dell’Umbria berbunyi ”Assisi Memberikan Terang bagi Perdamaian”.

      Tidak semua pengamat sedemikian antusias. Beberapa orang memperlihatkan sikap skeptis karena meskipun doa demi perdamaian sudah diadakan pada tahun 1986 dan 1993, peperangan yang diperjuangkan atas nama agama masih menulahi umat manusia. Kebencian agama telah mengobarkan pembantaian berdarah di Uganda, bekas Yugoslavia, Indonesia, Pakistan, Timur Tengah, dan Irlandia Utara.

      Surat kabar Italia La Repubblica mengomentari bahwa beberapa kritikus menganggap pertemuan itu ”hanya aksi pamer”. Seorang anggota Parlemen Eropa mengatakan bahwa untuk mendukung perdamaian, umat beragama hendaknya ”mempraktekkan Injil”​—yakni, mengamalkan kata-kata ”kasihi musuhmu, berikan pipi yang sebelahnya”. Menurutnya, hal ini ”tidak dilakukan oleh siapa pun”.

      Presiden Komunitas Yahudi di Italia mengatakan bahwa ”bagus sekali kalau janji-janji yang diucapkan sekarang ini diikuti oleh tindakan yang konkret dan perubahan yang nyata”. Wakil umat Buddhis Italia mengungkapkan perasaannya dengan cara yang mirip, dengan mengatakan bahwa orang hendaknya ”memastikan bahwa imbauan untuk perdamaian tidak sekadar suatu itikad baik”. Seorang wartawan, yang menulis untuk majalah Italia L’Espresso, menduga-duga bahwa pertemuan di Assisi juga memiliki tujuan lain bagi agama-agama Susunan Kristen yang diwakilkan di sana. Ia menyebutnya ”koalisi untuk melawan ketidakpuasan, ketidakdisiplinan, dan ketidakpercayaan religius”, serta upaya untuk memerangi ”proses sekularisasi yang hebat” yang menjangkiti Eropa terlepas dari ”sejarah Kekristenan”-nya.

      Di antara orang-orang yang melontarkan kritik tajam terhadap pertemuan itu terdapat kaum tradisionalis Katolik, yang khawatir kalau-kalau pertemuan itu akan mengencerkan doktrin gereja mereka. Dalam sebuah wawancara televisi, Vittorio Messori, pengarang kondang beragama Katolik, mengomentari risiko bahwa pertemuan di Assisi itu bisa mengaburkan perbedaan antaragama. Tentu saja, kalangan berwenang gerejawi telah mengambil langkah-langkah pencegahan agar tidak timbul kesan adanya perpaduan agama. Sri paus sendiri membuat pernyataan untuk menyanggah tuduhan itu. Meskipun demikian, bagi banyak orang, hakikat pertemuan itu tampaknya menyiratkan bahwa berbagai agama itu sekadar mewakili cara yang berbeda untuk menghampiri kuasa adimanusiawi yang sama.

      Agama dan Perdamaian

      Namun, apa yang dapat dilakukan agama-agama yang terorganisasi untuk mewujudkan perdamaian? Ada yang merasa bahwa pertanyaan itu sangat ironis, karena agama tampaknya lebih sering menyebabkan perang ketimbang mencegahnya. Para sejarawan telah mengomentari bagaimana para penguasa sekuler memanfaatkan agama untuk menyulut perang. Akan tetapi, timbul pertanyaan: Mengapa agama-agama membiarkan dirinya dimanfaatkan?

      Agama-agama Susunan Kristen, setidaknya, memiliki perintah suci yang dapat membantu mereka menghindari kesalahan yang berkaitan dengan perang. Yesus mengatakan bahwa para pengikutnya ”bukan bagian dari dunia”. (Yohanes 15:19; 17:16) Seandainya agama-agama Susunan Kristen hidup selaras dengan kata-kata itu, mereka tidak akan menggabungkan diri dengan kuasa-kuasa politik, menyetujui dan memberkati bala tentara dan perang.

      Sebenarnya, agar dapat hidup selaras dengan janji-janji manis yang diucapkan di Assisi, para pemimpin agama harus menjaga jarak mereka dari penguasa politik. Selain itu, mereka harus mengajari para pengikut mereka jalan-jalan damai. Akan tetapi, para sejarawan mengamati bahwa di antara orang-orang yang melakukan kekerasan di dunia ini, ada banyak sekali yang percaya kepada Allah​—atau setidaknya mengaku demikian. Sebuah editorial surat kabar baru-baru ini menyatakan, ”Tak lama setelah peristiwa 11 Sept., seseorang mencoretkan kata-kata yang sangat menyentak ini di sebuah tembok di Washington, DC, ’Ya, Allah, selamatkanlah kami dari orang-orang yang percaya kepada-Mu.’”

      Semua kemegahan dan upacara di Assisi menyisakan beberapa pertanyaan sulit yang tak terjawab. Tetapi, mungkin bagi banyak orang beragama tidak ada pertanyaan yang lebih penting​—atau lebih merisaukan​—daripada pertanyaan ini: Mengapa sejauh ini Allah tampaknya tidak mau menjawab doa-doa demi perdamaian yang telah dipanjatkan oleh agama-agama dunia?

      [Catatan Kaki]

      a Untuk mengetahui lebih banyak mengenai hari doa demi perdamaian pada tahun 1986, lihat Awake! terbitan 8 Juni 1987.

      [Gambar di hlm. 7]

      Para delegasi dengan lentera​—melambangkan harapan perdamaian

      [Keterangan]

      AP Photo/Pier Paolo Cito

      [Keterangan Gambar di hlm. 5]

      AP Photo/Pier Paolo Cito

  • Siapa yang Akan Mewujudkan Perdamaian yang Langgeng?
    Sedarlah!—2002 | 22 Oktober
    • Siapa yang Akan Mewujudkan Perdamaian yang Langgeng?

      MENGAPA Allah tak kunjung menjawab doa para pemimpin berbagai agama dunia yang diucapkan demi perdamaian? Alkitab memiliki jawaban yang sangat menarik. Allah bukannya tidak berminat akan perdamaian​—Ia memiliki hasrat yang jauh lebih kuat untuk perdamaian ketimbang hasrat para klerus yang mendoakannya. Malahan, Allah telah membuat pengaturan yang pasti untuk mewujudkan perdamaian dunia. Ia telah mengambil langkah-langkah yang pasti untuk mencapai tujuan itu. Ia telah memberitahukan dengan jelas niat-Nya kepada umat manusia. Tragisnya, kebanyakan agama dunia mengabaikan apa yang telah Allah nyatakan.

      Lama berselang, Allah menjanjikan suatu ”benih”, seorang penguasa, yang secara progresif dijelaskan dalam Alkitab, menyediakan informasi yang semakin banyak tentang identitasnya. (Kejadian 3:15; 22:18; 49:10) Nabi Yesaya, yang dikenal dengan nubuat-nubuat Mesianik-nya yang luar biasa, menulis bahwa Pemimpin yang telah dinubuatkan ini akan menjadi ”Pangeran Perdamaian” atas bumi dan bahwa di bawah pemerintahannya, ”perdamaian tidak akan ada akhirnya”. (Yesaya 9:6, 7) Sebagai Penguasa surgawi, ia akan turun tangan untuk memusnahkan kefasikan dan untuk mengubah bumi menjadi suatu firdaus, yang di dalamnya tidak ada lagi ketidakadilan, penyakit, kemiskinan, atau kematian. Perdamaian dan kehidupan kekal akan terus ada. (Mazmur 72:3, 7, 16; Yesaya 33:24; 35:5, 6; Daniel 2:44; Penyingkapan [Wahyu] 21:4) Kapan hal ini akan terjadi?

      Perdamaian Dunia Sudah Sangat Dekat

      Yesus memberi tahu murid-muridnya bahwa akhir sistem fasik ini dan awal suatu masyarakat baru manusia akan didahului oleh serangkaian peristiwa luar biasa yang mengguncang dunia, yang akan muncul serentak pada zaman yang sama. (Matius 24:3, 7-13) Banyak dari peristiwa-peristiwa ini​—antara lain: peperangan, kekurangan makanan, dan gempa bumi​—telah muncul dari waktu ke waktu pada semua zaman. Namun, hal-hal tersebut belum pernah menulahi manusia secara serentak dan dalam skala global seperti pada zaman kita. Dan, dampak malapetaka seperti itu jauh lebih menghancurkan dibanding pada masa lalu karena penduduk bumi kini lebih padat.

      Peristiwa lain yang diramalkan Alkitab adalah perusakan lingkungan yang masih terus berlangsung akibat ulah umat manusia. (Penyingkapan 11:18) Selain itu, sebelum akhir yang dinubuatkan itu tiba, suatu pekerjaan memberikan peringatan seluas dunia harus sudah terlaksana, yaitu pemberitaan ”kabar baik kerajaan”. Dewasa ini, Saksi-Saksi Yehuwa sedang melaksanakan pekerjaan seluas dunia itu.​—Matius 24:14.

      Tergenapnya nubuat-nubuat tersebut berarti kabar baik bagi umat manusia yang setia. Suatu dunia baru yang telah dinubuatkan yang benar-benar damai sudah sangat dekat! Hal itu menjamin dilenyapkannya semua kebencian dan terorisme secara menyeluruh. Alkitab menjelaskan, ”Mereka tidak akan melakukan apa pun yang membawa celaka atau menimbulkan kerusakan di seluruh gunung kudusku; karena bumi pasti akan dipenuhi dengan pengetahuan akan Yehuwa seperti air menutupi dasar laut.”—Yesaya 11:9.

      Doa yang Allah Dengarkan

      Berdoa kepada Allah sama sekali bukan tindakan yang sia-sia ataupun upacara yang hampa. Dalam Alkitab, Yehuwa disebut ”Pendengar doa”. (Mazmur 65:2) Jadi, setiap saat, Ia mendengarkan tak terhitung banyaknya doa yang diucapkan oleh orang-orang yang berhati tulus di bumi. Namun, apakah ada persyaratan yang harus dipenuhi agar doa-doa didengar? Alkitab memperlihatkan bahwa orang-orang berhati jujur yang mempelajari kebenaran Alkitab tentang Allah perlu menanggapi kebenaran tersebut, menjadi ”penyembah yang benar”, yang menyembah Dia ”dengan roh dan kebenaran”. (Yohanes 4:23) Doa-doa orang yang tidak merespek kehendak-Nya tidak dikabulkan, ”Ia yang memalingkan telinganya dari mendengar hukum [Allah]—bahkan doanya adalah sesuatu yang memuakkan.”—Amsal 28:9.

      Tragisnya, banyak pemimpin agama dewasa ini tidak mengajarkan ataupun mendoakan maksud-tujuan Allah untuk mewujudkan perdamaian. Sebaliknya, mereka berdoa agar pemerintahan-pemerintahan manusia yang memecahkan problem tersebut, padahal Firman Allah dengan jelas mengatakan bahwa ”manusia, yang berjalan, tidak mempunyai kuasa untuk mengarahkan langkahnya”.​—Yeremia 10:23.

      Telah dinubuatkan bahwa ”pada akhir masa itu”, pada zaman kita, para pencinta perdamaian akan berduyun-duyun menuju ”gunung rumah Yehuwa” kiasan​—yaitu ibadat yang sejati. Orang-orang seperti itu akan membuat perubahan besar dalam kehidupan mereka, ”Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan mengangkat pedang melawan bangsa, mereka juga tidak akan belajar perang lagi.”​—Yesaya 2:2-4.

      Apakah ada umat beragama dewasa ini yang berupaya hidup selaras dengan kata-kata itu? Atau, apakah semua agama hanya berbicara mengenai perdamaian, tetapi mendukung peperangan? Pada kali berikut Anda berjumpa dengan Saksi-Saksi Yehuwa, Anda diundang untuk membahas topik mengenai perdamaian bersama mereka dan mencari tahu agama mana yang mendidik orang-orang untuk suka damai kepada semua orang.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2026)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan