PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • ts psl. 2 hlm. 10-18
  • Bagaimana Pengaruh Kematian Atas Hidup Manusia Sehari-hari?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Bagaimana Pengaruh Kematian Atas Hidup Manusia Sehari-hari?
  • Begini Sajakah Hidup Ini?
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • PANDANGAN FATALISTIS
  • HIDUP HANYA UNTUK SEKARANG
  • CARA HIDUP YANG LEBIH BAIK
  • Apakah Kita Ditakdirkan?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2009
  • Apakah Masa Depan Saudara Ditentukan oleh Takdir?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1991
  • Mengapa Saudara Perlu Mengetahui Duduk Perkaranya?
    Begini Sajakah Hidup Ini?
  • Untuk Segala Sesuatu Ada Waktunya
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2009
Lihat Lebih Banyak
Begini Sajakah Hidup Ini?
ts psl. 2 hlm. 10-18

Pasal 2

Bagaimana Pengaruh Kematian Atas Hidup Manusia Sehari-hari?

KEBANYAKAN orang sangat prihatin mengenai segala sesuatu yang mempengaruhi hidup mereka maupun hidup keluarga mereka sekarang. Tetapi sedikit sekali yang mau membicarakan atau memikirkan lebih lanjut tentang kematian.

Memang, kematian bukan merupakan suatu prospek yang menggembirakan, tetapi hal itu jelas mempengaruhi hidup manusia se-hari2. Siapa di antara kita yang belum pernah mengalami dukacita dan betapa pedihnya merasakan kehilangan dengan meninggalnya seorang sahabat karib atau anggota keluarga yang tercinta? Terjadinya kematian dalam suatu keluarga dapat menggoncangkan seluruh sendi2 kehidupan keluarga itu, menghancurkan sumber penghasilan mereka yang tetap dan menyebabkan rasa kesepian dan murung di pihak yang ditinggalkan.

Meskipun memang kurang menyenangkan, kematian merupakan suatu kejadian se-hari2 yang perlu saudara perhitungkan. Beberapa tindakan tertentu tak dapat saudara tunda terus menerus. Siapa tahu besok sudah terlambat.

Bagaimana semua ini telah mempengaruhi diri saudara? Apakah se-waktu2 saudara merasa terdesak karena singkatnya hidup itu sehingga saudara berusaha mati2an untuk mencapai sebanyak mungkin yang dapat diperoleh dalam kehidupan? Atau apakah saudara juga mempunyai pandangan yang fatalistis (menyerah pada nasib), dengan mengatakan apa yang akan terjadi, biarlah terjadi.

PANDANGAN FATALISTIS

Banyak orang dewasa ini percaya bahwa hidup dan mati itu ditentukan oleh nasib. Inilah falsafah dasar dari para penganut agama Hindu yang berjumlah 477 juta orang. Sesungguhnya pandangan fatalistis itu praktis tersebar di seluruh dunia. Tidakkah saudara pernah mendengar orang berkata, ’Memang sudah nasibnya’, ’Ajalnya sudah sampai’, atau ’Ia selamat karena ajalnya masih belum sampai’? Kata2 demikian seringkali diucapkan sehubungan dengan kecelakaan. Benarkah itu semua? Ambillah suatu contoh:

Sewaktu melakukan penerbangan percobaan pada Pameran Penerbangan di kota Paris pada tahun 1973 sebuah pesawat terbang supersonik TU-144 Uni Soviet meledak dan seluruh awak pesawat gugur. Kepingan2 besar dari pesawat terbang tersebut berjatuhan di atas desa Goussainville, Perancis. Di situ seorang wanita baru saja menutup pintu kamar tidur belakangnya ketika tiba2 sebagian kepingan pesawat menimpa dinding luar dan menghancurkan seluruh kamar tidur itu. Wanita itu sendiri tidak mengalami cidera apa2.

Orang2 lain tertimpa kemalangan. Di antara para korban terdapat ketiga anak cucu seorang nenek, tetapi si nenek itu sendiri selamat.

Apakah anak2 dan orang2 lainnya itu mati karena ’ajal mereka sudah sampai’? Apakah yang lain2nya luput dari musibah tersebut karena belum waktunya bagi mereka?

Orang2 yang menjawab pertanyaan2 ini dengan ”Ya” percaya bahwa apapun juga yang dilakukan seseorang takkan dapat mencegah kematiannya jika ’ajalnya sudah sampai’. Mereka percaya bahwa meskipun mengadakan langkah2 pencegahan mereka tak dapat juga mengelakkan apa yang telah ditentukan oleh nasib. Pandangan demikian mirip dengan kepercayaan bangsa Yunani kuno yang menganggap bahwa nasib manusia dikendalikan oleh tiga dewi—yaitu Klotho, Lakhesis dan Atropos. Rupanya Klotho yang memintal benang kehidupan, Lakhesis menentukan berapa panjangnya dan Atropos memotong benang tersebut, apabila waktunya sudah sampai.

Masuk akalkah falsafah hidup yang fatalistis demikian? Tanyalah diri saudara: Mengapa angka kematian akibat kecelakaan menurun apabila orang mentaati peraturan2 yang dibuat untuk menjaga keselamatan umum dan meningkat apabila orang mengabaikannya? Mengapa sebagian terbesar dari kematian akibat dari kecerobohan, kemabukan, kesalahan ataupun pelanggaran hukum? Mengapakah di negeri2 di mana perawatan kesehatan lebih bermutu dan makanan lebih bergizi rata2 umur yang dicapai orang jauh lebih tinggi daripada di negeri2 yang masih terbelakang dalam hal2 demikian? Mengapakah lebih banyak perokok meninggal karena kanker paru2 daripada yang bukan perokok? Bagaimana mungkin semua ini terjadi se-mata2 karena nasib yang berada di luar kekuasaan manusia? Sebaliknya, bukankah menurut kenyataan segala sesuatu yang terjadi pada manusia selalu mempunyai sebab?

Dalam banyak kasus kematian akibat kecelakaan, bukankah sebabnya adalah karena seseorang kebetulan menghadapi keadaan yang berbahaya? Sebagai contoh: Ada seseorang yang berangkat dari rumahnya pada waktu tertentu setiap hari kerja. Pada suatu pagi hari, sewaktu ia melewati rumah tetangga, ia mendengar jeritan dan teriakan. Ia berjalan lebih cepat dan tepat pada waktu ia membelok di sudut jalan ia terkena peluru nyasar. Kematiannya adalah karena ia berada di sudut jalan itu pada saat yang salah; keadaan itu tidak di-sangka2 sebelumnya.

Setelah mengamati apa yang sesungguhnya terjadi dalam hidup se-hari2, penulis bijaksana dari buku Alkhatib (Pengkhotbah) dalam Alkitab berkata, ”Aku kembali untuk melihat di bawah matahari bahwa perlombaan bukan untuk yang cepat, dan pertempuran bukan untuk orang yang perkasa, dan makanan juga bukan untuk orang yang berhikmat, dan kekayaan juga bukan untuk orang yang berpengertian, dan perkenan bahkan bukan untuk mereka yang berpengetahuan; karena waktu dan kejadian yang tidak terduga menimpa mereka semua.”—Pengkhotbah 9:11, NW.

Sebab itu orang yang menginsafi hal ini tidak akan mengabaikan peraturan2 yang dibuat untuk menjaga keselamatan dan tidak mengambil risiko2 yang tidak perlu sambil berpikir bahwa dia kebal terhadap maut selama ”ajalnya belum sampai”. Dia menyadari bahwa falsafah hidup yang fatalistis dapat membahayakan keselamatan jiwa, bagi dirinya maupun orang2 lain. Apabila dimanfaatkan dengan bijaksana, pengetahuan ini dapat menambah panjang umur saudara.

Sebaliknya falsafah hidup yang fatalistis dapat menyebabkan tindak-tanduk yang ceroboh. Demikian juga ini dapat menjadikan orang masa bodoh untuk mencari keterangan berkenaan perkara2 yang mungkin akan sangat mempengaruhi dirinya maupun keluarganya.

HIDUP HANYA UNTUK SEKARANG

Di samping falsafah hidup yang fatalistis, peristiwa2 yang telah terjadi dalam abad keduapuluh inipun telah mempengaruhi tingkah laku orang.

Kenangkanlah kembali semua yang telah terjadi. Ber-juta2 orang telah meninggal sebagai korban dari peperangan, kejahatan, kerusuhan2 dan bela kelaparan. Udara dan air yang dibutuhkan untuk hidup kini dicemarkan dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Nampaknya hidup manusia kini terancam dari segala segi. Dan tak ada sesuatu yang memberikan jaminan yang sungguh2 bahwa umat manusia akan berhasil memecahkan problem2nya di masa depan yang dekat ini. Kelihatannya hidup sekarang ini tak menentu. Lalu bagaimana akibatnya.

Banyak di antara penduduk bumi yang hidup hanya untuk sekarang, yaitu untuk menikmati kesenangan hari ini sebanyak mungkin. Mereka merasa se-akan2 tiada pilihan lain karena beranggapan bahwa hidup yang mereka miliki sekarang itulah saja yang boleh mereka harapkan. Dengan cocok sekali Alkitab melukiskan sikap mereka, ”Marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.”—1 Korintus 15:32.

Dalam usaha mereka untuk menjauhi kenyataan2 hidup yang pahit ini mereka mungkin berpaling kepada minuman keras atau narkotika (obat bius). Orang2 lain mencoba untuk melampiaskan kekesalan dan kecemasan mereka mengenai pendeknya hidup ini dengan melibatkan diri dalam segala macam petualangan seksuil—gendak, perzinahan, homosex, lesbianisme. Menurut buku Death and Its Mysteries:

”Nampaknya pada waktu ini lebih banyak orang normal terkungkung oleh rasa takut akan kematian massal ini, se-kurang2-nya secara tidak sadar. Paling sedikit inilah sebagian dari sebabnya mengapa jaman kita ini demikian kacau, seperti nyata dalam kejahatan2 yang iseng, vandalisme (pengrusakan harta benda orang lain), pemujaan sex dan ter-buru2nya hidup orang sekarang. Bahkan musik dan dansa-dansi modern se-olah2 merupakan cetusan dari keputusasaan manusia yang tidak menaruh harapan lagi akan masa depan.”

Apakah akibat dari cara2 hidup orang yang hanya mengingat waktu sekarang se-akan2 tiada lagi hari esok?

Orang2 yang menyerah kepada minuman keras dan ber-mabuk2 mungkin saja melupakan sebentar kesusahan2 mereka. Tetapi mereka mengorbankan martabat mereka dan sewaktu sedang mabuk seringkali melukai diri sendiri atau orang lain. Dan keesokan harinya mereka mendapati bahwa kesusahan2 mereka malahan ditambah pusing kepala yang harus diderita.

Pecandu2 narkotika juga membayar mahal untuk usaha2 mereka melarikan diri dari kenyataan. Mereka seringkali mengalami cidera fisik dan mental yang tidak tersembuhkan lagi. Dan untuk menunjang kebiasaan mereka yang tidak murah itu akhirnya mereka mungkin merendahkan derajat mereka sendiri dengan melakukan pencurian atau pelacuran.

Bagaimana mengenai hubungan sex yang bebas? Apakah hal itu memperbaiki nasib mereka dalam hidup ini? Sebaliknya, seringkali itu mendatangkan penyakit kelamin yang menjijikkan, kehamilan yang tidak diinginkan, anak2 haram, pengguguran kandungan, rumah tangga yang berantakan, rasa cemburu, perkelahian dan bahkan pembunuhan.

Tentu saja tidak semua orang sampai demikian merosot derajatnya. Namun demikian, orang2 lain itu juga tidak luput dari kecemasan karena sadar ataupun tidak mereka merasakan bahwa hidup mereka akan berakhir. Karena mengetahui bahwa waktu yang ada demikian terbatas, mereka mungkin mencoba untuk mencapai kemajuan di dunia secepat mungkin. Dan apa akibatnya? Keinginan mereka untuk mendapatkan harta benda mungkin mendorong mereka untuk mengorbankan kejujuran. Tetap seperti dikatakan oleh amsal Alkitab, ”Orang yang dengan segera hendak menjadi kaya itu tiada terlepas daripada salah.” (Amsal 28:20, Klinkert) Tetapi bukan itu saja.

Begitu banyak waktu dan tenaga dihabiskan untuk mencapai kemajuan secara materi sehingga hampir2 tidak ada waktunya untuk menikmati hidup kekeluargaan. Mungkin saja bahwa anak2 mendapat segala perkara materi yang mereka inginkan. Tetapi apakah mereka menerima bimbingan dan teguran yang mereka butuhkan supaya dapat menjadi pria dan wanita yang bertanggungjawab? Meskipun menyadari bahwa waktu yang mereka gunakan untuk ber-sama2 dengan anak2 mereka agak terbatas, kebanyakan orangtua tidak melihat alasan untuk kuatir—sampai sudah terlambat. Ya, betapa sedihnya orangtua mendengar bahwa putranya telah ditangkap polisi atau bahwa putrinya telah menjadi hamil di luar perkawinan.

Dari segala sesuatu yang terjadi pada waktu ini, tidakkah jelas bahwa meskipun hidup ini begitu singkat masih banyak juga orang yang belum mengetahui bagaimana cara hidup yang lebih memuaskan?

Meskipun kematian kelihatannya tak dapat dihindarkan, itu tidak berarti bahwa semua orang lalu mengesampingkan prinsip2 moral, demikian pula tidak berarti semua orang menjadi masa bodoh dan menganut pandangan yang fatalistis. Sebaliknya, ada ratusan ribu orang yang pada waktu ini menikmati hidup yang menyegarkan karena tidak perlu kuatir terhadap kemungkinan mati.

CARA HIDUP YANG LEBIH BAIK

Apabila ditinjau secara benar, kematian sesungguhnya dapat mengajarkan sesuatu yang berharga kepada kita. Apabila kematian meminta korban, kita dapat menarik faedah dari renungan yang serius mengenai cara hidup kita sendiri. Kurang lebih tiga ribu tahun yang lalu seorang yang dengan seksama meng-amat2i hidup manusia mengemukakan hal ini dengan mengatakan, ”Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran. Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. . . . Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersuka ria.”—Pengkhotbah 7:1-4.

Di sini Alkitab bukannya menganjurkan duka cita sebagai hal yang lebih baik daripada bersuka ria. Tetapi di sini kaitannya adalah dengan waktu tertentu bila suatu keluarga sedang berkabung atas kematian salah seorang anggotanya. Saat demikian bukan untuk melupakan keluarga yang ditinggalkan itu kemudian meneruskan pesta dan suka ria kita sendiri. Sebab sebagaimana kematian telah menghentikan segala rencana dan kegiatan dari orang yang meninggal itu, demikian pula dapat terjadi dengan kita sendiri. Adalah baik untuk bertanya kepada diri kita sendiri: Apa yang kulakukan dengan hidupku ini? Apakah aku akan meninggalkan suatu nama atau reputasi yang baik? Berapa besarkah sumbanganku untuk membina kebahagiaan dan kesejahteraan orang2 lain?

Bukan pada saat kelahiran, tetapi setelah selesai menempuh kehidupan ”nama” kita mulai berarti, membedakan diri kita sebagai orang macam apa. Orang yang hatinya se-akan2 di dalam ”rumah duka” adalah orang yang tersentuh hatinya seraya memikirkan bagaimana sebenarnya ia hidup, tidak soal betapapun singkatnya. Ia menganggap hidup itu sebagai sesuatu yang berharga. Ia tidak memperlihatkan pola pemikiran yang dangkal dan acuh tak acuh sebagaimana umumnya terdapat di tempat pesta. Melainkan ia berusaha keras untuk hidup dengan penuh arti dan bertujuan, sehingga menyumbang kepada kebahagiaan serta kesejahteraan sesama manusia.

Bagaimana kita dapat memastikan apakah kita sekarang ini sudah menikmati cara hidup yang terbaik yang mungkin bagi diri kita, yaitu apakah kita ini benar2 hidup dengan bertujuan? Tentu dibutuhkan suatu patokan mengenai hal ini. Di seluruh dunia makin hari makin banyak orang jujur yang mengambil kesimpulan bahwa Alkitab-lah patokan yang dapat dipercaya itu. Setelah memeriksa Alkitab mereka mendapatkan tujuan yang berarti dalam kehidupan sekarang ini dan juga suatu harapan yang cemerlang di masa depan, suatu harapan untuk hidup dalam suasana yang penuh keadilan di bumi ini sendiri. Mereka kini menyadari bahwa maksud tujuan Allah bagi umat manusia bukanlah kematian melainkan kehidupan.

[Gambar di hlm. 12]

Apakah kehidupan saudara ditentukan oleh nasib, seperti kepercayaan orang2 Yunani Kuno?

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan