Zambia
Benua Afrika bagaikan sebuah gaun lebar yang bersulam. Dari pesisir putih Laut Tengah, ke Gurun Sahara yang keemasan, menembus hutan-hutan yang hijau zamrud, sampai ke garis pantai Tanjung Harapan yang putih dan disapu angin, benua ini dihuni sepersepuluh penduduk dunia. Sungai-sungai Nil, Niger, Kongo, dan Zambezi bagaikan benang-benang sulam yang menjelujurinya. Dan, jauh di dalam lipatan-lipatannya tersimpan banyak sekali emas, tembaga, dan batu-batu berharga.
Zambia terletak di daerah sabana Afrika tengah yang bergelombang, di dataran tinggi yang berbatasan dengan hutan hujan tropis Lembah Kongo. Ada yang mengatakan bahwa bentuk negeri Zambia pada peta menyerupai kupu-kupu raksasa yang sayapnya besar sebelah. Batas wilayahnya yang tidak lazim, warisan masa penjajahan, melingkungi daerah seluas lebih dari tujuh ratus lima puluh ribu kilometer persegi—lebih besar daripada pulau Kalimantan.
Di timur-laut wilayah yang sekarang disebut Zambia terdapat Lembah Celah Besar. Di bagian barat dan selatannya terdapat Sungai Zambezi yang perkasa. Sampai akhir abad ke-19, negeri ini tidak terjamah oleh orang asing yang menjarah emas, gading, dan budak Afrika. Pada tahun 1855, seorang penjelajah bernama David Livingstone, putra seorang buruh penggilingan asal Skotlandia, membantu membuka mata dunia ke sebuah negeri di balik ”Asap yang Bergemuruh”—keajaiban alam yang belakangan Livingstone sebut Air Terjun Victoria, untuk menghormati Ratu Victoria dari Inggris.
Tidak lama kemudian, masuklah para misionaris Susunan Kristen yang dengan bersemangat mempropagandakan ”Kekristenan, perdagangan, dan peradaban” dalam upaya untuk menembus jantung benua ini. Metode-metode yang mereka gunakan sering kali tidak terpuji. Namun, tidak lama kemudian, datanglah beberapa orang yang, dengan bantuan Allah, benar-benar merekomendasikan diri sebagai pelayan-pelayan-Nya.—2 Kor. 6:3-10.
Masa Awal
Pada tahun 1890, lima lembaga misionaris telah bercokol di daerah yang sekarang disebut Zambia. Pada awal 1900-an, karena risau oleh bertambahnya kekuasaan penjajah dan perusahaan-perusahaan komersial, semakin banyak orang Afrika mencari bimbingan. Gerakan-gerakan keagamaan yang aneh mulai bermunculan di banyak tempat di benua ini. Namun, tidak lama kemudian bantuan rohani yang sejati tersedia. Pada tahun 1911, seri Studies in the Scriptures sudah sampai ke tangan orang-orang berhati jujur di Zambia. Kebenaran Alkitab dalam buku-buku tersebut cepat menyebar ke utara, walaupun tidak selalu melalui orang yang benar-benar berminat untuk melayani Allah.
Pada tahun 1910, Charles Taze Russell, yang mengawasi pekerjaan pemberitaan Kerajaan pada zaman itu, mengutus William W. Johnston, seorang saudara dari Glasgow, Skotlandia, yang dapat diandalkan dan serius, untuk membantu saudara-saudara di Nyasaland (sekarang Malawi). Patut disesalkan, beberapa saudara yang sudah lebih dulu ke sana—baik orang asli maupun asing—menyimpangkan kebenaran Alkitab karena mereka mendahulukan kepentingan pribadi mereka. Ya, pada tahun-tahun selanjutnya, orang-orang yang melantik diri sebagai pengkhotbah dan pastor datang ke Rhodesia Utara (sekarang Zambia) untuk mempropagandakan agama paduan yang sensasional, janji pembebasan, dan praktek-praktek yang najis. Sewaktu Saudara Johnston membantu orang-orang di Nyasaland, yang dia gambarkan ”penuh dengan hasrat yang besar untuk lebih akrab dengan Firman Allah”, daerah-daerah di barat hanya mendapat sedikit perhatian langsung. Lektur-lektur Alkitab sampai di Rhodesia Utara melalui pos dan para pekerja migran, tetapi sebagian besar pekerjaan pemberitaan Kerajaan pada tahun-tahun itu tidak terawasi.
Masa Ketidakpastian
Awal tahun 1920-an adalah masa ketidakpastian. ”Gerakan-gerakan Menara Pengawal” setempat menyebabkan pelayanan Kristen sejati oleh hamba-hamba Allah tercoreng. Dilaporkan terjadinya pertukaran istri dan tindakan salah lain di kalangan beberapa orang yang terbatas pemahamannya akan kebenaran Alkitab, tetapi mengaku-aku tergabung dengan Siswa-Siswa Alkitab, sebutan Saksi-Saksi Yehuwa pada waktu itu. Namun, tampaknya ada banyak kelompok yang menunjukkan bahwa mereka hidup menurut kebenaran melalui pengabdian yang tulus kepada semua prinsip Alkitab dan pengabaran yang gigih.
Kesulitannya adalah mengenali siapa yang benar-benar berminat melayani Allah. Pada tahun 1924, Thomas Walder dan George Phillips, keduanya dari Inggris, tiba di kantor Siswa-Siswa Alkitab di Cape Town, Afrika Selatan. Saudara Walder, yang kala itu berusia 30-an, melakukan perjalanan ke seluruh Rhodesia Utara dan Rhodesia Selatan untuk memastikan siapa saja yang terkait dengan nama Menara Pengawal. Tahun berikutnya, William Dawson, dari Eropa, ditugasi untuk mengunjungi kelompok-kelompok yang berkembang. Ia mengatakan bahwa beberapa orang yang melantik diri sebagai pastor dengan bersemangat membaptis banyak sekali orang, yang sebagian besar kurang memahami dan kurang menghargai kebenaran Alkitab. Llewelyn Phillips (bukan kerabat George Phillips) belakangan menulis, ”Sangat jelas bahwa kebanyakan orang di sini seperti penduduk Niniwe yang ’tidak mengetahui perbedaan antara tangan kanan dan kiri mereka’.” (Yun. 4:11) Banyak di antara mereka tulus, tetapi karena hampir tidak ada lektur dalam bahasa setempat, mereka sulit memahami kebenaran. Berbagai upaya untuk memperoleh pengakuan permanen dari pemerintah untuk pengawasan atas pekerjaan Kerajaan tidak membuahkan hasil, maka dibuatlah keputusan oleh kantor Cape Town untuk mengurangi pengabaran dan pembaptisan. Walaupun pengajaran Alkitab dan pertemuan ibadat tidak dihalangi, Saudara Walder menyurati kelompok-kelompok peminat, mengimbau mereka agar mengikuti langkah sementara ini sampai ada pelantikan wakil tetap Siswa-Siswa Alkitab.
Sepanjang Jalur Kereta Api
Selama berabad-abad, penduduk telah menggunakan tembaga yang terdapat di permukaan tanah untuk membuat peralatan dan hiasan. Tetapi, sekitar pertengahan tahun 1920-an, British South Africa Company, yang tidak hanya menguasai wilayah itu tetapi juga memegang hak menambang, mulai mengeksploitasi cadangan tembaga yang sangat banyak di bawah tanah. Perusahaan itu membutuhkan pekerja, maka ribuan orang datang dari pedesaan ke kota-kota yang baru berkembang sepanjang jalur kereta api yang semula direncanakan untuk menghubungkan Cape Town dan Kairo.
James Luka Mwango mengingat, ”Berdirinya paguyuban, sebutan untuk sidang waktu itu, sangat berbeda dengan organisasi kita pada zaman modern. Sebelum tahun 1930, pertemuan untuk pelajaran Alkitab hanya dilakukan dalam kelompok kecil. Beberapa peminat berkomunikasi dengan kantor Cape Town, sementara yang lain-lain mengirimkan permintaan lektur mereka langsung ke Brooklyn. Karena lekturnya dalam bahasa Inggris, banyak yang sulit memahami kebenaran sepenuhnya.” Meski umumnya kecil, kelompok-kelompok itu membuat kemajuan, dan semangat serta tekad mereka semakin diarahkan ke pemberitaan yang terorganisasi. Hal ini tidak luput dari perhatian para ulama Susunan Kristen.
Propaganda untuk Menekan
Menjelang bulan Mei 1935, kelompok-kelompok agama yang berpengaruh telah menekan pemerintah untuk mengadakan penyesuaian atas undang-undang Rhodesia Utara. Mereka mendesak agar impor dan distribusi lektur yang dianggap menghasut digolongkan sebagai pelanggaran yang serius. Tentu saja, orang yang memutuskan hal-hal apa yang dianggap menghasut atau subversif sangat dipengaruhi oleh aliran politik atau kepercayaan masing-masing. Seperti akan kita lihat nanti, hampir tidak ada keraguan bahwa sebenarnya para penentang mencari-cari alasan untuk melarang Saksi-Saksi Yehuwa.
Ketika pengumuman tentang peraturan perpajakan yang baru memicu kerusuhan di komunitas-komunitas pertambangan, para penentang memanfaatkan kesempatan ini untuk mengecap Saksi-Saksi sebagai antipemerintah. Pada awal bulan itu, Saksi-Saksi mengadakan kebaktian di Lusaka. Agaknya, para penentang menuduh bahwa kebaktian kecil itu ada kaitannya dengan kerusuhan yang terjadi lebih dari 300 kilometer di utara. Thomson Kangale, yang waktu itu masih muda, mengingat, ”Kami tahu akan ada masalah. Maka, daripada mengabar, kami memutuskan untuk tinggal di rumah dan berlatih menyanyikan lagu-lagu Kerajaan. Kami tahu bahwa kami tidak boleh ikut-ikutan melakukan aksi mogok atau aksi kekerasan.” Namun demikian, tidak lama kemudian saudara-saudara ditangkap, dan di banyak kota mereka dikejar-kejar, dan lektur Alkitab disita atau dimusnahkan. Gubernur mengeluarkan pengumuman yang melarangkan 20 judul publikasi kita.
Suatu komisi pencari fakta dibentuk untuk menyelidiki kerusuhan-kerusuhan itu. Kepala distrik di daerah yang khususnya terimbas kerusuhan mengakui, ”Saksi-Saksi Yehuwa dan Menara Pengawal sebagai organisasi tidak ikut aksi mogok.” Tidak satu pun Saksi Yehuwa terlibat kerusuhan. Akan tetapi, buku Christians of the Copperbelt melaporkan, ”Komisi Pencari Fakta . . . menyetujui banyak dakwaan yang serius atas dasar bukti yang sangat lemah, [dan] atas dasar laporan itu lektur Saksi-Saksi Yehuwa dilarang. Di beberapa distrik, para kepala [suku] melaksanakan propaganda yang gigih untuk menekan [para Saksi], membakar tempat-tempat perhimpunan Menara Pengawal.”
Sementara itu, kantor Cape Town berulang kali memohon kepada menteri luar negeri untuk koloni pemerintahan Inggris agar Saksi-Saksi ”diizinkan menjalankan hak yang Allah berikan untuk beribadat kepada Allah Yehuwa menurut suara hati nurani mereka, tanpa campur tangan pihak lain”. Mereka juga mengajukan permohonan agar dapat mendirikan kantor yang permanen dan menempatkan seorang wakil. Yehuwa memberkati upaya-upaya ini. Pada bulan Maret 1936, menteri luar negeri menyetujui dibukanya sebuah depot di Lusaka dan Llewelyn Phillips menjadi wakil organisasi.
Empat Syarat
Dibukanya depot di Lusaka adalah kemenangan yang penting. Namun, gubernur hanya mau mengakui bahwa Saksi-Saksi Yehuwa adalah organisasi keagamaan jika terdapat bukti yang kuat bahwa ada pengawasan yang lebih terstruktur atas sidang-sidang. Pada tahun-tahun berikutnya, Saudara Phillips dengan bersemangat bekerja sama dengan saudara-saudara yang setia untuk membantu serta menguatkan orang-orang yang tulus dan mengeluarkan orang-orang yang mempropagandakan praktek yang tidak berdasarkan Alkitab. Para perintis mendapat pelatihan dalam hal doktrin, moral, dan pengorganisasian, kemudian mereka membantu berbagai kelompok dan sidang.
Mengenai periode ini, seorang saudara berkata, ”Tahun terbaik bagi para penyiar di Zambia adalah tahun 1940. Pada tahun itu pembaptisan diizinkan lagi. Pembaptisan sempat dihentikan pada tahun 1925.”
”Sebelum diizinkan untuk dibaptis,” kenang James Mwango, ”seorang siswa Alkitab harus belajar apa yang kami sebut empat syarat. Ia kemudian ditanya tentang maknanya oleh saudara yang membaptis atau saudara lain yang ditunjuk oleh hamba paguyuban. Syarat yang pertama adalah mendengarkan kebenaran; kedua, bertobat; ketiga, mempelajari Firman Allah; dan keempat, membaktikan diri. Jika seorang pelajar memahami sepenuhnya keempat syarat itu, ia boleh dibaptis. Prosedur ini diberlakukan untuk memastikan bahwa orang yang dibaptis tahu untuk apa mereka mengambil langkah itu.”
Lektur Dilarang
Khususnya selama perang dunia kedua, para pejabat pemerintah menyalahartikan kenetralan Saksi-Saksi sebagai tindakan menentang kebijakan pemerintah sehubungan dengan dinas militer. Pada bulan Desember 1940, daftar publikasi yang dilarang semakin panjang sehingga mencakup semua lektur yang diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Impor lektur kita juga dilarang. Pada musim semi tahun 1941, pemerintah mengeluarkan surat pemberitahuan yang mengharuskan siapa pun yang memiliki lektur Menara Pengawal agar menyerahkannya atau menghadapi dakwaan dan kemungkinan dipenjarakan.
Solomon Lyambela, yang melayani sebagai pengawas keliling dan belakangan mengikuti Sekolah Gilead, mengenang, ”Kami menyembunyikan lektur dalam kano di Sungai Zambezi. Kami mengikat buku-buku kami di bawah tempat tidur dan juga menyembunyikannya di tempat penyimpanan tepung jagung dan sekoi.”
Seorang saudara lain menceritakan, ”Kami harus mengubur buku-buku kami. Namun, kami tidak perlu menyembunyikan Alkitab Berea, yang sangat berharga bagi kami dan tidak dilarang. Kami kehilangan banyak buku—ada yang dimakan rayap, dan ada yang dicuri. Karena kami sering pergi ke tempat penguburan buku, pencuri mengira kami mengubur barang berharga. Saya ingat suatu hari ketika saya pergi ke padang untuk belajar, saya mendapati buku-buku kami berceceran. Maka, kami mengumpulkan dan menyembunyikannya lagi di tempat lain.”
Llewelyn Phillips dengan berani menulis surat pengaduan kepada gubernur sehubungan dengan publikasi yang dilarang. Pada awal tahun itu, Saudara Phillips sudah dipenjarakan karena menolak dinas militer, dan sekarang ia dihukum lagi enam bulan penjara. Seorang relawan yang untuk sementara melayani di depot Lusaka mengatakan, ”Kami sering didatangi petugas Departemen Penyidikan Kriminal, dan Saudara Phillips sering dipanggil ke kantor polisi.” Meski begitu, Saudara Phillips terus menekankan pentingnya pengorganisasian yang baik dan semangat yang tinggi di sidang-sidang. Seraya jumlah saudara yang cakap semakin banyak, mereka dilatih dan diutus sebagai pelayan keliling, atau pengawas keliling. Mereka membantu tercapainya puncak 3.409 penyiar pada tahun 1943.
Maju dengan Pasti ke Kebebasan yang Lebih Besar
Setelah perang, kantor Saksi-Saksi Yehuwa di Inggris dan Afrika Selatan berulang-ulang mengajukan permohonan ke Kantor Kolonial di London untuk mengesahkan lektur-lektur kita. Setelah menerima petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 40.000 orang yang mendukung pekerjaan pendidikan Saksi-Saksi Yehuwa, pemerintah mencoret beberapa lektur dari daftar buku terlarang. Namun, majalah Menara Pengawal tetap dilarang.
Pada bulan Januari 1948, Nathan Knorr dan Milton Henschel dari kantor pusat Saksi-Saksi Yehuwa di Brooklyn untuk pertama kalinya berkunjung ke negeri ini. Setelah menghadiri kebaktian empat hari di Lusaka, mereka bertemu dengan menteri urusan dalam negeri dan jaksa agung, yang memberi tahu mereka bahwa pembatasan-pembatasan yang masih berlaku akan segera dicabut. Betapa besar sukacita saudara-saudara ketika pekerjaan umat Yehuwa akhirnya diakui secara hukum! Pada tanggal 1 September 1948, sebuah kantor cabang baru didirikan dengan nama Saksi-Saksi Yehuwa, bukan Lembaga Menara Pengawal. Kalangan berwenang, penduduk, dan bahkan saudara-saudara sendiri sekarang dapat melihat perbedaan yang jelas antara Saksi-Saksi Yehuwa dan para penganut sekte-sekte ”Menara Pengawal” setempat yang tidak terkait.
Selama 40 tahun sebelumnya, lawan-lawan agama, yang tidak terlalu berminat untuk menjadikan murid bagi Kristus, mengarahkan upaya guna meruntuhkan iman orang yang mendengarkan kabar baik. Selama beberapa waktu, Saksi-Saksi Yehuwa, yang disalahgambarkan sebagai ”penipu”, terus memantapkan diri mereka sebagai pelayan Allah yang benar. (2 Kor. 6:8) Guna mengantisipasi kebebasan pascaperang, mereka menggiatkan langkah-langkah untuk menyongsong pertambahan.
Dinas Utusan Injil
”Beberapa hal yang menyukacitakan dalam dinas utusan injil adalah melihat bagaimana Yehuwa menggunakan pria dan wanita dari berbagai latar belakang untuk memenuhi maksud tujuan-Nya. Yang juga menyukacitakan adalah melihat penghargaan orang-orang yang menerima bantuan rohani,” demikian komentar Ian (John) Fergusson, yang melayani selama bertahun-tahun di Zambia. Para misionaris dari agama-agama lain sering kali disibukkan oleh masalah sosial dan ekonomi, sedangkan utusan injil Saksi-Saksi Yehuwa berfokus pada pekerjaan membuat murid Kristen. Sewaktu menjalankan tugas ilahi ini, para utusan injil memberikan bukti bahwa mereka memiliki ”kasih yang bebas dari kemunafikan”.—2 Kor. 6:6.
Semangat utusan injil nyata dalam diri orang-orang seperti William Johnston yang, beberapa tahun sebelum pecahnya Perang Dunia I, tiba di Afrika bagian selatan dan banyak melakukan perjalanan ke seluruh wilayah itu. Pada awal tahun 1921, Piet de Jager, Parry Williams, dan yang lain-lain sudah menjangkau Salisbury (sekarang Harare), ibu kota tetangga Zambia, Rhodesia Selatan (sekarang Zimbabwe). George Phillips, Thomas Walder, dan William Dawson memberi perhatian ke Rhodesia Utara pada pertengahan tahun 1920-an. Yang lain-lain, beberapa di antaranya lahir di Rhodesia Utara tetapi belajar dengan Siswa-Siswa Alkitab sewaktu bekerja di negeri lain, pulang untuk menyebarkan ”kabar baik tentang hal-hal yang baik”. (Rm. 10:15) Manasse Nkhoma dan Oliver Kabungo sangat berperan pada masa-masa awal itu. Joseph Mulemwa, orang asli Zambia, mengenal kebenaran di tambang Wankie (sekarang Hwange), di bagian utara Zimbabwe, dan belakangan, ia melayani dengan setia di bagian barat Zambia. Fred Kabombo melayani sebagai pengawas keliling pertama di daerah itu. Mereka adalah perintis-perintis sejati, yang berupaya menjangkau daerah-daerah yang sedikit atau sama sekali tidak tersentuh pemberitaan kabar baik dan membubuh dasar yang kuat untuk pertumbuhan di kemudian hari.
Menjelang akhir perang dunia kedua, Charles Holliday dari Afrika Selatan menyambut undangan dari George Phillips di kantor Cape Town untuk mengunjungi kelompok-kelompok peminat di Provinsi Barat. Ditemani seorang saudara setempat yang bertindak sebagai juru bahasa, Saudara Holliday melakukan perjalanan dengan kereta api pengangkut kayu, kano, dan gerbong kecil yang digerakkan secara manual. Sesampainya di Senanga, sebuah kota kecil sekitar 250 kilometer di utara Air Terjun Victoria, mereka disambut oleh banyak orang. Beberapa orang yang hadir pada waktu itu telah melakukan perjalanan berhari-hari karena sangat berminat untuk mendengarkan tamu ini menjelaskan kebenaran-kebenaran Alkitab.
Utusan Injil Gilead Tiba
Pada tahun 1948, dua utusan injil, Harry Arnott dan Ian Fergusson, tiba di Zambia. Perhatian kini diarahkan ke ribuan orang Eropa yang pindah ke sana karena adanya tambang tembaga. Sambutan yang mereka dapatkan menggembirakan. Pada tahun itu, jumlah Saksi yang aktif dalam dinas lapangan naik sebanyak 61 persen.
Di banyak tempat, para utusan injil biasanya punya daftar tunggu orang-orang yang ingin mendapat pelajaran Alkitab. Kantor cabang membeli sebuah truk Dodge yang sudah berusia sepuluh tahun. Truk ini digunakan oleh dua utusan injil pengawas keliling untuk mencapai daerah-daerah di luar pusat-pusat industri. ”Truk itu bermanfaat,” lapor kantor cabang, ”walaupun truk itu kadang-kadang pulang ke kantor cabang hanya dengan tiga roda atau berjalan dengan terseok-seok.”
Pada tahun 1951, ada enam utusan injil di negeri ini. Dan, enam utusan injil tambahan tiba pada bulan Desember 1953, siap untuk membantu. Dalam rombongan ini terdapat Valora dan John Miles, yang melayani di Zambia selama enam tahun sebelum dipindahtugaskan ke Zimbabwe dan kemudian ke Lesotho. Pada tahun-tahun berikutnya, lebih banyak utusan injil yang datang: Joseph Hawryluk, John dan Ian Renton, Eugene Kinaschuk, Paul Ondejko, Peter dan Vera Palliser, Avis Morgan, dan lain-lain, semuanya memberikan upaya yang pengasih. Tentu saja, agar efektif dalam dinas khusus, mereka perlu berkorban dan menyesuaikan diri.
”Dia Masih Anak-Anak!”
”Saya yakin ada kesalahan,” kata Wayne Johnson, tentang perasaannya ketika ia mendapat tugas ke Zambia. Wayne adalah lulusan Gilead kelas ke-36. Ia tiba pada awal tahun 1962 bersama Earl Archibald. Sekarang, ia menjadi rohaniwan keliling di Kanada, bersama istrinya, Grace. Wayne mengenang, ”Saya baru berusia 24 tahun dan wajah saya kekanak-kanakan. Karena saya belajar bahasa Chinyanja [disebut juga bahasa Chichewa], saya menangkap arti bisikan saudari-saudari ketika mereka pertama kali melihat saya: ’akali mwana’—’Dia masih anak-anak!’”
”Saya sadar bahwa saya harus sangat bergantung pada Yehuwa dan organisasi-Nya,” kata Wayne. ”Saya ingin semua orang tahu bahwa sesuai dengan semangat Kisah 16:4, saya hanya menyampaikan pengarahan dan informasi yang dipersiapkan oleh Yehuwa dan organisasi-Nya. Saya juga berupaya bertindak dengan cara yang dapat diterima oleh yang lainnya. Kalau dipikir-pikir lagi, saya masih heran bahwa saya diberi hak istimewa sebesar itu.”
Dideportasi!
Tahun 1960-an dan 1970-an adalah tahun-tahun perubahan. Dari waktu ke waktu, penganiayaan terjadi di seluruh negeri. Setelah kemerdekaan Zambia pada tahun 1964, saudara-saudara menghadapi kesulitan yang lebih besar sehubungan dengan salut kepada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Menjelang akhir 1960-an, beberapa politikus menganggap para utusan injil mempengaruhi orang-orang untuk melawan tujuan pemerintah. Sebuah laporan dari kantor cabang menjelaskan peristiwanya, ”Dini hari tanggal 20 Januari 1968, para pengawas dari hampir semua sidang berbahasa Inggris menelepon untuk menginformasikan kepada kantor cabang bahwa para pengawas diberi perintah deportasi. Yang menarik, perintah deportasi ini tidak hanya berlaku bagi Saksi-Saksi Yehuwa asing, tetapi juga bagi orang asli Zambia, dua di antaranya adalah George Morton dan Isaac Chipungu.”
Kejadian demi kejadian berlangsung dengan cepat. Pagi itu juga, pukul 10.00 para petugas imigrasi mendatangi kantor cabang untuk memberikan surat deportasi kepada lima pasang suami istri utusan injil. ”Tahu-tahu,” ingat utusan injil bernama Frank Lewis, ”mereka sudah ada di depan pintu. Sebelum kejadian ini, sudah diputuskan bahwa seandainya terjadi pelarangan, para utusan injil yang ada di kantor akan keluar lewat pintu belakang menuju rumah seorang saudara yang akan mengambil tindakan yang telah dipersiapkan. Namun, kami keberatan untuk meninggalkan kantor cabang karena seorang saudari utusan injil sedang sakit malaria yang parah di kamar atas. Tetapi, saudara-saudara lokal bersikeras agar kami pergi, dan berjanji bahwa mereka akan merawat saudari itu. Kami yakin mereka melakukannya.
”Aneh rasanya ketika membaca di Times of Zambia bahwa Menara Pengawal, sebutan mereka untuk kami, sekarang dilarang dan ’para pemimpin’-nya sedang bersembunyi. Nama-nama kami terpampang di halaman depan surat kabar itu, yang menambahkan bahwa aparat sedang mencari kami dari rumah ke rumah di seluruh kota! Saudara-saudara lokal yang tetap tinggal di kantor cabang melaksanakan tugas mereka dengan baik. Mereka memindahkan arsip dan lektur ke berbagai tempat. Setelah mereka selesai melakukan hal itu, kami kembali ke kantor cabang keesokan harinya dan menyerahkan diri.”
Seorang polisi ditugasi menjaga kantor cabang, dan tidak lama kemudian surat-surat perintah deportasi dikirimkan kepada beberapa utusan injil dan orang-orang asing lainnya. ”Kami termasuk yang terakhir pergi,” jelas Saudara Lewis. ”Sampai sekarang kami masih sangat terharu jika membayangkan saudari-saudari yang tidak begitu kami kenal telah rela berjalan sejauh 25 kilometer dari Kalulushi sambil membawa anak-anak mereka hanya untuk melepas kami dan memberi salam perpisahan!”
Deportasi Gelombang Kedua
Waktu berlalu. Pada suatu hari di tahun 1975, polisi tiba-tiba datang. Kala itu, Albert Musonda, yang sekarang melayani sebagai anggota Panitia Cabang di Zambia, berusia 22 tahun dan sedang bekerja sebagai sukarelawan Betel di Departemen Akuntansi. ”Mereka memberi waktu kurang dari dua hari bagi para utusan injil untuk meninggalkan negeri ini,” katanya.
John Jason menambahkan, ”Pada bulan Desember 1975, sebuah surat singkat dari kantor imigrasi memerintahkan kami untuk meninggalkan negeri ini dalam waktu 36 jam.” Saudara-saudara melayangkan permohonan melalui seorang pengacara setempat, dan para utusan injil memperoleh perpanjangan waktu sehingga mereka punya kesempatan untuk mengumpulkan beberapa milik pribadi mereka. ”Setelah itu,” kata Saudara Jason, ”kami harus meninggalkan orang-orang yang sangat kami sayangi.”
Istri Albert, Dailes, mengenang, ”Kami mengantarkan saudara-saudara ke Bandara Southdown untuk melepas kepergian mereka. John Jason terbang ke Kenya, dan Ian Fergusson ke Spanyol.” Apa yang menyebabkan deportasi gelombang kedua ini?
Banyak yang berpendapat bahwa pemicunya adalah kebaktian pada tahun 1975. ”Ini adalah salah satu kebaktian terbesar yang diselenggarakan selama masa yang bergejolak itu, dengan total hadirin lebih dari 40.000 orang,” kenang John Jason. Kebetulan, sebuah pertemuan politik diselenggarakan di dekat tempat kebaktian. Beberapa orang di pertemuan politik ini meminta agar Saksi-Saksi Yehuwa ditindak dengan tegas karena netral dalam urusan politik. Saudara Jason ingat bahwa kebaktian Saksi-Saksi Yehuwa dituduh sebagai biang keladi kurangnya jumlah hadirin pada pertemuan politik itu.
Para Utusan Injil Kembali
Sepuluh tahun kemudian, barulah para utusan injil bisa kembali ke Zambia. Tahun 1980-an adalah masa yang lebih stabil secara politik dan pembatasan atas Saksi-Saksi melunak. Pada tahun 1986, Edward Finch dan istrinya, Linda, tiba dari Gambia. Lebih banyak yang kemudian menyusul, termasuk Alfred dan Helen Kyhe serta Dietmar dan Sabine Schmidt.
Pada bulan September 1987, Dayrell dan Susanne Sharp tiba di Zambia dari Zaire, sekarang Republik Demokratik Kongo, melalui Afrika Selatan. Mereka lulus dari Gilead pada tahun 1969 dan pernah melayani di seluruh Kongo dalam pekerjaan keliling. Mereka sudah terbiasa dengan kehidupan di Afrika bagian tengah. Dayrell, yang bertubuh kekar, sekarang telah lebih dari 40 tahun dalam dinas sepenuh waktu. Ia mengatakan, ”Rumah utusan injil kami selama bertahun-tahun terletak persis di perbatasan, di Lubumbashi, dan kami secara teratur sudah melakukan perjalanan ke Zambia.”
Susanne mengingat dengan jelas masa itu. ”Karena ada kekurangan makanan di Kongo selama awal 1970-an, beberapa bulan sekali kami harus pergi ke Zambia untuk berbelanja,” katanya. ”Kemudian pada awal 1987, Badan Pimpinan meminta kami untuk pindah dari Kongo ke tempat tugas yang baru—ke mana? Zambia!” Karena kegiatan mereka semakin terbatas di Kongo, suami istri Sharp senang sekali pindah ke negeri yang kebebasan beragamanya semakin besar.
Namun, perlu beberapa penyesuaian di lapangan dan di kantor cabang. Karena pengabaran pernah dilarang, kebanyakan saudara hanya memimpin pelajaran Alkitab. Banyak penyiar tidak terbiasa—dan bahkan canggung—untuk mengabar secara terang-terangan dari rumah ke rumah, suatu corak dasar pelayanan umum yang dilakukan Saksi-Saksi Yehuwa. Itulah sebabnya saudara-saudara diimbau agar lebih berani dalam melakukan pekerjaan pengabaran dari rumah ke rumah, khususnya karena situasi dalam negeri sudah lebih tenang dan polisi tidak terlalu memedulikan kegiatan kami.
Bergerak Maju, Bukan Mundur
Panitia Cabang prihatin atas terhentinya pertumbuhan selama 1970-an. Adat setempat membuat saudara-saudara sungkan untuk mengajar anak-anak mereka sendiri, dan karena kesaksian dari rumah ke rumah dilarang, para ayah umumnya membiarkan saudara-saudari lain mengajar anak-anak mereka. Lalu, para ayah mengajar anak saudara-saudara lain. Sekaranglah waktunya untuk membuat keputusan yang berani. Pada tahun-tahun berikutnya, para penyiar dianjurkan untuk menyingkirkan adat dan kebiasaan yang tidak berdasarkan Alkitab. Seraya sidang-sidang menyambut anjuran itu, mereka diberkati, dan saudara-saudara bekerja keras untuk menyelaraskan kehidupan mereka dengan semua prinsip Alkitab dan persaudaraan sedunia.
Dalam periode lima tahun sejak deportasi pada tahun 1975, jumlah penyiar turun hampir sebanyak 11 persen. Tetapi, lima tahun setelah para utusan injil kembali pada tahun 1986, puncak penyiar meningkat sebanyak lebih dari 50 persen. Sejak tahun itu, jumlah penyiar aktif telah berlipat-lipat.
Dalam sebuah surat untuk kantor cabang, seorang mantan pengawas keliling, Silas Chivweka, mengatakan, ”Sejak tahun 1950-an, para utusan injil yang telah dilatih di Gilead membantu penyiar-penyiar lain untuk maju ke arah kematangan. Para utusan injil sangat sabar, berpengertian, dan baik. Dengan mendekat kepada penyiar-penyiar, para utusan injil melihat hal-hal yang masih perlu dikoreksi.” Bantuan yang tulus dan pengasih dari para utusan injil ini terus memacu pertumbuhan dewasa ini.
Bacaan Tercetak
Seperti Paulus dan rekan-rekannya, Saksi-Saksi Yehuwa zaman modern terbukti sebagai pelayan Allah karena mereka menggunakan ”senjata-senjata keadilbenaran di tangan kanan dan kiri”. (2 Kor. 6:7) Sewaktu bertempur dalam peperangan rohani, mereka terus menggunakan berbagai ’senjata’, atau sarana, yang adil-benar untuk memajukan ibadat yang sejati.
Pada awalnya, publikasi kita hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Meski beberapa orang di Afrika bagian selatan berlangganan Menara Pengawal sejak tahun 1909, kebenaran Alkitab terutama tersiar dari mulut ke mulut. Seorang saudara yang mengalami masa itu melaporkan, ”Setiap desa mempunyai [tempat pertemuan] untuk mendengarkan hal-hal yang diminati masyarakat. Saudara yang bisa membaca publikasi bahasa Inggris berkeliling, mengalihbahasakan paragraf-paragrafnya ke bahasa daerah yang sederhana. Kemudian, pertanyaan-pertanyaannya dibahas.” Tentu saja, keakuratan kebenaran yang disampaikan itu sangat bergantung pada kesanggupan dan motif orang yang menerjemahkan. Maka, demi persatuan dan pengetahuan yang saksama di antara para peminat, dibutuhkanlah publikasi Alkitab dalam bahasa mereka yang penyalurannya teratur dan dapat diandalkan.
Publikasi Tersedia
Pada awal 1930-an, tersedialah buku The Harp of God dan beberapa buku kecil yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Chinyanja. Menjelang tahun 1934, segelintir penyiar yang aktif telah menyebarkan lebih dari 11.000 eksemplar lektur. Kegiatan ini meresahkan para penentang, yang belakangan merancang ”kesusahan melalui ketetapan”. (Mz. 94:20) Namun demikian, menjelang akhir tahun 1949, ketika majalah Menara Pengawal tidak dilarang lagi, edisi bulanannya dalam bahasa Cibemba digandakan dengan stensil dan dikirimkan ke para pelanggan.
Jonas Manjoni mengingat pengalamannya sewaktu ia mengerjakan majalah itu selama awal 1950-an. ”Saya menerjemahkan ke bahasa Cibemba sendirian,” katanya. ”Saya biasanya mendapat naskahnya dalam bahasa Inggris, menerjemahkannya, dan mengoreksinya. Kemudian, saya mengetiknya pada lembar stensil induk, lalu menggandakannya. Pekerjaan itu menyita banyak waktu; kadang-kadang perlu 7.000 salinan per terbitan. Setiap majalah saya buat secara manual, lalu saya jepit dengan staples. Selanjutnya, saya mengirimkannya ke semua sidang. Perlu sangat banyak waktu dan tenaga untuk membubuhkan perangko pada tiap gulungan majalah dan membawanya ke kantor pos dalam dus-dus.”
Meski ada keterbatasan teknologi pada masa itu, semua yang terlibat dalam pekerjaan penerjemahan berdedikasi, menyadari manfaat pekerjaan mereka. Ketika James Mwango aktif dalam pekerjaan keliling, ia menulis terjemahan dengan tangan dan sering kali dengan penerangan lilin. ”Saya tidak pernah merasa terlalu lelah untuk melakukan pekerjaan ini,” katanya. ”Saya senang karena tahu bahwa upaya saya turut menyediakan makanan rohani untuk saudara-saudara, membantu mereka menjadi matang.”
’Pindah Tangan’
Agar bisa menyampaikan kebenaran dengan tepat, perlu seorang penerjemah yang memahami dengan baik bahasanya sendiri maupun naskah bahasa Inggrisnya. Aaron Mapulanga mengatakan, ”Sewaktu menerjemahkan, ada frasa-frasa yang memiliki makna kiasan. Saya ingat kami pernah berdiskusi tentang ungkapan bahasa Inggris ’pindah tangan’ yang terdapat dalam sebuah publikasi yang membahas pengalihan tugas dari Elia ke Elisa. Seorang saudara menerjemahkan frasa itu secara harfiah menjadi ’tangan yang berpindah’. Saya meragukan apakah memang itu maksudnya. Setelah berkonsultasi dengan beberapa saudara, kami mulai mengerti makna sebenarnya. Saya ingat juga bahwa kami disarankan untuk tidak menerjemahkan secara harfiah kata demi kata karena terjemahannya akan terdengar keinggris-inggrisan. Kami berupaya menghindari terjemahan harfiah dan mengikuti struktur bahasa kami.”
Bantuan Teknologi
Sejak tahun 1986, perangkat lunak MEPS (Multilanguage Electronic Phototypesetting System) tersedia di kantor-kantor cabang. Hal ini telah sangat membantu mempercepat penerjemahan, pemeriksaan, dan penataan teks. Belakangan, perangkat lunak Watchtower Translation System dan sarana-sarana penerjemahan digunakan secara ekstensif. Saat ini, tim-tim penerjemah menyediakan lektur Alkitab dalam beberapa bahasa daerah utama yang dimengerti oleh kebanyakan orang Zambia. Terjemahan Dunia Baru dan ”senjata-senjata keadilbenaran” lainnya akan terus berperan dalam membantu orang-orang yang berhati jujur mengenal Yehuwa.—2 Kor. 6:7.
Bantuan bagi Pengungsi
Di Afrika, banyak orang menikmati kehidupan bahagia dan damai. Namun, sayang sekali, semakin banyak orang terkena dampak perang. Dalam sekejap mata, tetangga bisa menjadi lawan, orang yang tak tahu apa-apa harus melarikan diri, dan masyarakat kacau balau. Sambil membawa sedikit harta benda mereka, para pengungsi mencari perlindungan. Inilah yang dialami jutaan orang dewasa ini.
Pada bulan Maret 1999, ribuan orang berbondong-bondong ke Zambia, melarikan diri dari pertikaian di Republik Demokratik Kongo. Seperti pada kebanyakan peperangan, pasukan militer menjarah, memaksa pria-pria memanggul beban berat, dan menganiaya wanita serta anak-anak. Saksi-Saksi Yehuwa tidak mau membawa senjata, maka banyak yang dipermalukan dan dipukuli dengan kejam. Katatu Songa, seorang perintis biasa yang bersemangat berusia 50-an tahun, mengingat, ”Saya diharuskan berbaring di depan para wanita dan anak-anak lalu dicambuki hingga tidak sadarkan diri.”
Untuk menghindari perlakuan buruk seperti itu, banyak keluarga melarikan diri. Mapengo Kitambo terpisah dari anak-anaknya sewaktu lari di padang belantara. Ia menjelaskan, ”Kami tidak punya waktu untuk mencari mereka. Kami harus terus berjalan, meski kami sangat mengkhawatirkan orang-orang yang kami kasihi.” Banyak yang melarikan diri beratus-ratus kilometer dengan berjalan kaki atau bersepeda ke tempat yang aman.
Kota kecil Kaputa dibanjiri pengungsi. Di antara para pengungsi itu, ada hampir 5.000 saudara dan keluarga mereka yang kelelahan karena perjalanan yang panjang dan berat. Meski tidak siap menghadapi para pengungsi, ke-200 pemberita Kerajaan yang tinggal di kota itu dengan senang hati menampung saudara-saudari mereka. Seorang pengungsi bernama Manda Ntompa mengenang, ”Kami sangat terkesan oleh kasih dan keramahan yang diperlihatkan kepada kami. Ketika tahu bahwa kami adalah Saksi-Saksi Yehuwa, saudara-saudara setempat membuka pintu mereka lebar-lebar. Seperti janda dari Zarefat, mereka rela membagi makanan mereka yang terbatas dengan kami.”
Di dekat Danau Mweru di utara, Saksi setempat, yang jumlahnya tidak banyak, mengurus kebutuhan ratusan pengungsi. Dengan terorganisasi, mereka menyediakan makanan dan penaungan. Sidang-sidang tetangga menyediakan singkong dan ikan. Akhirnya, setelah tiga bulan, Saksi-Saksi dari Kongo didaftar dan dipindahkan ke kamp pengungsi.
Orang-orang yang lari dari pertikaian yang ganas jarang membawa buku dan majalah. Sering kali, milik yang paling berharga terpaksa ditinggalkan sewaktu mereka dengan tergesa-gesa lari ke tempat yang aman. Tidak demikian halnya dengan umat Allah. Walaupun kalut, ada di antara mereka yang berhasil membawa publikasi. Meski demikian, Alkitab dan lektur Alkitab tidak banyak. Biasanya, di perhimpunan yang dihadiri 150 orang, hanya tersedia lima buku. Bagaimana hadirin berpartisipasi dalam perhimpunan? Seorang saudara menjelaskan, ”Yang memiliki Alkitab, membuka ayatnya, dan yang tidak punya, menyimak baik-baik. Jadi, semua turut memuji Yehuwa dan saling membesarkan hati melalui komentar mereka.”
Kebutuhan Jasmani Diperhatikan
Sebagian besar pengungsi adalah wanita dan anak-anak. Sering kali mereka tiba dalam keadaan tidak sehat dan sama sekali tidak punya makanan. Bagaimana Saksi-Saksi Yehuwa membantu mereka? Times of Zambia melaporkan, ”Sungguh menyenangkan bahwa Perkumpulan Saksi-Saksi Yehuwa di Zambia telah mengirimkan sukarelawan ke bekas negeri Zaire hanya untuk meringankan beban para pengungsi di kawasan Danau-Danau Besar.” Artikel itu menjelaskan bahwa Saksi-Saksi dari Belgia, Prancis, dan Swiss ”menyediakan bagi para pengungsi 500 kilogram obat-obatan, 10 ton vitamin, 20 ton makanan dan lebih dari 90 ton pakaian, 18.500 pasang sepatu dan 1.000 helai selimut, nilai keseluruhannya hampir 1 juta dolar AS”.
Saudara Ntompa mengingat, ”Hari ketika bantuan tiba sangatlah menggembirakan dan menguatkan iman kami. Kita berada dalam organisasi yang benar-benar peduli! Pertunjukan kasih yang luar biasa ini menjadi titik balik bagi banyak anggota keluarga yang belum seiman. Sejak itu, beberapa di antara mereka bergabung dengan kita dan membuat kemajuan yang bagus sebagai penyembah Allah.” Bantuan diserahkan kepada semua pengungsi, tanpa pandang bulu.
Menjelang akhir tahun 1999, jumlah pengungsi di Zambia membengkak menjadi 200.000 orang lebih. Sebuah surat kabar lokal melaporkan, ”Zambia menjadi salah satu negeri suaka terbesar bagi pengungsi Afrika yang lari dari pertikaian.” Meski ada upaya dari kalangan berwenang untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi, frustrasi dan ketidakpuasan di kalangan para pengungsi ini menyebabkan mereka melakukan aksi protes yang beringas. Setelah suatu kerusuhan, para pengawas kamp pengungsi mendekati pengawas wilayah dan menuduh bahwa ia tidak banyak membantu memelihara ketertiban, meski Saksi-Saksi Yehuwa tidak terlibat dalam satu kerusuhan pun. Sang pengawas wilayah dengan ramah tetapi tegas menjawab, ”Saya sudah membantu kalian! Bayangkan betapa lebih parahnya keadaan seandainya ada 5.000 orang lagi yang ikut dalam kerusuhan! Kalian mestinya berterima kasih bahwa sedikitnya 5.000 pengungsi tidak ikut dalam kerusuhan karena mereka adalah Saksi-Saksi. Mereka adalah saudara-saudara saya!”
Saksi-Saksi Yehuwa dikenal karena pengaruh mereka yang menenteramkan bagi masyarakat pengungsi. Seorang pejabat pemerintah berkomentar, ”Kami mendengar bahwa Saksi-Saksi Yehuwa sangat religius, dan kami menugasi banyak di antara mereka untuk menjadi kepala kelompok. Sejak itu, kamp pengungsi menjadi tenang karena bantuan para kepala ini, dan setiap orang berkonsentrasi membaca Alkitab. Puji Tuhan jika orang-orang seperti ini bisa terus membantu kita dan kamp menjadi damai.”
Menaati Larangan Allah tentang Darah
Meskipun hikmat praktis perintah Alkitab untuk ”tetap menjauhkan diri . . . dari darah” sudah lama terbukti kebenarannya, di Afrika sub-Sahara ada banyak prasangka dan kesalahpahaman tentang pengobatan nondarah. (Kis. 15:28, 29) Sungguh menyedihkan, Saksi-Saksi Yehuwa diperlakukan dengan kasar dan dipermalukan. Sering kali, anak-anak yang diopname ditransfusi pada malam hari tanpa sepengetahuan orang tua mereka.
Michael yang berusia enam tahun diasuh oleh neneknya, Jenala Mukusao. Ketika Michael diopname karena menderita anemia parah, para dokter mengharuskan dia ditransfusi. Karena menolak hal itu, Saudari Mukusao diintimidasi dan diperlakukan dengan sewenang-wenang selama empat hari. Ia mengatakan, ”Saya memohon kepada mereka dan menunjukkan kartu Keterangan Medis saya, tetapi mereka tidak mau mendengarkan. Para perawat menuduh bahwa saya seorang dukun yang ingin membunuh cucu sendiri.”
Karena menghadapi permusuhan seperti itu, beberapa Saksi enggan ke rumah sakit. Banyak dokter mengabaikan hak pasien untuk membuat persetujuan yang terinformasi. Segelintir dokter yang mau membantu para Saksi berisiko mendapat kecaman keras dan bahkan dikucilkan oleh sejawat mereka karena dianggap melakukan praktek kedokteran yang tidak lazim. Ada juga kesulitan berupa prasarana yang kuno dan terbatasnya alternatif pengganti darah. Namun, pada tahun 1989, kepala bagian kesehatan di industri tambang tembaga mengatakan, ”Transfusi darah hendaknya tidak diberikan jika orang tersebut menolaknya.” Jelaslah bahwa pandangan beberapa orang dari kalangan medis mulai lentuk.
Panitia yang Besar Pengaruhnya
Pada tahun 1995, Pelayanan Informasi Rumah Sakit, serta beberapa Panitia Penghubung Rumah Sakit (PPRS), dibentuk di Zambia. Tidak banyak yang bisa memperkirakan besarnya pengaruh panitia-panitia ini di kemudian hari terhadap sikap kalangan medis sehubungan dengan pengobatan nondarah dan hak pasien. Pekerjaan PPRS antara lain ialah mengunjungi rumah sakit, mewawancarai dokter, dan membuat presentasi di depan staf medis, dengan tujuan memupuk kerja sama dan menghindari perselisihan. Karena presentasi disampaikan dengan cukup profesional, para staf medis terkesan. Di sebuah rumah sakit di bagian selatan negeri ini, seorang tenaga medis tergerak untuk mengatakan kepada saudara-saudara, ”Kalian ini sebenarnya dokter, hanya saja kalian tidak mau mengakuinya.”
Seorang dokter asal Belanda yang bekerja di rumah sakit distrik di Zambia bagian barat mengatakan, ”Dua minggu yang lalu, kami membahas cara mengurangi penggunaan darah karena banyaknya bahaya yang terkait. Sekarang, ada pakar-pakar yang membahas soal ini dengan kami.” Tidak lama kemudian, staf medis yang sudah mengikuti presentasi PPRS mulai menyarankan sejawat mereka agar menghadiri presentasi-presentasi itu juga. Program ini dihargai oleh kalangan medis sehingga perselisihan berkurang dan berubah menjadi kerja sama.
Beberapa saudara yang menjadi anggota PPRS harus mengatasi perasaan minder ketika mendekati para dokter, yang selama bertahun-tahun sudah dianggap seperti dewa. Saudara Smart Phiri, yang melayani sebagai ketua PPRS Lusaka, mengingat, ”Saya tidak punya latar belakang kedokteran dan sangat kurang percaya diri.”
Namun, keuletan mereka serta keyakinan mereka kepada Yehuwa membuahkan hasil. Seorang anggota PPRS lainnya mengingat saat-saat awal, ”Kami bertiga menemui seorang dokter, yang sangat berpengaruh dan pernah menjadi menteri kesehatan. Kami sangat gugup. Di lorong, di depan kantor dokter tersebut, kami berdoa kepada Yehuwa, memohon bantuan-Nya agar kami bisa berbicara dengan berani. Setelah masuk ke kantor dokter tersebut, kami bisa berbincang-bincang dengan enak bersamanya, dan dia ternyata orang yang mau bekerja sama. Saya sadar bahwa Yehuwa mendukung kami dan tidak ada alasan untuk takut.”
Meningkatnya kerja sama antara PPRS dengan kalangan medis nyata dari kemauan para dokter untuk menangani kasus-kasus yang sulit, yang beberapa tahun silam tidak akan mereka tangani jika mereka tidak boleh menggunakan transfusi. Pada bulan Oktober tahun 2000, dua ahli bedah membuat keputusan yang berani untuk membedah Beatrice, seorang bayi perempuan berumur enam bulan dari Republik Demokratik Kongo. Meski pembedahan tanpa darah untuk kasus atresia biliari (penyumbatan di kantong empedu) tersebut sukses, banyak sekali publisitas yang negatif.
Akan tetapi, pernyataan pers yang diberikan oleh Profesor Lupando Munkonge, ketua tim pembedahan tersebut, mengubah keadaan. Ia menandaskan respeknya terhadap pendirian orang tua Beatrice. Keterangan ini sangat meredam kritik yang dilancarkan oleh media. Dua bulan kemudian, sebuah tayangan dokumenter di televisi menyorot kasus ini, menyajikan pandangan yang positif sehubungan dengan pendirian kita tentang pengobatan dan pembedahan tanpa darah.
”Tolong Cepat Ya”
Hanya beberapa dokter yang tetap skeptis akan pendirian berdasarkan hati nurani yang diambil oleh Saksi-Saksi mengenai darah. Kebanyakan dokter sekarang mengakui bahwa strategi alternatif adalah tindakan yang aman, sederhana, dan efektif—bahkan di daerah pedesaan Afrika. Banyak pasien telah belajar membela hak mereka dengan berani. Untuk itu, mereka harus mendidik diri mereka sendiri mengenai soal-soal penting dan belajar cara menyatakan pendirian mereka yang berdasarkan hati nurani.
Bahkan, anak-anak diberi ”lidah seorang murid”. (Yes. 50:4) Sebelum dibedah, Nathan, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun yang menderita osteomielitis (radang sumsum tulang) paha kiri, memberi tahu tim dokter, ”Kalau Bapak-Bapak Dokter mengoperasi saya, tolong cepat ya, supaya tidak banyak darah yang keluar. Jangan transfusi saya, sebab Papa, Mama, dan Allah Yehuwa tidak akan mengampuni Dokter.” Setelah pembedahan, seorang anggota tim bedah memuji orang tua Nathan karena melatih putra mereka. Dengan rendah hati, sang dokter mengatakan, ”Baru kali ini saya diingatkan seorang pasien cilik tentang pentingnya merespek Allah.”
”Kami merekomendasikan diri sebagai pelayan Allah, . . . sering tidak tidur pada malam hari,” demikian kata rasul Paulus. Hamba-hamba Allah sering tidak tidur demi rekan seiman dan demi memajukan ibadat yang sejati. (2 Kor. 6:3-5) Hal itu sering dialami oleh saudara-saudara yang melayani di PPRS. Sikap rela berkorban ini dihargai. Seorang saudari mengatakan, ”Tiada kata yang dapat mengungkapkan besarnya penghargaan saya. Sungguh membesarkan hati dan menghibur untuk melihat semangat rela berkorban saudara-saudara dari PPRS, yang langsung membantu dan siap menolong saya setiap saat. Ketika saya harus masuk ke kamar bedah untuk kedua kalinya pada hari yang sama, saya tidak panik. Saya sangat dikuatkan oleh kata-kata mereka yang membesarkan hati.” Ya, meski ada ”laporan buruk”, Saksi-Saksi Yehuwa terus merekomendasikan diri sebagai pelayan Allah melalui kerelaan mereka untuk bekerja sama dengan kalangan medis. (2 Kor. 6:8) Karena dikuatkan oleh ”laporan baik”, mereka bertekad untuk terus menaati perintah Allah agar ”tetap menjauhkan diri . . . dari darah”.
Sekolah Pelatihan Pelayanan
”Di banyak negeri, jika sekitar 25 pemuda bergerombol, mereka dicurigai akan membuat onar,” kata Cyrus Nyangu, seorang anggota Panitia Cabang Zambia. ”Namun, ke-31 kelas Sekolah Pelatihan Pelayanan (SPP) telah secara konsisten melatih kelompok-kelompok pria Kristen yang berbakti dan energik. Mereka ini terbukti bermanfaat bagi masyarakat yang mereka layani.” Lebih dari 600 lulusan sekolah internasional ini melayani dalam berbagai corak dinas sepenuh waktu di enam negeri di Afrika bagian selatan. Di Zambia, lebih dari setengah jumlah pengawas keliling adalah lulusan SPP. Mengapa sekolah ini penting, dan apa yang dicapainya?
Sejak wisuda kelas pertama pada tahun 1993, ada hampir 60 persen kenaikan jumlah penyiar aktif di Zambia. Namun, masih banyak pria cakap yang dibutuhkan untuk mengurus sidang, khususnya karena ada tekanan yang kuat dari masyarakat untuk mengikuti tradisi dan adat istiadat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Alkitab. Ketika menandaskan bahwa pria-pria yang cakap dibutuhkan untuk menggembalakan dan mengajar, seorang lulusan SPP mengatakan, ”Salah satu masalah di ladang kami adalah orang cenderung mentoleransi kesalahan. Saya belajar bahwa kita harus teguh demi apa yang benar dan tidak melampaui apa yang tertulis.”
Pada mulanya, para siswa tidak terbiasa dengan beranekaragamnya informasi yang dibahas dan dalamnya materi pelajaran. Namun, para instruktur senang membantu. Salah seorang instruktur, Sarel Hart, mengatakan, ”Bagi saya, mengajar di kelas setiap hari rasanya seperti memandu tur di gunung. Pada mulanya, semua seperti orang asing, yang berupaya membiasakan diri dengan lingkungan yang belum dikenal dan menakjubkan. Ada kalanya, batu-batu besar menghalangi di tengah jalan. Seraya siswa-siswa mengatasi penghalang itu dan terus mendaki, semua rintangan yang semula tampak tak teratasi tersebut menjadi semakin tak berarti.”
Banyak yang mengumpamakan kemajuan rohani yang mereka alami setelah mengikuti sekolah itu sebagai metamorfosis. Elad, yang sekarang melayani sebagai perintis istimewa, mengatakan, ”Saya merasa tidak cakap mengajar dan terlalu muda untuk menerima lebih banyak tanggung jawab di sidang. Sekolah ini membantu saya sadar bahwa saya berguna. Di sidang pertama yang menjadi tempat tugas saya, ke-16 penyiarnya punya masalah dalam memimpin pelajaran Alkitab yang progresif. Kami dengan rutin membahas saran-saran dan berlatih sebelum dinas. Pada tahun 2001, sidang itu bertumbuh hingga memiliki 60 penyiar serta satu kelompok terpencil dengan 20 penyiar.”
Tolok Ukur Keberhasilan
Apa beberapa hal yang menjadi tolok ukur keberhasilan Sekolah Pelatihan Pelayanan itu? ”Kami benar-benar menekankan pentingnya untuk selalu rendah hati, tidak menganggap diri lebih tinggi daripada yang semestinya,” jelas Richard Frudd, salah seorang instruktur. ”Sasaran kami adalah kematangan, keibaan hati, dan kesanggupan untuk menangani problem yang sulit dan tetap tersenyum. Jika mereka bisa memperlakukan saudara-saudari dengan baik hati, memperlihatkan bahwa mereka mau melayani dan bukan dilayani, kami merasa bahwa sekolah telah mencapai tujuannya.”
Para siswa mengakui benarnya kata-kata tersebut. Emmanuel, seorang lulusan kelas ke-14, mengatakan, ”Kalau kita ditugasi ke sebuah sidang, bukan berarti kita harus langsung mengoreksi setiap hal kecil. Malah, fokus kita hendaknya adalah ikut dengan sidang dalam pekerjaan yang terpenting, yaitu memberitakan kabar baik.”
Moses, seorang perintis, mengatakan, ”Saya belajar bahwa Yehuwa dapat menggunakan siapa pun yang rendah hati dan bahwa kadang-kadang pengetahuan dan pengalaman bukanlah yang terpenting. Yang penting menurut-Nya adalah mengasihi orang-orang di sidang dan di lapangan serta kemauan untuk bekerja sama.”
Pertemuan Besar
Berbagai perayaan dan ”pertemuan kudus” pra-Kristen di kalangan bangsa Israel adalah saat-saat yang menyenangkan, membantu orang yang hadir untuk berfokus pada soal rohani. (Im. 23:21; Ul. 16:13-15) Demikian pula pertemuan-pertemuan umat Allah pada zaman modern. Di Zambia, kebaktian tidak diselenggarakan di kompleks olah raga yang modern dan bersih. Saudara-saudara mempersiapkan lokasi yang mereka sebut perkampungan kebaktian, yang dilengkapi pondok-pondok kecil untuk penginapan.
Dari tahun ke tahun, bangunan yang lebih permanen disiapkan di lokasi kebaktian. Akan tetapi, pada awalnya ada banyak kesulitan sehingga saudara-saudara harus banyak akal. ”Di lokasi kebaktian wilayah,” seorang pengawas distrik mengingat, ”saudara-saudara membuat pondok untuk saya, biasanya dari rumput. Lalu mereka membuat pagar di sekeliling lokasi kebaktian. Tempat duduknya berupa gundukan tanah, dengan ’bantalan kursi’ dari rumput. Adakalanya saudara-saudara meratakan puncak bukit bekas sarang rayap untuk panggung. Di atasnya, mereka membuat sebuah pondok kecil sebagai tempat untuk pembicara.”
Peter Palliser, seorang utusan injil, mengenang, ”Pada salah satu kebaktian, saudara-saudara memutuskan bahwa mereka ingin panggung yang tinggi. Seorang saudara mahir menggunakan bahan peledak. Ia menyiapkan lokasi dan meledakkan puncak bukit bekas sarang semut yang tingginya sekitar 6 meter, lalu di atas gundukan yang tersisa kami membuat mimbar.”
Upaya untuk Hadir
Sebagian besar lokasi kebaktian jauh dari jalan utama dan sulit untuk dijangkau. Robinson Shamuluma mengingat kebaktian yang dihadirinya pada tahun 1959. ”Kami, sekitar 15 orang, naik sepeda ke Kabwe di Provinsi Tengah,” katanya. ”Kami membawa bekal tepung jagung dan ikan kering. Setiap malam, kami tidur di antara semak-semak. Di Kabwe kami naik kereta api, dan akhirnya sampai di lokasi kebaktian setelah menempuh perjalanan selama hampir empat hari.”
Lamp Chisenga mengingat seorang saudara yang menempuh perjalanan sekitar 130 kilometer dengan berjalan kaki dan bersepeda bersama enam anaknya untuk menghadiri kebaktian. Ia mengatakan, ”Untuk bekal perjalanan, mereka menyiapkan makanan—singkong bakar, kacang tanah, dan selai kacang. Sering kali mereka harus bermalam tanpa penaungan di antara semak-semak.”
Ketika melayani sebagai pengawas distrik, Wayne Johnson memperhatikan besarnya upaya banyak orang untuk hadir. Ia menulis, ”Seorang perintis istimewa bersepeda selama hampir satu minggu untuk menghadiri kebaktian. Yang lain-lain menumpang di bak truk. Banyak yang tiba sebelum hari pertama kebaktian, pada awal pekan kebaktian. Pada malam harinya, mereka bernyanyi di sekeliling api unggun. Kadang-kadang, begitu banyak yang berdinas sehingga kami mengerjakan daerah yang sama tiga kali selama pekan itu.”
Walau Ditentang, Tidak Dilalaikan
Pertemuan yang besar selalu menguatkan dan membesarkan hati saudara-saudara. Dewasa ini, kebaktian-kebaktian mendapat banyak publisitas yang positif. Akan tetapi, pada masa perubahan politik dan khususnya selama tahun 1960-an dan 1970-an, acara seperti itu dicurigai. Aparat pemerintah berupaya sebisa-bisanya untuk menghambat ibadat kita. Saudara-saudara tidak memperoleh surat izin dari kepolisian untuk menyelenggarakan pertemuan umum karena mereka menolak untuk menyanyikan lagu kebangsaan. Belakangan, kebaktian diperkecil karena ada pembatasan. ”Tahun 1974 adalah tahun terakhir Saksi-Saksi Yehuwa bisa mengadakan pertemuan di tempat terbuka,” kenang Darlington Sefuka. ”Menteri dalam negeri mengumumkan bahwa pertemuan umum hanya bisa diselenggarakan jika lagu kebangsaan dinyanyikan dan bendera dikibarkan.” Meski demikian, saudara-saudara diperbolehkan berhimpun di Balai Kerajaan setempat di lingkungan yang berpagar. Untuk menyesuaikan diri dengan situasi seperti ini, kantor cabang mengatur agar acara kebaktian wilayah diadakan di Balai Kerajaan, sering kali dihadiri oleh satu atau dua sidang saja.
Kebaktian distrik juga diadakan dalam skala kecil. ”Daripada mengadakan satu kebaktian distrik yang besar, kami menyelenggarakan 20 kebaktian kecil,” kenang seorang saudara yang ikut dalam pengorganisasian kebaktian. ”Banyak saudara dilatih dan digunakan sebagai pengkhotbah dan dalam berbagai departemen kebaktian, sehingga ketika pelarangan dicabut, kami mempunyai banyak pria yang berpengalaman dalam mengorganisasi kebaktian.”
Pembaptisan
Sejak awal 1940-an, dibuatlah upaya untuk memastikan bahwa orang yang dibaptis benar-benar memahami makna langkah tersebut. Ada yang sulit untuk sepenuhnya meninggalkan ”Babilon Besar” dan kebiasaan agama palsu. (Pny. 18:2, 4) Yang memperparah masalah ini adalah kenyataan bahwa relatif sedikit orang yang dapat membaca dengan baik dan banyak sidang tidak mempunyai cukup alat bantu belajar Alkitab. Akibatnya, pengawas wilayah dan pengawas distrik harus mewawancarai setiap calon baptis untuk memastikan apakah orang tersebut memenuhi syarat. Geoffrey Wheeler, seorang lulusan Gilead kelas ke-33, mengingat, ”Kami dengan cermat mengamati bayi dalam gendongan ibunya yang akan dibaptis untuk memastikan bahwa bayi itu tidak mengenakan manik-manik keberuntungan atau jimat. Sering kali, kami harus berjaga hingga tengah malam setiap hari selama pekan kebaktian; banyak sekali calon baptis.” Wawancara seperti itu tidak terlalu dibutuhkan lagi setelah para pengawas keliling membantu para penatua sidang dengan pengasih; lalu ada lektur-lektur seperti ”Your Word Is a Lamp to My Foot”; dan ada pemurnian lebih lanjut dalam organisasi.
Demam Panggung!
Drama Alkitab dengan latar kuno selalu menjadi acara kebaktian yang paling populer. Setiap pemain dengan sungguh-sungguh melaksanakan tanggung jawabnya untuk memperlihatkan emosi tokoh yang diperaninya, dan kebanyakan orang Zambia tidak malu-malu. Frank Lewis, seorang mantan utusan injil dan sekarang anggota keluarga Betel Amerika Serikat, mengenang, ”Dulu, drama tidak direkam di kaset. Saudara-saudara yang main drama harus menghafal dialog. Saya ingat menghadiri sebuah kebaktian di Provinsi Utara, dan itu pertama kalinya ada drama, yaitu tentang Yusuf. Nah, karena pengiriman lewat pos terlambat dan naskah drama belum sampai ke tangan saudara-saudara, kami harus bekerja sampai larut malam untuk membantu saudara-saudara menghafalkan dialog mereka. Ketika drama dipentaskan, kami sampai pada adegan istri Potifar dengan nada tinggi melapor kepada suaminya bahwa Yusuf mencoba memperkosanya. Tiba-tiba, saudara yang berperan sebagai Potifar terserang demam panggung dan turun dari panggung. Saya sedang berada di balik panggung untuk membantu saudara-saudara mengingat dialog mereka. Ketika saya melihat saudara itu turun panggung, saya buru-buru mengingatkannya pada beberapa kalimat pertama yang harus ia ucapkan, lalu mendorongnya kembali ke panggung. Ia kemudian dengan lancar melontarkan kata-kata kecamannya terhadap pria yang dituduh melakukan percobaan pemerkosaan itu! Walaupun nyaris terjadi bencana di kebaktian kami, setiap kali saya membaca kisah Alkitab itu saya berpikir, ’Jangan-jangan kejadian sebenarnya memang begitu. Karena marah, Potifar mungkin meninggalkan ruangan, menenangkan diri, lalu kembali untuk memaki-maki Yusuf!’”
Pada tahun 1978, ketika peraturan pemerintah yang sudah berjalan selama empat tahun yang membatasi jumlah hadirin kebaktian melunak, Kebaktian ”Iman yang Berkemenangan” menghadirkan kesulitan lain. Seorang mantan pengawas keliling mengingat, ”Pada kebaktian itu, kami mementaskan semua drama dari tahun-tahun sebelumnya yang tidak kami pentaskan sewaktu kami harus mengadakan kebaktian di Balai Kerajaan. Kebaktian itu berlangsung lima hari, dan kami mementaskan lima drama, satu setiap hari. Jadi, kami sekarang sudah menyaksikan semua drama! Memang menyenangkan, tetapi merepotkan wakil Betel yang harus meninjau latihan setiap drama. Banyak sekali yang harus dilakukannya!”
”Setulusnya, itulah kebaktian paling menyenangkan yang pernah saya hadiri,” kata seorang anggota Panitia Cabang. ”Pada pagi hari, keluarga-keluarga yang sudah rapi dan bersih keluar dari pondok mereka. Mereka ingin memenuhi undangan Yehuwa dengan penampilan terbaik. Mereka sering kali duduk, tidak di tempat yang teduh, tetapi di tempat yang panas. Namun, mereka tidak beranjak sepanjang hari dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Pemandangan yang indah.” Bagi Saksi-Saksi Yehuwa, berkumpul bersama adalah bagian yang penting dalam ibadat. (Ibr. 10:24, 25) Entah sedang ”berdukacita” karena masalah pribadi atau tentangan agama, entah tidak, umat Yehuwa tahu bahwa menghadiri pertemuan yang besar adalah alasan untuk ”senantiasa bersukacita”.—2 Kor. 6:10.
Pembangunan Balai Kerajaan
”Melalui surat ini, saya memberikan kuasa kepada sidang yang namanya disebut di atas untuk memiliki tanah sendiri. Kepemilikan tanah tersebut permanen, dan saya telah memberikan persetujuan kepada mereka untuk menggunakan tanah ini selama 150 tahun. Mereka tidak boleh diganggu gugat sampai Firdaus.”—Kepala Suku Kalilele.
Sejak awal abad ke-20, para pencari kebenaran di Afrika bagian selatan menyadari pentingnya berkumpul untuk beribadat. Sekitar tahun 1910, William Johnston melaporkan bahwa kelompok-kelompok yang berkembang pesat membangun tempat-tempat perhimpunan menggunakan bahan bangunan tradisional, ada yang cukup besar sehingga bisa menampung 600 orang. Walaupun banyak yang ingin memiliki tempat ibadat, tidak semua merasa demikian. Holland Mushimba, yang mulai mengenal kebenaran pada awal 1930-an, mengenang, ”Walaupun menganjurkan orang untuk berhimpun, saudara-saudara tidak merasa terlalu memerlukan tempat perhimpunan yang tetap. Kami biasa berkumpul di tempat yang cocok di bawah naungan pohon besar yang rindang atau di halaman rumah seorang saudara. Beberapa saudara masih memiliki pandangan, berdasarkan Lukas 9:58, bahwa Yesus saja tidak memiliki balai yang tetap, jadi untuk apa repot-repot membangun balai sendiri?”
Sebelum tahun 1950, kebanyakan tempat perhimpunan berbentuk sederhana, bangunannya tidak kokoh, dari kayu kasar dan tanah liat. Di wilayah Copperbelt yang sibuk, Ian Fergusson meyakinkan seorang manajer pertambangan untuk mengalokasikan lahan untuk Balai Kerajaan. Pada tahun 1950, dibangunlah Balai Kerajaan yang pertama, di Wusikili. Baru sepuluh tahun kemudian saudara-saudara membuat rencana untuk membuat bangunan yang sesuai dengan standar. Balai Kerajaan pertama yang dibuat berdasarkan rencana itu adalah sebuah bangunan bagus beratap datar yang memakan biaya sekitar 12.000 kwacha Zambia. Meski pada masa itu jumlah tersebut besar, dewasa ini, dalam perekonomian yang terpukul oleh inflasi, nilainya tidak sampai tiga dolar AS!
Karena tidak mau membeli kartu partai politik, Saksi-Saksi terus menghadapi serangan para militan patriotis. Tempat-tempat ibadat dibakar. Karena khawatir akan terjadi serangan lain, beberapa saudara berpikir lebih baik tidak membangun tempat yang permanen tetapi berhimpun di tempat terbuka. Setelah ada pembatasan pada awal 1970-an, semakin sulit untuk mendapatkan lahan. Meskipun Saksi-Saksi Yehuwa sudah terkenal tidak mendukung partai politik mana pun, kalangan berwenang di beberapa daerah berkeras bahwa kartu partai harus disertakan dalam surat permohonan apa pun.
Wiston Sinkala mengingat, ”Kami hampir tidak dapat memperoleh lahan, apalagi mendapat surat izin mendirikan bangunan. Ketika kami memberi tahu dewan kota bahwa kami akan menuntut mereka ke pengadilan, mereka pikir kami hanya bergurau. Namun, kami menemukan pengacara yang andal, dan setelah dua tahun, pengadilan mengeluarkan keputusan yang menguntungkan kami dan memerintahkan dewan kota untuk menyediakan lahan. Kasus ini membuka jalan untuk lebih banyak kebebasan di kemudian hari.”
Kuda Hitam
Jarang sekali ada sidang yang mendapat tanah bersertifikat. Sering kali saudara-saudara mendapat tanah yang belum digarap, tetapi karena tidak ada surat-surat resmi mereka tidak dapat membuat bangunan yang permanen. Bahan bangunan mahal, maka banyak yang menggunakan lempeng besi atau drum kosong yang dibelah, diratakan, lalu dipakukan pada rangka kayu. Mengenai salah satu bangunan seperti ini, seorang penatua berkomentar, ”Kami mengecat lempeng-lempeng besi itu dengan ter, dan dari kejauhan balai itu tampak seperti seekor kuda hitam yang besar. Di dalam, panasnya luar biasa.”
Seorang mantan pengawas wilayah mengatakan, ”Kalau saya ingat-ingat lagi, bangunan-bangunan itu rasanya tidak layak disebut sebagai Balai Kerajaan. Sungguh, bangunan-bangunan itu tidak cocok untuk mewakili Allah yang Mahatinggi, Yehuwa.”
Beberapa sidang memutuskan untuk menyewa aula. Meskipun jalan keluar seperti ini sepertinya tidak mahal, ada masalah juga. Edrice Mundi, yang tergabung dengan satu-satunya sidang berbahasa Inggris di Lusaka pada tahun 1970-an, mengingat, ”Kami menyewa sebuah aula yang juga digunakan untuk diskotek. Setiap Sabtu orang minum-minum dan berdansa sampai pagi, dan pada hari Minggu kami harus datang pagi-pagi untuk membersihkan aula itu. Aula itu berbau bir dan rokok; rasanya tidak enak untuk beribadat kepada Yehuwa di tempat seperti itu.”
Suami Edrice, Jackson, mengingat, ”Suatu kali, ketika acara tengah berlangsung pada hari Minggu, seorang pemuda masuk ke aula dan menyelonong ke depan, mengangkat satu peti bir yang tertinggal malam sebelumnya, lalu pergi begitu saja tanpa menghiraukan orang-orang yang hadir.” Maka, tidak mengherankan jika saudara-saudara ingin sekali memiliki Balai Kerajaan sendiri!
Proyek Bersejarah
Seraya semakin banyak orang menyambut berita Kerajaan, balai yang terhormat semakin dibutuhkan. Saudara-saudara memang sangat menginginkannya dan bersemangat, namun jangankan membiayai Balai Kerajaan, membeli makanan untuk keluarga mereka sendiri pun tidak mampu. Maka, Yehuwa yang tangan-Nya tidak terlalu pendek sudah menyiapkan kejutan yang menyenangkan.
Ketika sebuah survei menunjukkan bahwa lebih dari 8.000 Balai Kerajaan di 40 negeri berkembang dibutuhkan di seluruh dunia, Badan Pimpinan memutuskan untuk mempercepat pembangunan. Mereka menyadari bahwa di beberapa daerah bisa jadi hanya ada sedikit ahli yang bersedia untuk membantu di proyek-proyek ini. Kemungkinan juga tidak banyak peralatan yang tersedia. Selain itu, di negeri-negeri berkembang banyak sidang tidak mampu membayar kembali utang dalam jumlah yang besar. Tambahan pula, seraya jumlah penyiar bertambah dengan pesat, cabang-cabang di beberapa kawasan sulit membuat program yang terorganisasi dengan baik. Mengingat semua hal tersebut, Badan Pimpinan membentuk sebuah panitia perancangan/pembangunan di Amerika Serikat untuk mengawasi kemajuan program-program pembangunan Balai Kerajaan di seluruh dunia. Lalu, diterbitkanlah pedoman pembangunan Balai Kerajaan untuk negeri-negeri dengan sumber daya terbatas, dan para sukarelawan yang terampil dari negeri-negeri lain ditugasi mengawasi proyek-proyek pembangunan di negeri-negeri tersebut.
Adakalanya, metode dan gagasan pembangunan yang tradisional harus disesuaikan. Di Zambia, misalnya, para wanita mendukung proyek pembangunan dengan merelakan diri menimba air, mengangkut pasir, dan memasak. Namun, tim-tim pembangunan ingin agar saudari-saudari lebih terlibat dalam pekerjaan pembangunan itu sendiri dan agar semua tenaga kerja yang ada dimanfaatkan sepenuhnya.
Seorang kepala suku di Provinsi Timur keheranan ketika melihat seorang saudari membangun tembok sebuah Balai Kerajaan. Ia berseru, ”Sejak lahir, saya belum pernah melihat seorang wanita memasang bata dan mengerjakannya dengan sangat baik! Saya beruntung bisa menyaksikan hal ini.”
”Rumah Sakit Rohani Kami”
Program pembangunan berdampak besar atas masyarakat. Banyak yang awalnya menentang atau bersikap masa bodoh terhadap Saksi-Saksi Yehuwa sekarang berpandangan lebih terbuka. Misalnya, seorang kepala suku di Provinsi Timur yang semula menentang pembangunan Balai Kerajaan di daerahnya mengatakan, ”Tadinya saya menolak proyek Anda bukan atas inisiatif saya, melainkan karena pengaruh para pemimpin agama dari denominasi lain. Sekarang, saya mengerti bahwa Anda ada di sini untuk maksud yang baik. Bangunan indah ini sekarang adalah rumah sakit rohani kami.”
”Kerja keras” utama orang Kristen adalah memberitakan ”kabar baik kerajaan”. (2 Kor. 6:5; Mat. 24:14) Namun, sebagaimana roh kudus menggerakkan umat Allah untuk mengabar, roh kudus pulalah yang mendorong mereka untuk bekerja keras memajukan kepentingan Kerajaan dengan membangun tempat perhimpunan yang layak. Sidang-sidang pun memiliki cita-cita yang lebih jelas. Seorang saudara mengatakan, ”Kami sekarang merasa percaya diri sewaktu berdinas dan mengajak orang ke perhimpunan karena kami tahu mereka akan datang ke Balai Kerajaan yang memuliakan Yehuwa, bukan ke sebuah gubuk.”
Seorang saudara lain mengatakan, ”Kami mungkin tidak layak memiliki Balai Kerajaan yang sebagus ini di padang belantara, tetapi Yehuwa layak mendapatkannya. Saya senang bahwa Yehuwa telah dimuliakan dengan tempat-tempat ibadat yang lebih bagus.”
Pekerjaan Keliling
Pelayan Allah perlu bertekun. (Kol. 1:24, 25) Para pengawas keliling menjadi teladan dalam hal memberi diri untuk memajukan kepentingan Kerajaan. Kerja keras mereka yang pengasih sebagai gembala yang menguatkan sidang-sidang telah membuktikan bahwa mereka adalah ”pemberian [berupa] manusia”.—Ef. 4:8; 1 Tes. 1:3.
Pada akhir 1930-an, pria-pria yang cakap dilatih untuk melayani sebagai hamba zona dan daerah, yang sekarang disebut pengawas wilayah dan distrik. ”Melakukan perjalanan ke sidang-sidang tidaklah mudah,” ingat James Mwango. ”Kami punya sepeda, tetapi saudara-saudara harus mengiringi kami dengan berjalan kaki untuk membantu membawakan koper. Perlu waktu beberapa hari untuk sampai di tempat tujuan. Kami biasanya menggunakan waktu dua minggu untuk setiap sidang.”
”Ia Langsung Pingsan”
Perjalanan di pedesaan pada masa itu, seperti halnya sekarang, sulit. Robinson Shamuluma, yang sekarang berumur 80 tahun lebih, dulu melayani dalam pekerjaan keliling bersama istrinya, Juliana. Robinson ingat suatu kali pada musim hujan terjebak oleh badai hujan yang hebat. Ketika badai mereda, jalan di depan mereka terlihat dengan jelas, tetapi mereka harus melewati lumpur yang tingginya sampai ke sadel sepeda mereka! Sesampai mereka di sidang berikutnya, Juliana begitu lelah sampai-sampai ia tidak punya tenaga bahkan untuk minum air.
Enock Chirwa, yang melayani sebagai pengawas wilayah dan juga pengawas distrik pada 1960-an dan 1970-an, menjelaskan, ”Senin adalah hari tersulit; hari untuk melakukan perjalanan. Namun, ketika kami sampai di sidang-sidang, kami sudah lupa pada perjalanannya. Kami bahagia bisa berkumpul dengan saudara-saudara.”
Hambatannya bukan hanya jarak yang jauh dan medan yang berat. Pada perjalanan mengunjungi sidang di sebuah desa di bagian utara, Lamp Chisenga ditemani oleh dua saudara. Di jalan yang berdebu, mereka melihat seekor binatang di kejauhan. ”Saudara-saudara tidak bisa melihatnya dengan jelas,” kata Saudara Chisenga. ”Binatang itu duduk di jalan seperti seekor anjing. Saya berulang kali bertanya, ’Kamu lihat, tidak?’ Ketika sadar bahwa itu seekor singa, salah seorang saudara menjerit dan ia langsung pingsan. Kami memutuskan untuk menghentikan perjalanan sejenak sampai singa itu menghilang di semak-semak.”
John Jason dan istrinya, Kay, melayani selama 26 tahun di Zambia. Mereka sempat melayani dalam pekerjaan distrik, dan pada waktu itu mereka mengerti perlunya bersabar bila ada masalah dengan mobil mereka. John mengatakan, ”Saya ingat dulu pernah mengendarai mobil dengan per yang patah sejauh lebih dari 150 kilometer, karena kami tidak punya suku cadang dan tidak ada yang bisa dimintai bantuan. Kali lain, mobil kami mogok. Berhubung mesin mobil terlampau panas, kami hanya bisa melakukan satu hal: Menggunakan semua air yang kami miliki untuk mendinginkan mesin dan membuat secangkir teh yang terakhir. Berdua saja, kepanasan, dan kelelahan, kami duduk di mobil dan berdoa memohon pertolongan Yehuwa. Pada pukul tiga sore, lewatlah sebuah kendaraan proyek, ini kendaraan pertama yang lewat hari itu. Melihat bahwa kami dalam kesulitan, para pekerja proyek menawarkan untuk menarik mobil kami. Sebelum larut senja, tibalah kami di tempat saudara-saudara.”
Belajar untuk Percaya
Dalam situasi-situasi seperti itu, para pengawas keliling cepat belajar untuk menaruh kepercayaan mereka, bukan pada kesanggupan pribadi atau hal-hal materi, tetapi pada sumber dukungan yang lebih andal—Allah Yehuwa dan persaudaraan Kristen. (Ibr. 13:5, 6) ”Baru tiga minggu dalam pekerjaan distrik, kami sudah mendapat kesulitan,” ingat Geoffrey Wheeler. ”Kami sampai di lokasi kebaktian beberapa hari sebelum kebaktian dimulai. Saya punya kompor minyak warisan yang sudah agak rusak. Hari itu panas dan anginnya kencang, dan ketika saya menyalakan kompor, terjadilah ledakan dan apinya membubung. Dalam beberapa menit saja api menjadi tidak terkendali. Ban depan mobil Land Rover kami terbakar, dan api dengan cepat melalap seluruh kendaraan.”
Ternyata, masalah mereka bukan hanya itu. Geoffrey mengatakan, ”Pakaian kami tersimpan di koper baja hitam dalam Land Rover. Pakaiannya tidak terbakar, tetapi mengkerut! Saudara-saudara lari ke sisi mobil yang tidak terbakar dan berhasil menyelamatkan kasur, satu kemeja, dan mesin tik. Kami sangat bersyukur karena mereka sigap!” Milik pribadi mereka ikut raib bersama mobil itu, dan mereka sendiri baru akan kembali ke kota dua bulan lagi, jadi apa yang harus mereka lakukan? Geoffrey mengatakan, ”Seorang saudara meminjami saya dasi, dan saya mengenakan sepatu bot karet ketika menyampaikan khotbah umum. Kami tetap melayani, dan saudara-saudara berupaya keras untuk menghibur pengawas distrik mereka yang kurang berpengalaman ini.”
Dipan yang Aman dari Ular
Kasih dan kepedulian sidang-sidang yang ’mengikuti haluan suka menerima tamu’ menguatkan para pengawas keliling dan istri untuk tetap melakukan kegiatan yang penuh pengorbanan. Tak terhitung banyaknya kisah tentang sidang-sidang yang, walaupun kekurangan secara materi, dengan pengasih menyediakan kebutuhan yang sangat dihargai oleh pengawas keliling dan istri.—Rm. 12:13; Ams. 15:17.
Pemondokan untuk para pengawas keliling biasanya sederhana tetapi selalu disediakan dengan pengasih. Fred Kashimoto, yang melayani sebagai pengawas wilayah pada awal 1980-an, masih ingat ketika ia tiba di sebuah desa di Provinsi Utara, Zambia, pada suatu malam. Saudara-saudara menyambut dia dengan hangat. Setelah mereka semua masuk ke sebuah rumah kecil, saudara-saudara menaruh koper-kopernya di atas sebuah meja besar yang kaki-kakinya setinggi kira-kira 1,5 meter. Ketika hari sudah larut, Saudara Kashimoto bertanya, ”Saya tidur di mana?”
Sambil menunjuk ke meja tersebut, saudara-saudara menjawab, ”Di situ.” Rupanya, karena ada banyak ular, saudara-saudara membuat dipan yang lebih aman. Malam itu, Saudara Kashimoto beristirahat di dipan tersebut dengan alas kasur rumput.
Di pedesaan, hadiah sering kali berupa hasil ladang. ”Suatu ketika,” Geoffrey Wheeler bercerita sambil tersenyum geli, ”saudara-saudara memberi kami seekor ayam hidup. Sebelum petang, kami menaruh ayam itu pada sebuah tempat bertengger dekat lubang jamban. Tetapi, ayam bodoh itu melompat dari tempat bertenggernya dan jatuh ke lubang tersebut. Kami berhasil mengeluarkannya dengan cangkul. Lalu, istri saya memandikannya dengan air hangat yang diberi banyak sabun. Kami memasaknya pada akhir pekan, dan rasanya lezat!”
Saudara-saudari Jason juga merasakan kemurahan hati yang serupa. ”Sering kali, kami mendapat ayam hidup dari saudara-saudari,” kata John. ”Kami mempunyai keranjang kecil yang kami gunakan untuk membawa seekor ayam betina selama kami berkeliling di seluruh distrik. Setiap pagi dia bertelur, maka kami tidak menyembelihnya. Tiap kali kami berkemas untuk pindah ke lokasi baru, ayam itu menunjukkan dengan tingkahnya bahwa dia ingin ikut.”
Gambar Hidup
Mulai tahun 1954, film The New World Society in Action (Masyarakat Dunia Baru Beraksi) dan beberapa film lain menjadi sarana kampanye pendidikan yang membangkitkan semangat. ”Film itu menggugah banyak saudara untuk mengerahkan diri, baik dalam pelayanan maupun di sidang,” demikian komentar sebuah laporan dari kantor cabang pada waktu itu. Pada waktu membongkar lokasi kebaktian setelah penayangan film, ada yang menggunakan ungkapan, ”Ayo kita lakukan dengan cara ’The New World Society in Action’”—yang berarti dengan ”penuh semangat”! Pada tahun pertama penayangannya, film ini ditonton oleh 42.000 orang lebih, termasuk para pejabat pemerintah dan kalangan pendidik, yang terkesan oleh film itu. Secara keseluruhan, lebih dari satu juta orang di Zambia terinformasi tentang Saksi-Saksi Yehuwa dan organisasi Kristennya.
Wayne Johnson masih ingat dampak film-film itu. Ia mengatakan, ”Film-film tersebut menarik orang-orang dari tempat yang jauh dan banyak membantu mengajar mereka tentang organisasi Yehuwa. Sering kali, selama penayangan terdengarlah tepuk tangan yang lama dan riuh.”
Untuk beberapa waktu, sebuah film ditayangkan sebagai salah satu acara Sabtu sore pada kebaktian wilayah. Di daerah padang belantara, hal ini adalah pengalaman yang mengasyikkan. Kampanye ini besar dampaknya, meski orang-orang yang belum pernah melihat kehidupan di negeri lain salah mengerti adegan-adegan tertentu. Di salah satu film ada adegan orang berbondong-bondong keluar dari stasiun kereta bawah tanah di New York City. Banyak yang mengira itu adalah adegan kebangkitan! Namun, film-film tersebut menyebabkan orang lebih menghargai Saksi-Saksi Yehuwa. Akan tetapi, zaman berubah, banyak orang Zambia semakin ingin mendapat kemerdekaan nasional. Akibatnya, saudara-saudara kita mulai mengalami tentangan. Sidang-sidang dan para pengawas keliling juga bakal menghadapi situasi yang mengharuskan mereka lebih bertekun.
Campur Tangan Politis
Pada tanggal 24 Oktober 1964, Rhodesia Utara merdeka dari penjajahan Inggris dan menjadi Republik Zambia. Selama masa ini, suhu politik meningkat. Karena Saksi-Saksi Yehuwa netral, mereka dianggap mendukung penjajah.
Lamp Chisenga ingat ketika melakukan perjalanan ke daerah Danau Bangweulu pada masa itu. Ia berencana naik perahu ke pulau di danau itu untuk mengunjungi Saksi-Saksi yang bekerja di sana sebagai nelayan. Pada awal perjalanan ke sana ia naik bus ke tepi danau. Ketika turun dari bus, ia harus menunjukkan kartu partai politiknya. Tentu saja, ia tidak memilikinya. Para kader politik mengambil tasnya. Lalu salah satu dari mereka melihat satu dus yang bertanda ”Menara Pengawal”. Kader itu meniup peluitnya kuat-kuat, lalu berteriak, ”Menara Pengawal! Menara Pengawal!”
Karena khawatir bakal timbul kerusuhan, seorang petugas mendorong Lamp beserta tas-tasnya ke dalam bus lagi. Massa bergerombol dan mulai melempari bus dengan batu, memukuli pintu, ban, dan jendelanya. Sang sopir melarikan busnya tanpa henti ke Samfya, sekitar 90 kilometer dari sana. Situasinya cepat reda sehingga keesokannya Lamp dengan tenang dapat naik perahu untuk melayani sidang-sidang kecil di sekeliling danau.
”Melalui ketekunan menanggung banyak hal”, para pengawas keliling terus merekomendasikan diri sebagai pelayan Allah. (2 Kor. 6:4) Fanwell Chisenga, yang wilayahnya meliputi suatu daerah di sepanjang Sungai Zambezi, menceritakan, ”Untuk melayani sebagai pengawas wilayah, seseorang harus mengabdi sepenuh jiwa dan rela berkorban.” Untuk melayani sidang-sidang, para pengawas keliling sering kali harus menempuh perjalanan panjang dengan kano tua yang sudah bocor di sungai yang ada kuda nilnya. Kalau marah, kuda nil ini bisa dengan mudahnya mencaplok kano seperti mencaplok ranting kering. Apa yang membantu Fanwell untuk bertekun dalam pekerjaan wilayah? Sambil tersenyum melihat foto para anggota sidang yang mengantarnya ke tepi sungai, ia mengakui satu sumber motivasinya—saudara-saudari. Sambil membayangkan mereka, dia bertanya, ”Di dunia yang sedang murka ini, di mana lagi kita bisa menemukan wajah-wajah yang sebahagia ini?”
Kenetralan
”Setiap orang yang menjadi prajurit tidak akan terlibat dalam urusan dunia—agar ia bisa menyenangkan komandan yang merekrutnya,” demikian tulis rasul Paulus. (2 Tim. 2:4, Weymouth) Untuk dapat tetap digunakan sepenuhnya oleh Pemimpin mereka, Yesus Kristus, orang Kristen tidak boleh terlibat dengan sistem politik dan agama dunia ini. Pendirian ini telah menimbulkan tantangan dan ”kesengsaraan” bagi orang Kristen sejati, yang ingin tetap netral dalam urusan duniawi.—Yoh. 15:19.
Selama Perang Dunia II, banyak yang diperlakukan dengan kejam karena kurang ”patriotis”. ”Kami melihat pria-pria lanjut usia dilemparkan begitu saja seperti karung jagung ke atas truk karena menolak untuk dinas militer,” kenang Benson Judge, yang belakangan menjadi seorang pengawas keliling yang bersemangat. ”Kami mendengar pria-pria itu mengatakan, ’Tidzafera za Mulungu’ (Kami akan mati demi Tuhan).”
Walaupun pada waktu itu belum terbaptis, Mukosiku Sinaali ingat betul bahwa soal kenetralan sering muncul selama masa perang. ”Setiap orang diharuskan menggali dan mengumpulkan akar tanaman merambat mambongo, yang menghasilkan bahan lateks yang berharga. Akarnya dikuliti, digepengkan, dan diikat, lalu diproses menjadi pengganti karet yang digunakan untuk sepatu bot tentara. Saksi-Saksi tidak mau memanen akar ini karena pekerjaan itu ada kaitannya dengan perang. Akibatnya, saudara-saudara mendapat hukuman karena tidak mau bekerja sama. Mereka menjadi ’oknum-oknum yang tidak disukai’.”
Joseph Mulemwa adalah salah satu ”oknum yang tidak disukai”. Ia orang asli Rhodesia Selatan dan ia tiba di Provinsi Barat, Rhodesia Utara, pada tahun 1932. Ada yang mengatakan bahwa ia menganjurkan orang-orang untuk berhenti menggarap ladang mereka karena ’Kerajaan sudah dekat’. Seorang pendeta dari misi Mavumbo yang membenci Joseph menyebarkan tuduhan palsu itu. Joseph ditangkap dan tangannya diborgolkan ke tangan seorang pria yang sakit mental dengan maksud agar pria itu menyerang Joseph. Namun, Joseph bisa menenangkan pria yang sakit mental tersebut. Setelah dibebaskan, Joseph terus mengabar dan mengunjungi sidang-sidang. Ia setia hingga akhir hayatnya pada pertengahan 1980-an.
Dikuatkan untuk Menghadapi Cobaan
Semangat nasionalisme dan ketegangan dalam masyarakat mengarah ke intimidasi terhadap orang-orang yang dengan alasan hati nurani tidak mungkin berpartisipasi dalam proses politik. Meskipun kondisi dalam negeri sedang tegang, Kebaktian Nasional ”Pelayan-Pelayan yang Berani” pada tahun 1963 di Kitwe membuktikan bahwa di kalangan Saksi-Saksi Yehuwa terdapat kedamaian dan persatuan. Sebanyak hampir 25.000 delegasi, beberapa di antaranya membawa tenda dan karavan untuk kebaktian lima hari ini, menikmati acara dalam salah satu dari empat bahasa yang bisa mereka pilih. Yang khususnya penting adalah khotbah Milton Henschel yang berfokus pada hubungan seorang Kristen dengan Negara. Frank Lewis mengenang, ”Kami masih ingat dia meminta kami untuk membantu saudara-saudara memahami soal kenetralan. Betapa senangnya kami mendapat nasihat yang tepat waktu itu karena kebanyakan saudara di Zambia menghadapi ujian-ujian berat di kemudian hari dan tetap setia kepada Yehuwa!”
Selama dekade 1960-an, Saksi-Saksi Yehuwa di mana-mana mengalami penganiayaan yang kejam dan properti mereka dirusak. Rumah dan Balai Kerajaan dihancurkan. Yang patut dipuji, pemerintah menanggapi dengan memenjarakan banyak orang yang mengintimidasi Saksi-Saksi. Ketika Rhodesia Utara menjadi Republik Zambia, Saksi-Saksi Yehuwa sangat berminat pada pokok tentang hak asasi manusia dalam undang-undang dasar yang baru. Namun, suatu gelombang patriotisme tidak lama kemudian menerpa sasaran yang tidak menaruh curiga.
Lambang-Lambang Nasional
Pada zaman penjajahan, anak-anak para Saksi Yehuwa mendapat hukuman karena dengan alasan agama mereka tidak salut kepada bendera, yang pada waktu itu adalah bendera Inggris. Mereka juga dihukum karena tidak mau menyanyikan lagu kebangsaan. Setelah Saksi-Saksi mengadu kepada kalangan berwenang, departemen pendidikan melunakkan pandangannya, dengan menulis, ”Pandangan [kelompok] Saudara tentang salut kepada bendera sudah dikenal dan direspek, dan tidak seorang anak pun boleh dihukum karena menolak untuk memberikan salut.” Undang-undang dasar republik yang baru ini mengobarkan harapan bahwa kebebasan mendasar, termasuk kebebasan berhati nurani, berpikir, dan beragama, akan semakin besar. Namun, sewaktu ada bendera dan lagu kebangsaan yang baru, patriotisme berkobar lagi. Upacara salut bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan setiap hari di sekolah dimulai lagi, dan dengan giat. Walaupun beberapa Saksi muda mendapat pengecualian, banyak yang dipukuli dan bahkan dikeluarkan dari sekolah.
Undang-undang pendidikan yang baru, yang dikeluarkan pada tahun 1966, memberikan secercah harapan. Di dalam undang-undang itu ada ketetapan yang memungkinkan orang tua atau wali untuk meminta agar anak mereka dikecualikan dari upacara atau perayaan keagamaan. Hasilnya, banyak anak, yang pernah dikeluarkan dari sekolah, diterima lagi. Namun, tidak lama kemudian, ada beberapa peraturan yang dengan diam-diam ditambahkan pada undang-undang tersebut, yang mendefinisikan bendera dan lagu kebangsaan sebagai lambang sekuler yang memajukan kesadaran berbangsa. Walaupun saudara-saudara berdiskusi dengan kalangan berwenang pemerintah, pada akhir tahun 1966 sudah lebih dari 3.000 anak yang dikeluarkan dari sekolah karena kenetralan mereka.
Feliya Tidak Boleh Bersekolah
Waktunya tiba untuk menguji keabsahan perlakuan tersebut. Maka, dipilihlah sebuah kasus. Feliya Kachasu adalah murid Sekolah Buyantanshi di wilayah Copperbelt. Walaupun ia dikenal sebagai siswi teladan, dia dikeluarkan dari sekolah. Frank Lewis mengingat bagaimana kasus tersebut sampai ke pengadilan, ”Tuan Richmond Smith mewakili kami, dan kasus ini tidaklah mudah karena lawannya adalah pemerintah. Setelah mendengar penjelasan Feliya tentang alasannya dia tidak memberi salut kepada bendera, Tuan Richmond yakin bahwa ia mau menangani kasus tersebut.”
Dailes Musonda, yang juga seorang siswi di Lusaka pada waktu itu, mengatakan, ”Ketika kasus Feliya digelar di pengadilan, kami sangat berharap ada hasil yang baik. Saudara-saudara datang dari Mufulira untuk menghadiri persidangan. Saya dan saudara perempuan saya diundang. Saya ingat Feliya di pengadilan mengenakan topi putih dan gaun warna muda. Persidangan berlangsung tiga hari. Waktu itu masih ada beberapa utusan injil. Saudara Phillips dan Saudara Fergusson datang untuk mendengarkan. Kami pikir kehadiran mereka bisa menolong.”
Sang hakim ketua menyimpulkan, ”Dalam kasus Saksi-Saksi Yehuwa ini, tidak ada petunjuk bahwa mereka berniat untuk melecehkan lagu kebangsaan atau bendera nasional melalui tindakan mereka.” Namun, ia menyatakan bahwa upacara bendera bersifat sekuler dan meskipun Feliya sungguh-sungguh menjalankan keyakinannya, Feliya tidak bisa dikecualikan dari ketentuan undang-undang pendidikan. Sang hakim percaya bahwa upacara diperlukan demi keamanan nasional. Tetapi, tidak pernah ada penjelasan tentang bagaimana pemberlakuan ketentuan seperti itu terhadap anak di bawah umur bermanfaat bagi rakyat. Selama Feliya berpegang pada kepercayaan Kristennya dia tidak boleh bersekolah!
Dailes mengingat, ”Kami sangat kecewa. Namun demikian, kami menyerahkan semuanya ke tangan Yehuwa.” Ketika tekanan terus meningkat, Dailes dan saudara perempuannya keluar dari sekolah pada tahun 1967. Menjelang akhir tahun 1968, hampir 6.000 anak Saksi-Saksi Yehuwa telah dikeluarkan.
Pertemuan Umum Dibatasi
Undang-Undang Ketertiban Umum tahun 1966 mengharuskan semua pertemuan umum diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan. Karena itu, tidaklah praktis untuk menyelenggarakan kebaktian yang terbuka bagi umum. Saudara-saudara memenuhi tuntutan pemerintah dengan menyelenggarakan pertemuan yang besar di kawasan pribadi, sering kali di sekitar Balai Kerajaan, dalam lingkungan yang berpagar rumput. Karena ingin tahu, banyak peminat tertarik untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi, dan hasilnya, hadirin meningkat terus sehingga pada tahun 1967 sekitar 120.025 orang hadir pada Peringatan kematian Kristus.
”Selama masa ini saudara-saudara mendapat serangan-serangan yang sengit,” ingat Lamp Chisenga. ”Di daerah Samfya, Saudara Mabo dari Sidang Katansha dikeroyok dan dibunuh massa. Saudara-saudara adakalanya diserang di perhimpunan, dan banyak Balai Kerajaan dibakar. Namun, kalangan berwenang tetap merespek Saksi-Saksi, dan beberapa penentang ditangkap dan dihukum.”
Punya Angkatan Udara Sendiri!
Para penentang terus melancarkan tuduhan palsu terhadap Saksi-Saksi Yehuwa, dengan mengatakan bahwa Saksi-Saksi sangat kaya dan bahwa mereka akan membentuk pemerintah berikutnya. Suatu hari, sekretaris partai yang berkuasa tiba-tiba, tanpa pemberitahuan di muka, mendatangi kantor cabang di Kitwe. Saudara-saudara baru tahu tentang kunjungannya ketika melihat banyak polisi di depan gerbang. Pada pertemuan dengan wakil-wakil cabang, ia naik pitam. ”Kami memberi kalian izin untuk membangun gedung-gedung ini,” katanya dengan nada tinggi. ”Untuk apa gedung-gedung ini? Apa ini kantor-kantor pemerintah kalian?”
Beberapa pejabat mempercayai desas-desus yang simpang siur itu. Di Provinsi Barat-Laut, Zambia, polisi menggunakan gas air mata dalam upaya untuk membubarkan kebaktian. Saudara-saudara berhasil mengirimkan telegram darurat ke kantor cabang. Seorang petani asing memiliki sebuah pesawat udara kecil, dan ia menerbangkan beberapa wakil tambahan dari kantor cabang ke Kabompo untuk membantu menenangkan keadaan dan menjernihkan kesalahpahaman. Sayangnya, hal ini tidak banyak membantu menepis kecurigaan beberapa orang karena mereka sekarang melaporkan bahwa Saksi-Saksi memiliki angkatan udara sendiri!
Di lokasi kebaktian, saudara-saudara dengan hati-hati mengumpulkan tabung-tabung gas air mata yang sudah kosong. Belakangan, ketika para wakil cabang mengunjungi pejabat pemerintah untuk menyatakan keprihatinan mereka, tabung-tabung tersebut diajukan sebagai bukti penggunaan kekerasan secara tidak perlu. Insiden ini diberitakan di mana-mana, dan reaksi Saksi-Saksi yang suka damai diperhatikan.
Menjelaskan Pendirian Kita
Upaya untuk melarangkan kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa terus berlangsung. Kantor cabang ingin menjelaskan pendirian kita yang netral kepada pemerintah. Smart Phiri dan Jonas Manjoni dipilih untuk menyampaikan presentasi di hadapan banyak menteri. Pada presentasi itu, seorang menteri dengan marah mengatakan, ”Saya ingin menyeret kalian keluar dan memukuli kalian! Sadarkah kalian akan perbuatan kalian? Kalian telah mengambil warga terbaik kami, anak bangsa yang terbaik, dan apa yang tersisa untuk kami? Hanya pembunuh, pezina, dan pencuri!”
Saudara-saudara langsung menyahut, ”Tetapi, beberapa di antara mereka dulu seperti itu! Mereka tadinya pencuri, pezina, pembunuh, tetapi karena kuasa Alkitab, mereka telah membuat perubahan dalam kehidupan dan menjadi warga Zambia yang terbaik. Itulah sebabnya kami meminta Anda untuk membiarkan kami mengabar dengan bebas.”—1 Kor. 6:9-11.
Deportasi dan Pelarangan Sebagian Kegiatan
Seperti telah kita ketahui sebelumnya, para utusan injil diperintahkan untuk meninggalkan negeri ini. ”Kami tidak akan pernah lupa bulan Januari 1968,” kata Frank Lewis. ”Seorang saudara menelepon dan memberi tahu kami bahwa petugas imigrasi baru saja meninggalkan rumahnya. Saudara itu diberi dokumen deportasi dan dalam waktu tujuh hari ia harus menutup usahanya di Zambia dan ke luar. Tidak lama kemudian, kami ditelepon beberapa kali. Akhirnya, seorang saudara menelepon dan mengatakan bahwa ia mendapat kabar sebuah kompleks besar di Kitwe adalah sasaran berikutnya.” Tampaknya, langkah-langkah yang drastis ini dimaksudkan untuk menggoyahkan kesatuan Saksi-Saksi dan menghambat kegiatan mereka yang bersemangat.
Tahun berikutnya, presiden mengesahkan Ketetapan tentang Pemeliharaan Keamanan Umum, yang melarangkan pekerjaan pengabaran dari rumah ke rumah. Karena ada larangan tersebut, saudara-saudara perlu menyesuaikan pola pelayanan, kesaksian tidak resmi lebih ditekankan. Pelayanan Kerajaan Kita diubah menjadi Surat Bulanan Kita, dan rubrik berjudul ”Mempersembahkan Kabar Kesukaan” diganti menjadi ”Pelayanan untuk Kalangan Sendiri”. Hal ini adalah satu cara untuk tidak menarik perhatian badan sensor pemerintah. Puncak sebanyak hampir 48.000 PAR dilaporkan pada bulan April 1971, sehingga jelaslah bahwa upaya untuk membatasi pekerjaan tidak berhasil mengecilkan hati saudara-saudara.
Clive Mountford, yang sekarang tinggal di Inggris, bergaul dengan banyak utusan injil. Ia mengingat, ”Salah satu cara untuk memberikan kesaksian adalah dengan memberi orang tumpangan di mobil kami, lalu kami membahas kebenaran dengan mereka. Kami selalu membawa majalah di dalam mobil, sehingga bisa langsung terlihat oleh orang yang menumpang.”
Walaupun tidak ada larangan untuk mengadakan pembahasan Alkitab, ada batasan bahwa sebelum berkunjung ke rumah seseorang, kami harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu. Kadang-kadang, saudara-saudara berkunjung ke kerabat, bekas teman sekolah, rekan kerja, atau yang lainnya. Ketika mengadakan kunjungan sosial ini, pembicaraan dengan bijaksana dapat diarahkan ke Alkitab. Karena kerabat setiap keluarga banyak, kunjungan dapat dilakukan ke banyak sanak saudara dan anggota masyarakat yang belum seiman.
Pada tahun 1975, kantor cabang melaporkan, ”Beberapa ribu penyiar di daerah kami belum pernah melakukan pengabaran dari rumah ke rumah. Namun, ada banyak murid baru, dan kesaksian telah diberikan secara luas.” Mengingat ada pembatasan untuk kegiatan dari rumah ke rumah, saudara-saudara menggunakan cara lain untuk memberikan kesaksian. Berikut ini adalah contoh yang unik. Seorang saudara bekerja sebagai juru tulis di salah satu departemen pemerintah. Pekerjaannya antara lain mencatat nama dan data diri anggota masyarakat. Ia memberikan perhatian khusus pada orang yang memiliki nama Alkitab, lalu ia menanyakan apa yang orang itu ketahui tentang namanya. Hal ini menciptakan banyak kesempatan untuk memberikan kesaksian. Suatu hari, datanglah seorang ibu dan putrinya. Saudara itu memperhatikan bahwa nama putrinya adalah Eden. Ketika ditanya tentang makna nama ”Eden”, sang ibu mengatakan bahwa dia tidak tahu. Saudara ini menjelaskan dengan singkat bahwa tidak lama lagi bumi akan menjadi seperti Firdaus yang mula-mula di Eden. Karena tertarik dengan keterangan itu, wanita ini memberikan alamat rumahnya. Suaminya juga berminat, keluarga ini mulai menghadiri perhimpunan, dan akhirnya beberapa anggota keluarga mereka dibaptis.
Penyiar-penyiar lain memanfaatkan pekerjaan sekuler mereka untuk memberikan kesaksian. Royd, yang bekerja di sebuah perusahaan pertambangan, menggunakan waktu istirahat makan siang untuk menanyakan pendapat rekan-rekan kerjanya mengenai berbagai ayat. ”Menurut kalian, siapa ’batu’ yang disebutkan di Matius 16:18?” Atau, ”Siapakah ’batu sandungan’ yang disebutkan di Roma 9:32?” Para pekerja tambang sering kali mengerumuninya untuk mendengarkan penjelasan dari Alkitab. Dari pembahasan tidak resmi seperti ini, beberapa rekan kerja Royd membaktikan diri dan dibaptis.
Pendirian teguh anak-anak sekolah juga memberi orang lain kesempatan untuk mendengarkan kebenaran. Ketika sekelompok anak menolak untuk ikut menyanyikan lagu-lagu patriotis, guru mereka marah dan memerintahkan seisi kelas untuk berdiri di luar. Seorang anak dari kelompok itu mengingat, ”Pasti Pak Guru pikir kami tidak bisa menyanyikan satu pun lagu rohani kami. Sepertinya ia melihat ada kesempatan untuk menjadikan kami cemoohan. Ia menyuruh para siswa berkelompok sesuai agama masing-masing. Setiap kelompok harus menyanyikan satu atau dua lagu gereja mereka. Ketika dua kelompok tidak bisa mengingat satu lagu pun, Pak Guru mengalihkan perhatiannya kepada kami. Kami mulai menyanyikan lagu ’Kinilah Hari Yehuwa!’ Tampaknya kami menyanyi dengan cukup baik sehingga orang yang lewat pun berhenti untuk mendengarkan. Lalu kami lanjutkan dengan lagu ’Yehuwa Telah Jadi Raja!’ Semua, termasuk Pak Guru, langsung bertepuk tangan. Kami kembali ke ruang kelas. Banyak teman sekelas bertanya dari mana kami tahu lagu-lagu yang sangat indah itu, dan beberapa di antara mereka ikut ke perhimpunan, lalu belakangan menjadi Saksi yang aktif juga.”
”Para Pengantar Buku”
Selama masa ini saudara-saudara bersikap ’hati-hati seperti ular namun polos seperti merpati’. (Mat. 10:16) Karena Saksi-Saksi Yehuwa memiliki lektur yang khas dan dengan antusias menggunakan alat bantu belajar, mereka mendapat julukan Abaponya Ifitabo yang berarti ”Para Pengantar Buku”. Meski ada upaya yang gigih dari pihak penentang untuk membungkam saudara-saudara, pekerjaan pemberitaan Kerajaan tak terbendung. Walaupun tentangan bengis di sana-sini berlangsung selama bertahun-tahun, pada awal 1980-an tentangan berkurang.
Selama 25 tahun setelah kemerdekaan nasional, hampir 90.000 orang dibaptis. Namun, jumlah penyiar aktif hanya meningkat sebanyak sekitar 42.000 orang. Mengapa? Ya, ada yang meninggal, dan yang lainnya mungkin pindah. ”Akan tetapi, faktor lainnya adalah takut pada manusia,” jelas Neldie, yang melayani di kantor cabang pada masa itu. Banyak yang menjadi tidak tetap tentu atau tidak aktif dalam pelayanan. Selain itu, kemerdekaan membawa perubahan. Posisi manajer dan pengelola, yang semula hanya dipegang para pekerja asing, kini terbuka bagi pekerja lokal. Dengan kesempatan baru untuk memiliki rumah, pekerjaan, dan pendidikan, banyak keluarga mengalihkan fokus mereka dari pengejaran rohani ke materi.
Namun demikian, pekerjaan Kerajaan maju terus. Raja Salomo yang bijak menulis, ”Pada pagi hari taburkanlah benihmu dan sampai malam hari jangan biarkan tanganmu beristirahat; sebab engkau tidak tahu di mana ini akan berhasil, di sini atau di sana, atau apakah kedua-duanya akan sama baik.” (Pkh. 11:6) Saudara-saudara berupaya menabur benih kebenaran yang kemudian bertumbuh subur seraya kondisi semakin menguntungkan. Karena terus ada pertambahan, pada tahun 1976 sebuah truk baru dibeli untuk mengirim lebih banyak lektur. Pada tahun 1982, dimulailah pembangunan fasilitas percetakan yang baru di lokasi yang jaraknya beberapa kilometer dari Betel. Perkembangan yang nyata seperti itu membubuh dasar untuk pertumbuhan di masa mendatang.
Hanya sedikit negeri di Afrika bagian tengah yang situasinya seperti Zambia, damai dan bebas dari perang saudara. Meskipun kondisinya sekarang sangat menguntungkan untuk ”menyatakan kabar baik tentang hal-hal yang baik”, kenangan mengenai ”kesengsaraan” dapat menggugah orang-orang yang setia untuk terus sibuk ”mengumpulkan buah untuk kehidupan abadi”.—Rm. 10:15; 2 Kor. 6:4; Yoh. 4:36.
Perluasan Kantor Cabang
Pada tahun 1930-an, Llewelyn Phillips dan rekan-rekannya melaksanakan tugas mereka di sebuah bangunan dengan dua kamar yang mereka kontrak di Lusaka. Tidak banyak yang membayangkan bakal memiliki kompleks Betel yang sekarang seluas 110 hektar, yang bisa menampung lebih dari 250 sukarelawan. Saudara-saudari ini melayani kebutuhan rohani lebih dari 125.000 penyiar dan perintis. Mari kita tinjau dengan singkat sejarah pertumbuhan ini.
Seperti yang kita baca sebelumnya, sikap kalangan berwenang pada tahun 1936 telah cukup melunak sehingga depot lektur bisa dibuka di Lusaka. Karena ada pertambahan, kegiatan harus dipindahkan ke bangunan yang lebih besar. Dibelilah tanah dan rumah di dekat kantor polisi pusat. ”Rumah itu memiliki dua kamar tidur,” ingat Jonas Manjoni. ”Ruang makan digunakan untuk Departemen Dinas, dan berandanya untuk Departemen Pengiriman.” Pada tahun 1951, Jonas mengambil cuti dua minggu dari pekerjaan sekulernya untuk melayani di Betel, dan belakangan ia masuk Betel. ”Betel terorganisasi dengan baik, dan suasananya ceria,” katanya. ”Saya melayani di Departemen Pengiriman bersama Saudara Phillips, mengurus langganan dan menempelkan perangko pada gulungan-gulungan majalah. Kami bahagia karena tahu bahwa kami melayani saudara-saudara.” Llewelyn Phillips kemudian ditemani oleh Harry Arnott, dan mereka bekerja bersisi-sisian dengan saudara-saudara setempat, seperti Job Sichela, Andrew John Mulabaka, John Mutale, Potipher Kachepa, dan Morton Chisulo.
Industri pertambangan di Zambia berkembang, prasarana maju pesat, dan banyak orang berdatangan dari seluruh penjuru negeri ke daerah pertambangan, maka perhatian semakin teralihkan dari Lusaka ke wilayah Copperbelt. Ian Fergusson mengusulkan pembelian properti di sebuah kota pertambangan, dan pada tahun 1954 kantor cabang pindah ke Jalan King George, Luanshya. Namun, tidak lama kemudian, kompleks ini pun terlalu sempit untuk melayani ladang yang semakin luas, yang mencakup sampai sebagian besar Afrika Timur. Selama kunjungannya pada Kebaktian Distrik ”Sadarlah Hai Para Rohaniwan” tahun 1959, Nathan Knorr, dari kantor pusat sedunia, melihat beberapa lokasi alternatif untuk kantor cabang dan menyetujui pembangunan. Geoffrey Wheeler mengingat, ”Frank Lewis, Eugene Kinaschuk, dan saya pergi bersama seorang arsitek ke lokasi yang baru di Kitwe untuk memasang patok-patok rumah Betel yang baru.” Pada tanggal 3 Februari 1962, sebuah kantor cabang baru yang dilengkapi tempat tinggal, ruang percetakan, dan Balai Kerajaan dibaktikan kepada Yehuwa. Pada khotbah penutup acara penahbisan fasilitas ini, Harry Arnott, hamba cabang pada waktu itu, mengarahkan perhatian ke bangunan rohani yang lebih penting, yang harus dibangun dengan bekerja keras menggunakan bahan-bahan bangunan berupa iman, harapan, dan kasih.
Fasilitas ini tidak lama kemudian menjadi sempit karena ada peningkatan jumlah penyiar Kerajaan dari 30.129 orang menjadi hampir 57.000 orang sepuluh tahun berikutnya. ”Saudara Knorr menganjurkan kami untuk memperluas fasilitas percetakan,” ingat Ian Fergusson. ”Saya mengunjungi kantor cabang di Elandsfontein, Afrika Selatan, untuk berkonsultasi dengan saudara-saudara. Tidak lama kemudian, sebuah mesin cetak diterbangkan dari sana ke Kitwe.”
Selain lektur dan majalah, Pelayanan Kerajaan Kita diproduksi di Kitwe untuk didistribusikan di Kenya dan wilayah Afrika Timur lainnya. Segera, fasilitas percetakan yang kecil itu menjadi terlalu sempit dan perlu dipindahkan. Ketika dewan kota tidak mengizinkan digunakannya sebuah lokasi yang sudah tersedia, seorang saudara menawarkan lahannya. Bangunannya rampung pada tahun 1984. Selama tiga dekade, Kitwe menjadi pusat rohani kegiatan pengabaran di Zambia.
Selama tahun-tahun yang sulit setelah para utusan injil dideportasi, jumlah pekerja di kantor cabang meningkat sehingga 14 anggota keluarga Betel harus tinggal di rumah keluarga mereka di luar Betel. Penyesuaian-penyesuaian diperlukan untuk mengurus pekerjaan yang masih terbentang. Belakangan, dua rumah dibeli dan satu lagi disewa, sehingga jumlah anggota keluarga Betel bisa ditambah. Namun, jelaslah, fasilitas-fasilitas baru dibutuhkan. Untunglah, keadaan segera membaik dengan drastis. Pada tahun 1986, saudara-saudara di beberapa kota penting ditugasi mencari tanah untuk kantor cabang yang baru. Selanjutnya, dipilihlah lahan pertanian seluas 110 hektar kira-kira 15 kilometer di sebelah barat ibu kota. Ternyata, ini pilihan yang tepat karena daerah ini cadangan air tanahnya banyak. Dayrell Sharp berkomentar, ”Saya rasa Yehuwa menuntun kita ke tempat yang indah ini.”
Penahbisan dan Pertumbuhan
Pada hari Sabtu tanggal 24 April 1993, ratusan hamba Yehuwa kawakan berkumpul untuk acara penahbisan fasilitas yang baru. Di tengah-tengah 4.000 saudara-saudari setempat, ada lebih dari 160 tamu mancanegara, termasuk para utusan Injil yang sekitar 20 tahun sebelumnya diharuskan meninggalkan negeri ini. Theodore Jaracz, salah satu dari dua anggota Badan Pimpinan yang hadir, berbicara mengenai tema ”Merekomendasikan Diri sebagai Pelayan Allah”. Ia mengingatkan saudara-saudara yang telah bertahun-tahun melayani dengan setia bahwa seandainya mereka tidak bertekun, tempat ini tidak perlu dibangun. Sewaktu merujuk ke kata-kata Paulus kepada jemaat di Korintus, Saudara Jaracz menekankan bahwa rohaniwan yang sejati memupuk buah-buah roh, yang memungkinkan seseorang untuk bertahan menghadapi kesulitan, pencobaan, dan kesengsaraan. ”Saudara-Saudara telah merekomendasikan diri sebagai pelayan Allah,” tandasnya. ”Kita harus membangun kantor cabang yang baru ini karena bertambahnya kegiatan.”
Pada tahun 2004, sebuah bangunan tempat tinggal baru dengan empat lantai dan 32 kamar dirampungkan. Dan, ruangan percetakan seluas hampir 1.000 meter persegi dimodifikasi untuk 47 ruang kantor departemen penerjemahan dengan ruang tambahan untuk tempat penyimpanan arsip, ruang rapat, dan perpustakaan.
Meski ada kesulitan ekonomi dan kesulitan lain, Saksi-Saksi Yehuwa di Zambia telah diperkaya dalam dinas mereka kepada Allah, dan mereka merasa bahwa membagikan kekayaan rohani kepada orang lain adalah hak istimewa.—2 Kor. 6:10.
Merekomendasikan Kebenaran kepada Semua Orang
Selama ini, ikatan keluarga masyarakat Zambia yang kuat memungkinkan banyak orang dibesarkan dalam jalan kebenaran. Sebuah peribahasa tradisional dari Provinsi Barat, Zambia, berbunyi, ”Lembu tidak merasa tanduknya terlalu berat.” Dengan kata lain, kewajiban memelihara keluarga hendaknya tidak dianggap sebagai beban. Orang tua Kristen menyadari bahwa mereka bertanggung jawab di hadapan Allah dan mereka memberikan pengaruh yang positif kepada anak-anak mereka, merekomendasikan pelayanan Kristen melalui kata-kata dan tindakan. Dewasa ini, banyak Saksi yang bersemangat adalah anak cucu orang-orang yang loyal itu.—Mz. 128:1-4.
Saksi-Saksi Yehuwa di Zambia bersukacita akan hasil yang dicapai dengan kesabaran dan dukungan dari Yehuwa. (2 Ptr. 3:14, 15) Pada masa-masa awal, kepercayaan ”yang benar” berdasarkan Alkitab membantu mereka melewati masa ketidakpastian. ”Kasih yang bebas dari kemunafikan” yang aktif selalu mengikat orang-orang dari beragam suku dan secara mantap menghasilkan pertumbuhan rohani tanpa penderitaan yang tidak perlu. Dengan menggunakan ”senjata-senjata keadilbenaran” untuk membela iman dan memberikan informasi dengan ”kebaikan hati”, mereka telah membuka pikiran banyak orang, termasuk kalangan berwenang, dan sering kali hal ini menghasilkan ”laporan baik”. Sekarang, lebih dari 2.100 sidang dimantapkan melalui ”pengetahuan” seraya para lulusan yang cakap dari Sekolah Pelatihan Pelayanan memberikan sumbangsih mereka sebagai pengawas. Meskipun ”kesengsaraan” yang lebih besar bisa saja terjadi, Saksi-Saksi Yehuwa dapat yakin bahwa mereka akan ”senantiasa bersukacita” seraya berkumpul bersama.—2 Kor. 6:4-10.
Selama tahun dinas 1940, sekitar 5.000 orang mengindahkan perintah Yesus untuk memperingati kematiannya. Kira-kira 1 di antara 200 penduduk Zambia hadir. Tahun-tahun belakangan ini, lebih dari setengah juta orang—tepatnya 569.891 orang pada tahun 2005—kurang lebih 1 dari setiap 20 penduduk menghormati Yehuwa pada malam istimewa itu. (Luk. 22:19) Mengapa umat Yehuwa bisa mencapai keberhasilan itu? Semuanya berkat Allah Yehuwa, Pribadi yang menghasilkan pertumbuhan rohani.—1 Kor. 3:7.
Namun, Saksi-Saksi Yehuwa di Zambia telah melakukan bagian mereka. ”Kami tidak malu membicarakan kabar baik; kami menganggapnya sebagai hak istimewa,” demikian komentar seorang anggota Panitia Cabang. Para pengunjung bisa melihat dengan jelas bahwa Saksi-Saksi Yehuwa di sana melaksanakan pelayanan mereka dengan gigih dan dengan penuh respek. Tidaklah mengherankan jika rasio mereka sekitar 1 penyiar berbanding 90 penduduk! Akan tetapi, masih banyak hal yang harus dikerjakan.
”Nama Yehuwa adalah menara yang kuat. Ke sanalah orang adil-benar berlari dan diberi perlindungan.” (Ams. 18:10) Orang-orang yang memiliki kecenderungan yang benar sangat perlu lari ke sisi Yehuwa sekarang. Hampir sebanyak 200.000 pelajaran Alkitab yang diadakan setiap bulan di Zambia akan membantu lebih banyak orang untuk membaktikan diri kepada Yehuwa dan menjadi pelayan-Nya yang bersemangat. Lebih dari 125.000 Saksi yang aktif di Zambia mempunyai banyak alasan untuk merekomendasikan haluan itu.
[Kotak di hlm. 168]
Sekilas tentang Zambia
Negeri: Datar, sama sekali tidak berpantai, kaya pepohonan, terletak di dataran tinggi, sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Sungai Zambezi menjadi bagian terbesar batas selatan negeri ini.
Penduduk: Kebanyakan orang Zambia melek huruf dan menganut agama Nasrani. Di pedesaan, penduduk tinggal di rumah beratap ilalang dan bercocok tanam di sekitar rumah.
Bahasa: Bahasa Inggris adalah bahasa resmi, walaupun ada lebih dari 70 bahasa daerah yang digunakan di sini.
Mata pencaharian: Industri utama Zambia antara lain ialah penambangan dan pemrosesan tembaga. Hasil pertanian mereka antara lain jagung, sorgum, beras, dan kacang tanah.
Makanan: Jagung adalah makanan kesukaan mereka. Salah satu menu favorit mereka adalah nshima, bubur jagung kental.
Iklim: Karena terletak di dataran tinggi, iklim negeri ini lebih sejuk daripada daerah Afrika bagian tengah-selatan pada umumnya. Sering terjadi bencana kekeringan.
[Kotak/Gambar di hlm. 173-175]
Saya Dihukum 17 Bulan dan 24 Cambukan
Kosamu Mwanza
Lahir: 1886
Baptis: 1918
Profil: Bertahan menghadapi penganiayaan dan saudara-saudara palsu. Dengan setia melayani sebagai perintis dan penatua hingga akhir hidupnya di bumi pada tahun 1989.
Saya anggota angkatan bersenjata dan bertugas sebagai mantri kesehatan di Resimen Rhodesia Utara selama awal perang dunia pertama. Pada bulan Desember 1917, ketika sedang cuti, saya bertemu dengan dua pria dari Rhodesia Selatan yang bergabung dengan Siswa-Siswa Alkitab. Mereka memberi saya enam jilid Studies in the Scriptures. Selama tiga hari saya melahap informasi dalam buku-buku tersebut. Dan, saya tidak kembali ke medan tempur.
Korespondensi dengan kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa sulit, dan saya serta saudara-saudara di sekitar saya bekerja tanpa pengarahan. Kami berkeliling dari desa ke desa, mengumpulkan orang, memberikan khotbah, lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan para pendengar. Belakangan, kami memilih sebuah lokasi pertemuan yang disebut Galilea, di bagian utara. Di sana, kami mengundang para peminat untuk datang dan mendengarkan penjelasan-penjelasan Alkitab. Saya dilantik untuk mengawasi kegiatan di sana. Sayang sekali, banyak saudara palsu menimbulkan dan menyebarkan kekacauan.
Kami bersemangat untuk mengabar, tetapi upaya-upaya kami membuat ladang para misionaris Katolik dan Protestan di sana terganggu. Kami terus menyelenggarakan perhimpunan-perhimpunan besar, dan saya ingat pada bulan Januari 1919 sekitar 600 orang berkumpul di perbukitan di dekat Isoka. Karena meragukan niat kami, polisi dan tentara datang, merusak Alkitab dan buku-buku kami, lalu menangkap sebagian besar di antara kami. Ada yang dipenjarakan dekat Kasama, yang lain-lain di Mbala, dan ada pula yang jauh di selatan, di Livingstone. Ada yang dihukum sampai tiga tahun penjara. Saya dihukum 17 bulan penjara dan 24 cambukan di pantat.
Setelah dibebaskan, saya kembali ke desa asal saya dan meneruskan pekerjaan pengabaran. Belakangan, saya ditangkap lagi dan dipenjarakan setelah mendapat lebih banyak cambukan. Tentangan berlanjut. Kepala desa memutuskan untuk mengusir saudara-saudara. Kami semua pindah ke desa lain, di situ kepala desanya menyambut kami. Kami menetap di sana, dan atas izinnya, kami membangun perkampungan sendiri yang kami sebut Nazaret. Kami diperbolehkan tinggal di desa itu asalkan kegiatan kami tidak mengganggu ketenteraman. Sang kepala desa senang dengan perilaku kami.
Menjelang akhir tahun 1924, saya kembali ke utara, ke Isoka. Di sana, seorang kepala distrik yang bersimpati membantu saya memahami bahasa Inggris dengan lebih baik. Pada masa itu muncullah orang-orang yang mengangkat diri sebagai pemimpin agama, lalu mengajarkan hal-hal yang menyimpang dan yang menyesatkan banyak orang. Akan tetapi, kami terus berhimpun secara sembunyi-sembunyi di rumah-rumah pribadi. Beberapa tahun kemudian, saya mendapat undangan ke Lusaka untuk bertemu dengan Llewelyn Phillips, yang menugasi saya untuk mengunjungi sidang-sidang di sepanjang perbatasan antara Zambia dan Tanzania. Saya berkeliling sampai sejauh Mbeya di Tanzania, menguatkan saudara-saudara. Setelah setiap putaran, saya kembali ke sidang saya. Saya melakukan hal ini sampai tahun 1940-an, ketika penyelenggaraan pengawas wilayah dimulai.
[Kotak/Gambar di hlm. 184-186]
Membantu Tetangga di Utara
Pada tahun 1948, kantor cabang Rhodesia Utara yang baru dibentuk mengawasi pekerjaan pemberitaan Kerajaan di sebagian besar wilayah yang waktu itu disebut Afrika Timur Inggris. Kala itu, hanya ada sedikit penyiar di daerah pegunungan di negeri-negeri sebelah utara Zambia. Karena kalangan berwenang pada masa itu menolak masuknya para utusan injil asing, siapa yang akan membantu orang-orang yang rendah hati untuk belajar kebenaran?
Sewaktu Happy Chisenga menawarkan diri untuk melayani sebagai perintis biasa di Provinsi Tengah, Zambia, ia terkejut saat mendapat undangan untuk melayani di daerah terpencil di dekat Njombe, Tanzania. ”Ketika saya dan istri saya membaca kata ’terpencil’, kami mengira akan bekerja sama dengan penyiar-penyiar di suatu daerah terpencil. Ternyata, kamilah orang pertama yang mengabar di daerah itu. Sewaktu kami menunjukkan nama Yehuwa dan ungkapan-ungkapan seperti Armagedon dalam Alkitab mereka, orang-orang di sana mau memperhatikan. Maka, mereka menjuluki istri saya Armagedon, dan saya, Yehuwa. Sebuah kelompok penyiar yang mapan sudah terbentuk di sini sewaktu kami belakangan dipindahkan ke Arusha.”
Pada tahun 1957, William Lamp Chisenga ditugasi sebagai perintis istimewa di pegunungan sekitar Mbeya, Tanzania. ”Saya dan istri saya, Mary, serta dua putra kami tiba pada bulan November, dan semalaman kami menunggu di terminal bus karena semua hotel penuh. Meski malam itu dingin dan hujan, kami menanti bagaimana Yehuwa mengatur segala sesuatunya. Keesokan paginya, saya meninggalkan keluarga di terminal untuk mencari pemondokan. Saya tidak mempunyai tujuan pasti, tetapi saya membawa beberapa eksemplar Menara Pengawal. Ketika sampai di kantor pos, saya sudah menyiarkan beberapa majalah dan di sana saya bertemu dengan seorang pria bernama Johnson. ’Anda dari mana dan hendak ke mana?’ tanyanya. Saya memberitahunya bahwa saya datang untuk memberitakan kabar baik. Setelah mendengar bahwa saya seorang Saksi Yehuwa, ia mengatakan bahwa ia sebenarnya berasal dari Lundazi di Provinsi Timur, Zambia, dan bahwa ia adalah seorang Saksi terbaptis tetapi tidak aktif lagi. Lalu, kami bersepakat memboyong keluarga saya dan barang-barang kami ke rumahnya. Belakangan, kekuatan rohani Johnson dan istrinya pulih dan mereka membantu kami belajar bahasa Swahili. Akhirnya, ia kembali ke Zambia dan menjadi seorang pemberita kabar baik yang aktif. Pengalaman ini mengajar saya untuk tidak pernah menyangsikan kesanggupan Yehuwa untuk membantu kita dan jangan pernah meremehkan kesempatan untuk membantu orang lain.”
Karena melayani sepenuh waktu, Bernard Musinga, istrinya, Pauline, dan anak-anak mereka yang masih kecil bisa mengunjungi berbagai daerah seperti Uganda, Kenya, dan Etiopia. Mengenai kunjungannya ke Kepulauan Seychelles, Bernard menceritakan, ”Pada tahun 1976, saya ditugasi mengunjungi sebuah kelompok di Pulau Praslin yang indah. Penduduknya adalah pemeluk agama Katolik yang taat sehingga muncullah beberapa kesalahpahaman. Misalnya, putra seorang penyiar baru tidak mau menggunakan tanda tambah (+) dalam pelajaran matematika dengan alasan, ’Itu kan tanda salib, dan saya tidak percaya salib.’ Karena itu, para pemimpin agama melontarkan tuduhan yang aneh, ’Saksi-Saksi Yehuwa tidak membolehkan anak-anak mereka belajar matematika.’ Ketika menghadap ke menteri pendidikan, kami dengan hormat menjelaskan kepercayaan kami dan meluruskan kesalahpahaman itu. Hubungan baik yang kami bina dengan menteri itu membuka jalan untuk masuknya para utusan injil.”
[Gambar]
Happy Mwaba Chisenga
[Gambar]
William Lamp Chisenga
[Gambar]
Bernard dan Pauline Musinga
[Kotak/Gambar di hlm. 191, 192]
”Kamu Menyia-nyiakan Masa Depanmu!”
Mukosiku Sinaali
Lahir: 1928
Baptis: 1951
Profil: Lulusan Gilead dan mantan penerjemah, ia sekarang melayani sebagai penatua sidang.
Pada hari saya dibaptis, utusan injil bernama Harry Arnott berbicara kepada saya. Dia mengatakan bahwa penerjemah bahasa Silozi dibutuhkan. ”Bisakah Saudara membantu?” tanyanya. Tidak lama kemudian, saya mendapat surat tugas dan sebuah majalah Menara Pengawal. Dengan bersemangat saya mulai bekerja sore itu. Pekerjaan itu sulit karena saya harus berjam-jam menulis dengan sebuah pena tua. Belum ada kamus bahasa Silozi. Siang hari saya bekerja di kantor pos dan malam hari saya menerjemah. Kadang-kadang, saya mendapat pengingat dari kantor cabang, ”Tolong segera kirimkan terjemahan.” Saya sering berpikir, ’Mengapa saya tidak berdinas sepenuh waktu saja?’ Belakangan, saya mengundurkan diri dari kantor pos. Meski saya dipercaya oleh atasan, pengunduran diri saya menimbulkan kecurigaan. Apakah saya menggelapkan uang? Kantor pos mengutus dua inspektur berkebangsaan Eropa untuk memeriksa saya dengan saksama, dan ternyata saya tidak punya masalah. Mereka tidak habis pikir mengapa saya mengundurkan diri. Atasan saya menawarkan promosi jabatan supaya saya tidak keluar, dan ketika saya menolak, mereka memperingatkan, ”Kamu menyia-nyiakan masa depanmu!”
Namun, tidak demikian halnya. Pada tahun 1960, saya diundang ke Betel. Tidak lama kemudian, saya diundang untuk mengikuti Sekolah Gilead. Saya merasa gugup ketika untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang—ke Paris, lalu Amsterdam, dan akhirnya New York. Saya ingat waktu itu terpikir, ’Beginikah rasanya jika kaum terurap pergi ke surga?’ Sambutan pengasih yang saya terima di kantor pusat sangat menyentuh saya—saudara-saudara begitu rendah hati dan sama sekali tidak berprasangka. Saya ditugasi untuk kembali ke Zambia, dan terus membantu penerjemahan di sini.
[Kotak/Gambar di hlm. 194]
Lebih Cepat daripada Elang
Katuku Nkobongo menderita cacat fisik; ia tidak dapat berjalan. Pada suatu hari Minggu selama pekan kunjungan pengawas wilayah, tersiar kabar bahwa pasukan pemberontak bergerak ke desanya. Semua orang melarikan diri. Salah seorang yang terakhir meninggalkan desa itu ialah sang pengawas wilayah, Mianga Mabosho. Ketika ia hendak menaiki sepedanya ke tempat yang aman, ia mendengar suara dari sebuah gubuk di dekatnya, ”Saudaraku, apakah engkau akan meninggalkan aku di sini?” Itu suara Katuku. Sang pengawas wilayah cepat-cepat membantu menaikkannya ke sepeda dan meninggalkan desa itu.
Dalam perjalanan ke arah selatan, ke Zambia, mereka melewati daerah yang sulit. Saudara Nkobongo harus merangkak di bukit-bukit yang terjal. Pengawas wilayah itu ingat, ”Meski saya mendaki dengan kedua kaki saya, dialah yang lebih dulu tiba di puncak bukit! Saya mengatakan, ’Pria ini lumpuh, tetapi seakan-akan bersayap!’ Ketika kami akhirnya tiba di tempat yang lebih aman dan diberi makan, saya memintanya untuk berdoa. Luapan isi hatinya membuat mata saya berkaca-kaca. Merujuk ke Yesaya pasal 40, ia berdoa, ’Firmanmu benar, Yehuwa. Anak-anak lelaki menjadi lelah, juga letih, dan pria-pria muda pun tersandung, tetapi orang yang berharap kepadamu akan mendapat kekuatan lagi. Seperti burung elang, mereka akan naik dengan sayapnya. Mereka akan berlari dan tidak menjadi letih; mereka akan berjalan dan tidak menjadi lelah.’ Ia menambahkan, ’Terima kasih, Yehuwa, karena membuat saya bergerak lebih cepat daripada elang di langit.’”
[Kotak/Gambar di hlm. 204, 205]
Celana Pendek dan Sepatu Kets Baru
Philemon Kasipoh
Lahir: 1948
Baptis: 1966
Profil: Melayani sebagai pengawas keliling dan instruktur serta koordinator SPP di Zambia.
Kakek melatih saya dalam pelayanan. Sering kali, ia mengajak saya ke teman-teman sekolah saya dan meminta saya memberikan kesaksian kepada mereka. Kakek memimpin pelajaran keluarga dengan teratur, dan tidak ada yang boleh mengantuk! Saya selalu menantikan acara seperti itu.
Saya dibaptis di sungai dekat rumah kami. Sebulan kemudian, saya menyampaikan khotbah latihan saya yang pertama di sidang. Saya ingat waktu itu saya memakai celana pendek dril dan sepatu kets cokelat yang baru. Malangnya, saya mengikat tali sepatu terlalu ketat sehingga rasanya tidak nyaman. Sang hamba sidang mengetahui hal ini. Dengan baik hati, ia maju ke panggung dan mengendurkan tali-tali tersebut sementara saya tetap berdiri. Khotbah saya sukses, dan saya belajar sesuatu dari tindakan kebaikan itu. Saya merasakan bahwa Yehuwa memberi saya banyak pelatihan.
Saya menyaksikan sendiri penggenapan Yesaya 60:22. Karena jumlah sidang meningkat, perlu lebih banyak penatua dan hamba pelayanan yang dibekali untuk mengemban tanggung jawab. Kebutuhan ini dipenuhi oleh SPP. Sungguh menyenangkan bisa mengajar pemuda-pemuda ini. Saya belajar bahwa jika Yehuwa menugasi kita, Ia pasti akan memberikan roh kudus-Nya.
[Kotak/Gambar di hlm. 207-209]
”Ah, Itu Belum Apa-Apa”
Edward dan Linda Finch
Lahir: 1951
Baptis: 1969 dan 1966
Profil: Lulusan Gilead kelas ke-69. Edward melayani sebagai koordinator Panitia Cabang Zambia.
Pada satu masa kebaktian, kami berkendaraan melintasi bagian utara negeri ini. Hanya ada beberapa jalan, itu pun jalan setapak. Beberapa kilometer di luar sebuah desa, kami melihat serombongan orang berjalan ke arah kami. Satu di antara mereka adalah seorang pria lanjut usia yang sangat bungkuk dan berjalan dengan tongkat. Sepatu bot dan tas kecil berisi barang-barangnya digantungkannya pada punggung. Ketika sudah lebih dekat, kami melihat bahwa dia dan orang-orang lain memakai tanda pengenal kebaktian. Kami berhenti untuk bertanya dari manakah mereka. Saudara yang lanjut usia itu sedikit menegakkan diri dan berkata, ”Kalian sudah lupa, ya. Kita kan sama-sama menghadiri kebaktian di Chansa. Kami sekarang sudah hampir tiba di rumah.”
”Kapan kalian berangkat dari tempat kebaktian?” tanya kami.
”Setelah acara selesai hari Minggu.”
”Tetapi, sekarang sudah Rabu sore. Apa kalian berjalan tiga hari?”
”Ya, dan tadi malam kami mendengar auman singa.”
”Semangat dan pengorbanan kalian semua untuk menghadiri kebaktian benar-benar hebat.”
Saudara yang lanjut usia itu mengambil barang-barangnya lalu mulai berjalan. ”Ah, itu belum apa-apa,” katanya. ”Pergilah ke kantor cabang dan berterima kasihlah untuk lokasi kebaktian yang baru. Tahun lalu kami berjalan lima hari, tetapi tahun ini, hanya tiga hari.”
Masih jelas dalam ingatan banyak orang bahwa pada tahun 1992 terjadi bencana kekeringan di Zambia. Kami menghadiri kebaktian di tepi Sungai Zambezi, sekitar 200 kilometer dari Air Terjun Victoria ke arah hulu. Pada sore hari, kami mengunjungi keluarga-keluarga, kebanyakan di antara mereka bergerombol di sekitar api unggun di depan pondok kecil mereka. Satu kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang sedang menyanyikan lagu-lagu Kerajaan. Ternyata mereka telah berjalan delapan hari untuk sampai di tempat kebaktian. Mereka tidak merasa melakukan sesuatu yang istimewa. Mereka mengangkut anak-anak kecil, makanan, peralatan memasak, dan kebutuhan lain dengan binatang beban dan tidur di mana pun bila hari sudah malam.
Keesokannya, ada pengumuman bahwa bencana kekeringan telah menyebabkan banyak saudara menderita dan mereka sekarang sedang dibantu. Sore itu, tiga saudara mendatangi pondok kami. Ketiganya tidak bersepatu, dan baju mereka sudah usang. Kami pikir mereka akan memberi tahu kami tentang penderitaan mereka akibat kekeringan. Tetapi, mereka malah memberi tahu kami betapa prihatinnya mereka atas penderitaan beberapa saudara. Salah satu di antara mereka mengeluarkan sebuah amplop tebal yang penuh uang dari saku jaketnya dan mengatakan, ”Tolong jangan biarkan mereka kelaparan. Tolong belikan mereka makanan.” Kami begitu terharu sampai-sampai kami tidak bisa berbicara, dan sebelum kami sempat mengucapkan terima kasih, mereka lenyap dari pandangan. Sebelum kebaktian, mereka tidak tahu tentang kebutuhan akan bantuan itu, jadi sumbangan itu pastilah pengorbanan yang besar di pihak mereka. Pengalaman-pengalaman ini membuat kami semakin mengasihi saudara-saudara.
[Gambar]
Meski ada kesukaran, banyak saudara melakukan perjalanan jauh untuk menghadiri kebaktian
Atas: Memasak di lokasi kebaktian
Kiri: Memanggang di alam terbuka
[Kotak/Gambar di hlm. 211-213]
Bertekad untuk Mengadakan Kebaktian
Aaron Mapulanga
Lahir: 1938
Baptis: 1955
Profil: Mantan sukarelawan Betel, penerjemah, dan anggota Panitia Cabang. Sekarang berkeluarga dan melayani sebagai penatua sidang.
Kala itu tahun 1974, dan kami menyelenggarakan kebaktian di lokasi yang letaknya 10 kilometer di sebelah timur Kasama. Walau kami sudah mendapat izin dari kepala suku setempat, polisi berkeras untuk membubarkan kami. Dalam waktu singkat, sang komandan yang berperawakan besar tiba bersama sekitar seratus petugas paramiliter, dan mengepung perkemahan kami. Acara tetap berjalan sementara di kantor panitia yang terbuat dari rumput terjadi diskusi yang seru tentang perizinan dan tentang dikumandangkan atau tidaknya lagu kebangsaan.
Ketika tiba waktunya bagi saya untuk berkhotbah, sang komandan mengikuti saya ke panggung, berupaya menghalangi saya menyampaikan khotbah utama. Hadirin bertanya-tanya apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia berdiri sebentar sambil menatap sekitar 12.000 hadirin, lalu bergegas pergi. Selesai menyampaikan khotbah, saya mendapatinya di belakang panggung, ia sangat kesal. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk membubarkan pertemuan, tetapi terjadilah perselisihan di antara petugas-petugas senior, lalu pergilah mereka. Tidak lama kemudian, mereka datang lagi, kali ini sambil membawa buku yang besar. Sang komandan meletakkannya di meja di hadapan saya, lalu meminta saya membaca suatu bagian yang ditandai. Saya membaca paragraf itu dalam hati.
”Buku ini benar,” kata saya. ”Di sini dikatakan, ’Komandan diberi kuasa untuk membubarkan pertemuan apa pun yang mengancam perdamaian.’” Sambil melihat ke arah sabuk dan pistolnya, saya melanjutkan, ”Satu-satunya ancaman di sini adalah kehadiran Bapak dan anak buah Bapak, yang bersenjata. Sedangkan kami, kami hanya punya Alkitab.”
Ia langsung berpaling ke arah seorang intel dan berkata, ”Benar, kan, kata saya? Ayo, kita pergi!” Lalu berangkatlah kami ke kantor polisi.
Setibanya di kantor, ia segera meraih telepon dan berbicara kepada petugas lain. Selama ini, kami berbicara dalam bahasa Inggris. Tetapi sekarang, ia menggunakan bahasa Silozi. Dia tidak tahu bahwa saya pun bisa berbahasa Silozi! Mereka membicarakan saya. Saya duduk dengan tenang dan berusaha tidak memberikan kesan bahwa saya mengerti apa yang mereka bicarakan. Setelah meletakkan gagang telepon, ia berkata, ”Sekarang, dengar ya!”
Saya menjawab dalam bahasa Silozi, ”Eni sha na teeleza!” yang artinya ”Ya Tuan, saya mendengarkan!” Ia tampak terkejut, lalu duduk dan menatap saya cukup lama. Kemudian, ia bangkit, berjalan ke arah lemari es besar di sudut kantornya, dan mengambilkan minuman dingin untuk saya. Suasananya menjadi lebih santai.
Belakangan, seorang saudara yang adalah pengusaha yang cukup terpandang di daerah itu juga tiba. Kami memberikan saran-saran praktis yang menenteramkan sang komandan, dan berakhirlah situasi yang menegangkan itu. Dengan dukungan Yehuwa, penyelenggaraan kebaktian menjadi lebih mudah.
[Kotak/Gambar di hlm. 221]
Sekurus Jari
Michael Mukanu
Lahir: 1928
Baptis: 1954
Profil: Pernah melayani sebagai pengawas keliling dan sekarang melayani di Betel Zambia.
Dulu, wilayah saya sampai ke lembah di balik sebuah lereng yang terjal. Saya sering diganggu oleh lalat tsetse. Agar tidak digigit serangga dan tidak kepanasan, saya biasanya bangun pukul 1 dini hari dan berangkat, mendaki perbukitan dan pegunungan untuk mencapai sidang berikutnya. Karena harus banyak berjalan, saya membawa sangat sedikit barang. Saya hanya makan sedikit sehingga saya kurus kering, sekurus jari. Terpikir oleh saudara-saudara untuk menulis surat ke kantor cabang berisi permintaan agar saya dipindahtugaskan karena mereka merasa bahwa, cepat atau lambat, saya akan mati. Ketika mereka memberi tahu saya tentang hal ini, saya berkata, ”Itu saran yang bagus, tetapi kalian mesti ingat bahwa saya mendapat tugas dari Yehuwa, dan Dia bisa mengubahnya. Kalaupun saya mati, itu lumrah, bukan? Biarlah saya lanjutkan tugas saya. Seandainya saya mati, kalian tidak perlu repot, beri tahu saja kantor cabang.”
Tiga minggu kemudian, saya mendapat tugas yang baru. Memang, melayani Yehuwa kadang-kadang tidaklah mudah, tetapi kita harus bertekun. Yehuwa adalah Allah yang bahagia; jika hamba-hamba-Nya tidak bahagia, Dia bisa bertindak agar mereka terus bersukacita dalam dinas kepada-Nya.
[Kotak/Gambar di hlm. 223, 224]
Kami Tidak Mendukung Takhayul
Harkins Mukinga
Lahir: 1928
Baptis: 1949
Profil: Bersama istrinya, pernah melayani sebagai pengawas keliling dan sekarang di Betel Zambia.
Sewaktu berkeliling, saya dan istri saya, Idah, membawa serta putra tunggal kami yang berumur dua tahun. Ketika tiba di sebuah sidang, kami disambut dengan hangat oleh saudara-saudara. Kamis pagi, putra kami menangis tak henti-hentinya. Pada pukul 08.00, saya berangkat ke pemusatan dinas, sedangkan Idah menjaga putra kami. Satu jam kemudian, ketika sedang memimpin pelajaran Alkitab, saya mendapat kabar bahwa putra kami meninggal. Yang membuat kami lebih sedih, beberapa saudara menyimpulkan bahwa ada yang mengguna-gunai dia. Kami mencoba membantu mereka bernalar bahwa ketakutan yang umum seperti itu tidaklah benar. Tetapi, berita ini telanjur menyebar secepat kobaran api ke seluruh daerah itu. Saya menjelaskan bahwa Setan punya kuasa, tetapi tidak dapat mengalahkan Yehuwa dan hamba-hamba-Nya yang loyal. ”Waktu dan kejadian yang tidak terduga” bisa menimpa kita semua, dan kita hendaknya tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan berdasarkan rasa takut.—Pkh. 9:11.
Putra kami dikubur besoknya, dan setelah acara pemakaman, kami mengadakan perhimpunan. Saudara-saudara bisa memetik pelajaran dari peristiwa ini: Kami tidak takut pada roh fasik dan tidak mendukung takhayul. Walaupun sangat sedih karena kehilangan putra kami, kami meneruskan kegiatan pekan khusus itu dan melanjutkan ke sidang lain. Bukannya sidang-sidang yang menghibur kami sewaktu ada musibah itu, malah kami yang menghibur dan membesarkan hati mereka bahwa dalam waktu dekat kematian akan berlalu.
[Kotak/Gambar di hlm. 228, 229]
Kami Mengerahkan Keberanian
Lennard Musonda
Lahir: 1955
Baptis: 1974
Profil: Dalam dinas sepenuh waktu sejak tahun 1976. Ia melakukan pekerjaan keliling selama enam tahun dan sekarang melayani di Betel Zambia.
Saya ingat mengunjungi sidang-sidang di ujung utara negeri ini sekitar tahun 1985. Pada tahun-tahun sebelumnya, tentangan dari kalangan politik di daerah itu gencar. Saya baru saja dilantik sebagai pengawas wilayah, dan saya langsung mendapat kesempatan untuk menunjukkan iman dan keberanian. Pada suatu hari, setelah pemusatan dinas, kami siap untuk mengunjungi sebuah desa tetangga. Tetapi, seorang saudara mengatakan bahwa ia mendapat kabar Saksi-Saksi Yehuwa akan dipukuli oleh seluruh warga desa jika mencoba mengabar di sana. Meski pernah ada pengeroyokan pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, saya tidak yakin bahwa saat itu kami akan diserang oleh seluruh warga.
Meskipun demikian, ketika mendengar laporan tersebut, beberapa penyiar hatinya menciut dan tidak mau ikut. Yang lain-lain di antara kami—cukup banyak—mengerahkan keberanian dan berangkat ke desa itu. Kenyataan yang kami dapati mengherankan. Kami menyiarkan banyak majalah dan menikmati pembahasan yang menyenangkan bersama orang-orang yang kami temui. Namun, ada beberapa orang yang lari ketika melihat kami datang ke desa itu. Kami melihat ada yang meninggalkan masakan di atas api dan rumah dalam keadaan terbuka. Jadi, bukannya mengalami perlawanan, kami melihat orang melarikan diri.
[Kotak/Gambar di hlm. 232, 233]
Saya Harus Lari Menyelamatkan Diri
Darlington Sefuka
Lahir: 1945
Baptis: 1963
Profil: Pernah melayani sebagai perintis istimewa, pengawas keliling, dan sukarelawan Betel Zambia.
Kala itu tahun 1963, dan masa tersebut penuh gejolak. Sering kali, ketika saya berdinas, geng-geng pemuda yang termotivasi secara politik mendahului kami, memperingatkan orang-orang agar tidak mendengarkan kami sambil mengancam bahwa jika mereka mendengarkan kami, mereka akan didatangi dan jendela serta pintu rumah mereka akan dirusak.
Suatu malam, hanya dua hari setelah saya dibaptis, saya dipukuli sampai babak belur oleh gerombolan yang terdiri dari sekitar 15 pemuda. Darah mengucur dari mulut dan hidung saya. Kali lain, saya dan seorang saudara dikeroyok oleh kira-kira 40 orang yang mengikuti kami ke tempat saya tinggal. Saya merasa dikuatkan setiap kali mengingat pengalaman Tuan Yesus. Khotbah yang disampaikan oleh Saudara John Jason ketika saya dibaptis memperjelas bahwa kehidupan orang Kristen bukannya bebas masalah. Jadi, ketika hal-hal tersebut terjadi, saya tidak terkejut, tetapi merasa mendapat anjuran.
Pada masa itu, para politikus sedang mencari dukungan untuk perjuangan kemerdekaan mereka, dan kenetralan kami disalahartikan sebagai tindakan memihak orang Eropa dan orang Amerika. Para pemimpin agama yang mendukung kelompok-kelompok politik selalu memperparah laporan negatif tentang kami. Sebelum dan setelah kemerdekaan, keadaan sama sulitnya. Banyak saudara kehilangan usaha mereka karena menolak untuk memiliki kartu partai. Ada yang pindah dari kota ke desa asal mereka dan mengambil pekerjaan berpenghasilan rendah agar tidak dimintai sumbangan untuk mendukung kegiatan politik.
Ketika saya masih remaja, saya tinggal di rumah sepupu saya, yang bukan seorang Saksi. Pendirian saya yang netral menyebabkan keluarga sepupu saya mendapat intimidasi dan ancaman. Mereka menjadi takut. Suatu hari, sebelum berangkat kerja, sepupu saya mengatakan, ”Nanti malam, waktu saya pulang, kamu sudah harus pergi dari sini.” Pada mulanya, saya pikir dia sedang bercanda, karena saya tidak punya kerabat lain di kota. Saya tidak punya tempat tujuan lain. Tetapi, belakangan saya tahu bahwa dia tidak main-main. Ketika ia pulang dan melihat saya belum meninggalkan rumahnya, ia marah besar. Ia mengambil beberapa batu dan mengejar saya. ”Pergilah ke teman-temanmu, anjing-anjing itu!” teriaknya. Saya harus lari menyelamatkan diri.
Ayah saya mendengar kabar tentang hal itu dan mengirimkan berita, ”Jika kamu masih tetap netral, jangan injak rumah saya lagi.” Situasi ini sulit. Saya baru berusia 18 tahun. Siapa yang akan menampung saya? Teman-teman di sidang. Sering kali saya merenungkan kata-kata Raja Daud, ”Apabila bapakku sendiri dan ibuku sendiri meninggalkan aku, Yehuwa akan menerima aku.” (Mz. 27:10) Ternyata benar, Yehuwa menepati janji-Nya.
[Kotak/Gambar di hlm. 236, 237]
Tingkah Laku Saya Direspek oleh Banyak Guru
Jackson Kapobe
Lahir: 1957
Baptis: 1971
Profil: Melayani sebagai penatua sidang.
Pada tahun 1964, murid-murid mulai dikeluarkan dari sekolah. Kantor cabang membantu orang tua mengerti bahwa mereka harus menyiapkan anak-anak mereka. Saya ingat Ayah duduk dengan saya sepulang sekolah dan membahas Keluaran 20:4, 5.
Selama upacara-upacara di sekolah, saya berdiri di barisan belakang untuk menghindari konfrontasi. Yang ketahuan tidak menyanyikan lagu kebangsaan akan dipanggil ke depan. Ketika kepala sekolah bertanya mengapa saya tidak mau menyanyi, saya menjawab dengan Alkitab. ”Baca bisa, nyanyi tidak bisa!” bentak sang kepala sekolah. Dia mengatakan bahwa saya berutang loyalitas kepada pemerintah karena mereka menyediakan sekolah yang mengajar saya untuk membaca.
Akhirnya, pada bulan Februari 1967, saya dikeluarkan. Saya kecewa karena saya senang belajar dan saya siswa yang rajin. Meski Ayah mendapat tekanan dari rekan kerja dan anggota keluarga yang tidak seiman, ia meyakinkan saya bahwa saya mengambil langkah yang benar. Ibu juga mendapat tekanan. Apabila saya ikut dengannya ke ladang, wanita-wanita lain mengejek kami, ”Anak ini kan mestinya sekolah!”
Namun, pendidikan saya tidak terputus. Pada tahun 1972, kelas-kelas melek huruf digiatkan di sidang. Sementara itu, situasi di sekolah-sekolah membaik. Rumah kami terletak di seberang sekolah. Bapak Kepala Sekolah sering mampir, entah untuk minta minuman air dingin atau meminjam sapu untuk menyapu ruang kelas. Bahkan, ia pernah datang untuk meminjam uang! Kebaikan keluarga saya mungkin membuatnya tersentuh sehingga suatu hari ia bertanya, ”Apa anakmu ingin melanjutkan sekolah?” Ayah mengingatkan dia bahwa saya masih salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa. ”Tidak masalah,” kata sang kepala sekolah. ”Kamu mau masuk kelas berapa?” tanyanya kepada saya. Saya memilih kelas enam. Sekolah, kepala sekolah, dan teman-teman saya masih sama. Bedanya, saya lebih mahir membaca daripada kebanyakan teman saya berkat kelas melek huruf di Balai Kerajaan.
Kerja keras dan tingkah laku saya yang baik direspek oleh banyak guru sehingga masa sekolah menjadi lebih menyenangkan. Saya belajar dengan giat dan mengikuti beberapa ujian sehingga saya bisa mendapat kedudukan yang cukup tinggi di pertambangan dan belakangan bisa menopang keluarga. Saya bahagia karena tidak berkompromi dengan bernyanyi.
[Kotak/Gambar di hlm. 241, 242]
”Bagaimana Mungkin Kami Berhenti Mengabar?”
Jonas Manjoni
Lahir: 1922
Baptis: 1950
Profil: Pernah melayani di Betel Zambia selama lebih dari 20 tahun. Sekarang melayani sebagai penatua dan perintis biasa.
Sewaktu perang dunia kedua berkecamuk, saudara laki-laki saya kembali dari Tanzania dengan membawa Alkitab serta beberapa buku, termasuk Government dan Reconciliation. Karena lektur Saksi-Saksi Yehuwa masih dilarang, saya ingin tahu mengapa orang sangat mempersoalkan lektur-lektur itu. Saya membaca Reconciliation tetapi sulit memahami isinya. Beberapa tahun kemudian, saya mengunjungi saudara saya dan ikut dengannya ke perhimpunan. Tidak ada Balai Kerajaan; tempat perhimpunannya hanyalah lahan yang sudah dibersihkan dan berpagar bambu. Pembicara tidak menggunakan rangka tercetak, tetapi saya puas mendengar ceramahnya yang diambil langsung dari Alkitab! Penjelasannya dari Alkitab sangat berbeda dengan yang disampaikan di gereja saya sebelumnya, yang hadirinnya sangat antusias sewaktu memberi salut bendera dan memukul genderang. Malah, di gereja ada perkelahian karena perbedaan suku dan soal bahasa mana yang akan digunakan untuk menyanyi! Namun, di perhimpunan, saya mendengar lagu-lagu indah yang memuji Yehuwa dan melihat keluarga-keluarga duduk bersama, menyerap makanan rohani.
Saya dibaptis dan meneruskan pekerjaan sekuler saya sebagai petugas kesehatan sehingga saya harus sering berkeliling dari kota ke kota di daerah-daerah pertambangan. Pada tahun 1951, saya cuti dua minggu dan menggunakan waktu itu untuk membantu kantor cabang di Lusaka. Tidak lama kemudian, saya diundang untuk melayani di Betel. Awalnya, saya bekerja di bagian pengiriman, dan ketika belakangan kantor pindah ke Luanshya, saya membantu di bagian korespondensi dan penerjemahan. Meski situasi politik mulai berubah pada awal tahun 1960-an, saudara-saudara terus menghasilkan buah yang baik dan mempertahankan kenetralan mereka di tengah pergolakan politik.
Pada bulan Maret 1963, saya bertemu untuk kesekian kalinya dengan Dr. Kenneth Kaunda, yang tidak lama kemudian menjadi presiden Zambia. Saya menjelaskan mengapa kami menolak untuk bergabung dengan partai politik maupun membeli kartu partai. Kami meminta bantuannya untuk menghentikan intimidasi kalangan politik yang menentang kami, dan dia meminta lebih banyak informasi. Beberapa tahun kemudian, Dr. Kaunda mengundang kami ke Istana Negara dan di sana kami mendapat hak istimewa untuk berbicara kepada presiden dan menteri-menteri utama. Pertemuan itu berlangsung hingga malam. Meskipun mau mengakui Saksi-Saksi Yehuwa sebagai kelompok agama, sang presiden bertanya apakah kami bisa seperti agama lain, tidak mengabar. ”Bagaimana mungkin kami berhenti mengabar?” jawab saya. ”Yesus mengabar. Ia tidak hanya mendirikan bait bersama-sama orang Farisi.”
Meski kami mengajukan permohonan, larangan diberlakukan terhadap beberapa corak pelayanan. Namun demikian, seperti biasa kami menemukan cara untuk memuji dan menjunjung Yehuwa, yang menggunakan hamba-hamba-Nya untuk melaksanakan maksud-tujuan-Nya.
[Kotak/Gambar di hlm. 245, 246]
Saya Sangat Ingin Belajar
Daniel Sakala
Lahir: 1964
Baptis: 1996
Profil: Melayani sebagai penatua sidang.
Ketika menerima sebuah buku kecil Learn to Read and Write (Belajar Membaca dan Menulis), saya masih anggota Gereja Roh Zion. Meski buta huruf, saya sangat ingin belajar. Jadi, setelah memperoleh publikasi itu, saya menggunakan banyak waktu untuk mempelajarinya. Saya meminta orang-orang membantu saya memahami kata-kata baru. Dengan cara ini, walaupun tidak punya guru, saya maju dan dalam waktu singkat belajar dasar-dasar membaca dan menulis.
Saya akhirnya bisa membaca Alkitab! Namun, saya menemukan beberapa hal yang bertentangan dengan praktek-praktek di gereja saya. Saudara ipar saya, seorang Saksi-Saksi Yehuwa, mengirimi saya brosur Roh Orang Mati—Dapatkah Membantu Anda atau Mencelakakan Anda? Apakah Benar-Benar Ada? Isi brosur itu menggerakkan saya untuk menanyakan beberapa hal kepada pastor saya. Suatu hari di gereja, saya membaca Ulangan 18:10, 11 dan bertanya, ”Mengapa kita melakukan hal-hal yang dikutuk dalam Alkitab?”
”Kita punya peran masing-masing,” jawab sang pastor. Saya tidak mengerti apa maksudnya.
Kemudian, saya membaca Pengkhotbah 9:5 dan bertanya, ”Mengapa kita menyuruh orang untuk menghormati orang mati padahal Alkitab mengatakan bahwa orang mati ’tidak sadar akan apa pun’?” Baik pastor maupun hadirin gereja bungkam.
Belakangan, beberapa anggota gereja mendekati saya. Mereka mengatakan, ”Kami bukan Saksi-Saksi Yehuwa, jadi mengapa kami harus berhenti menghormati orang mati dan berhenti mengikuti adat?” Hal itu membuat saya bingung. Walaupun saya hanya menggunakan Alkitab dalam diskusi ini, jemaat gereja itu telah berkesimpulan bahwa saya bergabung dengan Saksi-Saksi Yehuwa! Sejak itu, saya mulai menghadiri perhimpunan di Balai Kerajaan bersama dua rekan dari bekas gereja saya. Dalam tiga bulan pertama, saya berhasil menganjurkan beberapa kerabat dekat untuk menghadiri perhimpunan. Tiga di antara mereka, termasuk istri saya, sekarang sudah dibaptis.
[Tabel/Gambar di hlm. 176, 177]
ZAMBIA—LINTAS SEJARAH
1910
1911: Studies in the Scriptures mencapai Zambia.
1919: Kosamu Mwanza dan sekitar 150 saudara lain didera dan dipenjarakan.
1925: Kantor Siswa-Siswa Alkitab di Cape Town mengurangi pengabaran dan pembaptisan.
1935: Impor lektur dibatasi pemerintah. Dua puluh judul publikasi dilarang.
1936: Depot di Lusaka dibuka, di bawah pengawasan Llewelyn Phillips.
1940
1940: Pemerintah melarangkan impor dan distribusi lektur kita. Pembaptisan dimulai lagi.
1948: Lulusan Gilead tiba untuk pertama kalinya.
1949: Pemerintah mencabut larangan atas Menara Pengawal.
1954: Kantor cabang pindah ke Luanshya.
1962: Kantor cabang pindah ke Kitwe.
1969: Pemerintah melarangkan pengabaran kita.
1970
1975: Utusan injil dideportasi.
1986: Utusan injil diizinkan untuk masuk lagi.
1993: Fasilitas kantor cabang yang sekarang di Lusaka ditahbiskan.
2000
2004: Perluasan kantor cabang di Lusaka ditahbiskan.
2005: 127.151 penyiar aktif di Zambia.
[Grafik]
(Lihat publikasinya)
Total Penyiar
Total Perintis
130.000
65.000
1910 1940 1970 2000
[Peta di hlm. 169]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO
ZAMBIA
Kaputa
Mbala
Isoka
Kasama
Samfya
Kitwe
Lundazi
Mufulira
Kalulushi
Luanshya
Kabwe
LUSAKA
Senanga
Sungai Zambezi
Livingstone
BOTSWANA
ZIMBABWE
MOZAMBIK
MALAWI
[Gambar penuh di hlm. 162]
[Gambar di hlm. 167]
Thomson Kangale
[Gambar di hlm. 170]
Llewelyn Phillips
[Gambar di hlm. 178]
Harry Arnott, Nathan Knorr, Kay serta John Jason, dan Ian Fergusson, 1952
[Gambar di hlm. 193]
Kanan: Manda Ntompa dan keluarganya di kamp pengungsi Mwange, 2001
[Gambar di hlm. 193]
Bawah: Kamp pengungsi yang umum
[Gambar di hlm. 201]
Kelas pertama Sekolah Pelatihan Pelayanan di Zambia, 1993
[Gambar di hlm. 202]
Para instruktur SPP, Richard Frudd dan Philemon Kasipoh, menemui seorang siswa
[Gambar di hlm. 206]
Fasilitas kebaktian dibuat dari tanah liat, rumput, dan bahan setempat lainnya
[Gambar di hlm. 215]
Kiri: Drama Alkitab berlatar kuno, 1991
[Gambar di hlm. 215]
Bawah: Para calon baptis di Kebaktian Distrik ”Para Utusan Perdamaian Ilahi”, 1996
[Gambar di hlm. 235]
Tuan Richmond Smith dengan Feliya Kachasu serta ayahnya, Paul
[Gambar di hlm. 251]
Para pekerja yang bersukacita ikut dalam pembangunan kantor cabang yang sekarang di Lusaka
[Gambar di hlm. 252, 253]
(1, 2) Balai Kerajaan yang baru rampung
(3, 4) Kantor Cabang Zambia, Lusaka
(5) Stephen Lett pada penahbisan perluasan cabang, Desember 2004
[Gambar di hlm. 254]
Panitia Cabang, dari kiri ke kanan: Albert Musonda, Alfred Kyhe, Edward Finch, Cyrus Nyangu, dan Dayrell Sharp