Bagaimana Saudara Membimbing Kehidupan Saudara?
”Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN [Yehuwa].”—Mazmur 119:1.
1. Seperti diperlihatkan oleh sejarah, apa yang penting untuk kebahagiaan?
’APA yang perlu untuk hidup bahagia?’ Banyak orang akan menjawab dengan menyebutkan perkara-perkara materi seperti makanan, pakaian dan perumahan, atau bentuk-bentuk hiburan dan kesenangan. Namun sejarah membuktikan bahwa yang lebih penting untuk kebahagiaan adalah pandangan saudara tentang kehidupan dan cara hidup saudara. Sewaktu saudara berurusan dengan majikan, rekan-rekan dan keluarga saudara—apakah saudara akan mengatakan apa yang benar? apakah saudara akan mengambil sesuatu yang bukan milik saudara? apakah saudara akan terlibat dalam pekerjaan atau hiburan tertentu yang meragukan?
2. Bagaimana beberapa orang membimbing kehidupan mereka? Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apa?
2 Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sedemikian secara pasti, ada yang lebih menyukai patokan-patokan yang telah ditetapkan yang mereka ketahui atau yang akan mereka selidiki bila diperlukan. Orang-orang lain melakukan apa yang mereka ”rasa” benar menurut hati nurani. Namun, saudara mungkin cenderung bertanya, Karena Alkitab banyak menyebut tentang ”hati nurani”, apa sebenarnya hati nurani itu? Bagaimana cara bekerjanya? Apakah ia memainkan peranan penting dalam membuat keputusan dan menemukan kebahagiaan? Dan bagaimana kita dapat mengatakan, seperti rasul Paulus, ”Sampai kepada hari ini aku tetap hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah”?—Kisah 23:1.
Hati Nurani Saudara—Apakah Itu?
3, 4. Apa sebenarnya ”hati nurani” itu, dan siapa yang memilikinya?
3 Kebanyakan orang berpikir bahwa hati nurani adalah kemampuan untuk merasakan secara umum apa yang benar dan salah. Tetapi, ada sumber yang berisi keterangan yang lebih tepat tentang hal itu—Firman Allah. Alkitab membantu kita untuk mengerti bahwa hati nurani adalah sesuatu di dalam diri kita yang memberi kesaksian. Maka Paulus mengatakan, ”Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus.” (Roma 9:1) Ia menggunakan kata Yunani syneiʹdesis, yang secara aksara berarti mengetahui bersama dengan diri sendiri. Jadi hati nurani adalah kesanggupan untuk memandang diri sendiri dan memberikan penilaian tentang diri sendiri, memberi kesaksian tentang diri sendiri.
4 Hati nurani bukan sekedar suatu perkembangan sosial, karena Alkitab memperlihatkan bahwa Allah menanamkannya dalam diri pasangan manusia pertama. (Kejadian 3:7, 8) Ketika membahas tanggung jawab orang Yahudi dan Kafir, Paulus menulis, ”Apabila bangsa-bangsa lain [orang Kafir] yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” (Roma 2:14, 15) Ya, bahkan orang-orang yang tidak memiliki hukum tertulis dari Allah menganggap pembunuhan, pencurian, dan perbuatan sumbang sebagai hal yang salah. Kita juga dapat melihat dari ayat-ayat ini bahwa hati nurani adalah keadaan saling mempengaruhi antara hati dan pikiran.
5. Apa salah satu fungsi dari hati nurani saudara?
5 Fungsi hati nurani yang mungkin tidak asing bagi kita adalah mengadili tingkah laku kita ’setelah perbuatan dilakukan’, setelah terjadi perbuatan salah. Jika kita menyimpulkan bahwa kita telah berbuat salah atau bertindak secara tidak terhormat, hati nurani kita menuduh dan menghukum kita. (Bandingkan 2 Samuel 24:10; 1 Yohanes 3:20.) Jika kita menanggapinya, peranan hati nurani ini dapat membantu dengan menggugah diri kita untuk tidak mengulangi suatu kesalahan. Dan hal itu dapat membuat kita bertobat, meminta ampun atau bahkan membayar kerugian jika dapat.—Mazmur 32:3, 5; Matius 5:23, 24; Lukas 19:1-8.
6. Dengan cara bagaimana lagi hati nurani saudara bekerja?
6 Hati nurani kita dapat bekerja dengan cara lain. Meskipun ada yang mengatakan bahwa hati nurani yang baik akan berdiam diri, hati nurani kita seharusnya berbicara apabila kita menghadapi suatu keputusan atau problem, dan mendorong kita melakukan apa yang benar. Teladan yang bagus diperlihatkan oleh Yusuf yang menolak rayuan istri Potifar. Meskipun Allah belum memberikan hukum tertulis yang melarang perzinahan, hati nurani Yusuf menggerakkan dia untuk menolak imoralitas. (Kejadian 39:1-9) Jika, sebelum bertindak, kita mendengar kepada hati nurani, kita dapat menghindari penderitaan yang diakibatkan oleh hati nurani yang terganggu.
7. Dari pelajaran ini apa yang ingin kita pastikan?
7 Pertanyaan yang masih perlu dijawab: Seberapa besar seharusnya pengaruh dari hati nurani? Apakah saudara percaya bahwa kebanyakan persoalan moral dan pribadi seharusnya diputuskan berdasarkan hati nurani? Atau apakah patokan-patokan yang jelas lebih disukai? Kita perlu tahu. Juga, apakah ada bahaya yang perlu kita sadari? Apa yang ditunjukkan oleh Firman Allah, yang menyatakan bahwa firman itu ”bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”?—2 Timotius 3:16.
Pandangan-Pandangan yang Ekstrim
8. Aturan tingkah laku telah dipandang dari dua ekstrim apa?
8 Pertentangan antara patokan-patokan dan hati nurani sudah ada selama berabad-abad. Dalam artikel ”Casuistry” Encyclopaedia Britannica (edisi ke-11) menjelaskan bahwa aturan tingkah laku ”kadang-kadang dianggap sebagai hukum lahiriah, kadang-kadang sebagai suatu sikap batiniah. . . . Orang-orang yang percaya kepada hukum menaruh kepercayaan mereka pada wewenang atau logika; sedangkan mereka yang percaya kepada sikap terutama melihat pada kemampuan naluriah kita—hati nurani, akal sehat atau perasaan”. Perbedaan yang besar daripada kedua perincian itu terdapat ketika Yesus dan rasul-rasul di bumi. Kita dapat lebih menghargai keseimbangan yang membantu dan hikmat ilahi Alkitab dengan memperhatikan keadaan pada waktu itu.
9, 10. (a) Bagaimana kaum Farisi memperlihatkan suatu pendekatan yang ekstrim? (b) Bertentangan dengan itu, hal apa yang umum di antara orang-orang Yunani dan Roma?
9 Orang-orang Farisi Yahudi dengan bergairah menganjurkan patokan-patokan. Karena merasa tidak puas dengan hukum Musa, mereka mengembangkan banyak sekali patokan atau ”perintah manusia” yang membuat perintah-perintah Allah tidak berlaku. Selain mengembangkan patokan-patokan melebihi apa yang Allah tuntut, pandangan berdasarkan hukum ini menganjurkan pendapat bahwa keadaan benar dapat diperoleh dengan mengetahui dan memelihara perintah-perintah manusia ini.—Matius 15:1-20; 23:1-5; Lukas 18:9-12.
10 ”Di ujung yang berlawanan berdiri Yunani kuno,” komentar seorang sarjana sastra klasik Samuel H. Butcher. ”Di antara orang-orang Yunani . . . sistem doktrin dan ketaatan pada hukum, pedoman yang berisi patokan-patokan yang berwenang tentang aturan tingkah laku tidak pernah disampaikan dalam bentuk tertulis. . . . Patokan-patokan yang tidak dapat diubah melumpuhkan tindakan.” Tentang orang-orang Roma, Encyclopaedia Britannica mengatakan, ”Cicero dan Seneca memakai akal sehat sebagai pembimbing. Mereka memutuskan tiap problem berdasarkan sifatnya, lebih memberi perhatian kepada semangatnya dari pada huruf-huruf.” Filsafat Yunani/Roma ini populer di abad pertama. Apakah hal ini menarik bagi orang-orang Kristen? Paulus menulis, ”Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut . . . roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.”—Kolose 2:8; Kisah 17:18-21.
11. Bagaimana kedua ekstrim ini nyata dalam sejarah di kemudian hari?
11 Pada abad-abad belakangan ini, kedua ekstrim tersebut juga mempunyai pendukung, bahkan di antara orang-orang yang disebut Kristen. Kaum Yesuit terkenal karena menekankan aturan tingkah laku berdasarkan hukum-hukum Gereja yang tidak terhitung banyaknya. Setelah Reformasi, paham Protestan menekankan paham perorangan dan hati nurani, yang menjurus kepada pandangan masa kini yang dikenal sebagai ”etika keadaan”, yang dipopulerkan oleh Dr. Joseph Fletcher, seorang Episkopal. The National Observer melaporkan, ”Dr. Fletcher telah mengemukakan suatu pernyataan yang kontroversial (banyak diperdebatkan) tentang kebebasan dan tanggung jawab pribadi, didasarkan atas etika kasih persaudaraan, yang menurut dia seharusnya membebaskan manusia modern dari patokan-patokan dan kaidah-kaidah yang kaku dan kuno seperti ’Sepuluh Hukum’. . . . Dengan kasih sebagai satu-satunya pembimbing, maka, pengguguran kandungan, seks sebelum menikah, perceraian, . . . dan hal-hal lain yang biasanya dianggap salah menjadi perkara-perkara yang dapat diterima secara moral bagi Dr. Fletcher dalam keadaan-keadaan tertentu.”
12. Bahaya apa ada di hadapan kita yang perlu kita hindari?
12 Jelaslah, manusia cenderung kepada hal-hal yang ekstrim—dibimbing oleh peraturan-peraturan atau oleh hati nurani. Orang-orang yang melihat kelemahan dari satu ekstrim bertindak melampaui batas dengan beralih kepada ekstrim lainnya, sama seperti sebuah bandul yang berayun dari ujung yang paling kanan ke ujung yang paling kiri. Misalnya, selama Abad Pertengahan bandul berayun dari sikap kaum Yesuit yang senang akan patokan-patokan, kepada sikap kaum Reformasi yang menekankan kebebasan dan hati nurani. Juga, saudara mungkin mengenal para orangtua yang terlalu ketat mendidik anak-anak mereka. Tetapi setelah anak-anak ini menjadi orangtua, mereka memberi reaksi dengan melakukan hal-hal ekstrim yang sama sekali bertentangan dengan yang semula mereka terima, memperbolehkan anak-anak mereka sendiri bertindak terlalu bebas, dengan akibat-akibat yang mencelakakan. Kita dapat melihat kebenaran dari komentar Alkitab, ”Aku tahu, ya TUHAN [Yehuwa], bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.”—Yeremia 10:23.
Bimbingan Allah yang Seimbang, dan Bermanfaat
13. Alkitab memberikan kita bantuan apa mengenai aturan tingkah laku dan hati nurani?
13 Melalui Alkitab Yehuwa telah menyediakan bantuan yang seimbang bagi orang-orang Kristen, sehingga kita dapat menghindari: (1) sikap yang terlalu menekankan patokan-patokan secara hukum, yang dapat mengakibatkan pandangan hidup dan ibadat yang picik dan kaku, atau (2) sikap yang terlalu menekankan kebebasan hati nurani, yang mengakibatkan beberapa orang menganut cara berpikir manusia yang bahkan memaafkan perbuatan salah. Untuk menghayati keseimbangan Firman Allah dan memperoleh faedah dari bimbingannya, kita membutuhkan sikap seperti Daud, ”Beritahukanlah jalan-jalanMu kepadaku, ya TUHAN [Yehuwa], tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaranMu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku.”—Mazmur 25:4, 5.
14, 15. Apa yang dapat kita pelajari dari Alkitab Yunani Kristen mengenai pandangan orang Yahudi terhadap hukum Taurat, dan pandangan Allah?
14 Alkitab menyingkapkan ketidaksetujuan Yesus terhadap cara berpikir ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang cenderung kepada patokan-patokan. Beberapa orang Yahudi yang tidak mau menggunakan kesanggupan berpikir yang Allah berikan kepada mereka mungkin menyukai peraturan-peraturan mengenai sampai batas mana tangan harus dicuci, apa yang dimaksud dengan ”bekerja” pada hari sabat, dari hasil panen apa harus diberikan persepuluhan, dan sebagainya. Cara demikian menghasilkan aturan-aturan yang membebankan, yang membutuhkan penafsiran yang tidak habis-habisnya dan mengalihkan perhatian dari semangat dan segi-segi Alkitab yang lebih penting. Yesus mengatakan kepada para pemimpin agama, ”Persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan.”—Matius 23:23; Markus 7:3, 4.
15 Hukum Musa turut meningkatkan kerohanian, aturan tingkah laku dan kesehatan bangsa Yahudi, juga membuktikan kepada mereka bahwa sebagai pedosa-pedosa mereka membutuhkan Mesias. (Galatia 3:19, 23-25; Roma 7:7-14) Karena hukum itu suatu patokan yang sempurna, tidak ada seorang Israel pun yang dapat menjalankannya tanpa salah sehingga dapat memperoleh hati nurani yang sempurna. (Ibrani 9:9, 10) Jadi, meskipun hukum yang sah ini mempunyai sumber ilahi, setelah maksud-tujuan Allah sehubungan dengan hal itu tercapai, Ia menyingkirkannya. Kemudian, sebaliknya dari pada berurusan dengan umat untuk namaNya atas dasar hukum tertulis yang panjang lebar, Allah akan ’menaruh tauratNya dalam pikiran mereka dan menuliskannya dalam hati mereka’.—Yeremia 31:33; Ibrani 10:16; 2 Korintus 3:5-11.
16. Pelajaran apa yang disampaikan di sini bagi (a) orang-orang yang sangat keras terhadap diri sendiri, dan (b) kita dan pandangan kita mengenai patokan-patokan?
16 Dengan mengingat hal ini, orang-orang yang dewasa ini mengawasi atau mengatur kegiatan orang-orang lain, harus berhati-hati agar tidak membebani mereka dengan peraturan-peraturan manusia yang tidak perlu. Kecenderungan untuk melakukan hal sedemikian mungkin kuat dalam diri orang-orang yang terlalu kaku atau terlalu menuntut diri sendiri dan karenanya merasa bahwa orang-orang lain harus memandang persoalan-persoalan dengan cara yang sama. Namun, Paulus menulis kepada orang-orang Kristen, ”Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya, kami mau turut bekerja [adalah rekan sekerja, NW] untuk sukacitamu.” (2 Korintus 1:24) Sehubungan dengan hal ini, orang Kristen masing-masing harus waspada agar tidak mengharapkan seseorang yang mempunyai wewenang untuk membuat patokan atas setiap persoalan. Sebaliknya, kita sepatutnya meningkatkan pengetahuan mengenai apa yang Firman Allah katakan sehingga melatih hati nurani dan daya pengertian kita.—Ibrani 5:14.
17. Terhadap pandangan salah yang lain apa kita perlu waspada?
17 Tetapi, bahaya lain ialah berayun kepada keadaan ekstrim yang berlawanan, yaitu merasa bahwa setiap orang Kristen bebas melakukan segala sesuatu yang diizinkan oleh hati nuraninya. Beberapa orang belakangan ini mencoba mengemukakan hal ini dengan mengatakan, ”Kekristenan bukan suatu agama dengan patokan-patokan” dan menyebut ayat-ayat seperti, ”Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ’Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!’” (Galatia 5:13, 14) Memang orang-orang Kristen tidak berada di bawah hukum Musa atau kaidah hukum ilahi lain yang panjang lebar. Tetapi hendaknya kita berjaga-jaga agar ’jangan ada yang memperdayakan kita dengan kata-kata yang indah (”gagasan yang bersifat membujuk dan menarik serta ucapan yang memperdayakan”, Amplified Bible)’, karena suatu penyelidikan yang jujur dari Alkitab memperlihatkan bahwa di dalamnya memang terdapat hukum-hukum dan patokan-patokan bagi kita.—Kolose 2:4.
Orang-Orang Kristen Bukannya Tanpa Hukum
18, 19. Bagaimana sikap orang-orang Kristen terhadap hukum-hukum dan patokan-patokan Alkitab?
18 Paulus menulis kepada orang-orang Korintus bahwa seseorang yang bersalah karena berzinah harus dipecat. Ia menambahkan bahwa para penyembah berhala, pezinah, pelaku homoseks, pencuri, orang-orang yang tamak, pemabuk, pencerca dan pemeras ”tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah”. (1 Korintus 5:1, 6, 7, 11-13; 6:9-11) Kita juga membaca bahwa orang-orang Kristen harus ”menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan” dan bahwa saudara-saudara palsu yang mengembangkan ajaran-ajaran palsu harus ditolak. (Kisah 15:28, 29; Titus 3:10; 2 Yohanes 9-11) Jelaslah, hukum-hukum tersangkut di sini. Seorang yang terus melakukan dosa-dosa demikian tidak dapat menjadi seorang Kristen sejati. Dan jika seorang hamba Allah tetap melakukan hal-hal ini tanpa bertobat, ia harus dipecat.
19 Juga terdapat patokan-patokan Alkitab mengenai hal-hal yang tidak tergolong pelanggaran yang bisa mengakibatkan pemecatan. Misalnya, Paulus menulis bahwa orang-orang Kristen yang lajang hendaknya menikah ”di dalam Tuhan sahaja”, dan ia menyatakan bahwa ”jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan”. (1 Korintus 7:39, Bode; 2 Tesalonika 3:10) Seseorang mungkin berpikir, ’Karena aku tidak akan dipecat bila tidak mentaati nasihat tersebut, patokan-patokan ini tentu tidak serius.’ Betapa tidak bijaksananya pandangan sedemikian! Allah menganggap peraturan ini serius. Bukankah Paulus mengatakan kepada orang-orang Tesalonika untuk ’menandai’ dan ”jangan bergaul dengan” orang-orang malas yang dengan sengaja tidak mentaati patokan mengenai bekerja?—2 Tesalonika 3:14, 15.a
20, 21. Apa yang dapat kita pelajari mengenai petunjuk-petunjuk dalam sidang, dan bagaimana seharusnya perasaan kita mengenai hal-hal itu?
20 Beberapa patokan khususnya demi kebaikan sidang. Misalnya, di jaman dulu ada orang-orang Kristen yang dapat berbicara dalam bahasa-bahasa asing. Paulus menasihatkan agar hanya dua atau tiga dari mereka yang berbicara pada suatu kesempatan, agar mereka bergiliran, dan supaya ada seorang penafsir hadir—patokan-patokan ini menambah perdamaian dan ketertiban. (1 Korintus 14:26-33) Demikian pula dewasa ini, para penatua dari suatu sidang dapat memberikan petunjuk mengenai jalan masuk ke Balai Kerajaan agar tidak terhalang, untuk tidak menyimpan tempat duduk bagi orang lain yang belum pasti datang, atau supaya memarkir kendaraan dengan mempertimbangkan tetangga-tetangga dan segi keamanan. Peraturan sidang sedemikian bukannya tidak berdasarkan Alkitab karena maksudnya sama (perdamaian dan ketertiban yang baik) seperti nasihat Paulus mengenai bahasa-bahasa asing. Ada nasihat Alkitab yang berhubungan dengan hal ini, ”Taatilah pemimpin-pemimpinmu.” (Ibrani 13:17) Karena menghindari dosa seperti berdusta atau mencuri menyangkut ketaatan kepada Allah, ayat ini tentulah memaksudkan ketaatan kita kepada petunjuk-petunjuk pada penatua mengenai soal-soal dalam sidang. Hal ini juga tidak sulit dilakukan jika para penatua tidak secara hukum ’memerintah atas mereka yang dipercayakan kepada mereka [milik pusaka Allah, NW]”.—1 Petrus 5:3.
21 ”Patokan-patokan” atau cara-cara lain dalam melakukan sesuatu membawa manfaat bagi kawanan di seluas dunia. Misalnya, Saksi-Saksi Yehuwa diminta untuk memasukkan laporan tentang kesaksian mereka. (Bandingkan Kisah 2:41, 42; 8:14.) Seseorang yang condong kepada kebebasan pribadi yang ekstrim mungkin tidak menyetujui tata cara ini. Namun pikirkan kebaikan yang dihasilkan karena mereka yang mengawasi kawanan itu dapat mengetahui dari laporan-laporan seberapa luas kesaksian kerajaan telah diberikan, di mana bantuan dibutuhkan, dan kapan murid-murid baru dapat dibentuk menjadi sebuah sidang. Dan bukankah kita senang membaca laporan-laporan seluas dunia? (Yehezkiel 9:11; Markus 6:30; Kisah 14:21-23; 15:3; 19:1-6) Dengan percaya bahwa Allah membimbing umatNya, kita dapat memperlihatkan semangat mendukung dan kerja sama.
22. Mengapa kita perlu lebih lanjut mempelajari soal hati nurani?
22 Selain hukum-hukum atau patokan-patokan khusus, Alkitab berisi prinsip-prinsip yang bersifat membantu yang dapat diterapkan oleh orang-orang Kristen yang bijaksana agar ”hidupnya tidak bercela”. (Mazmur 119:1) Prinsip-prinsip terutama membantu untuk menyesuaikan hati nurani kita dengan pikiran Allah. Tetapi apa yang dimaksud dengan ’soal-soal menyangkut hati nurani’? Ada yang merasa bahwa, ’Jika hal itu sesuatu yang terserah kepada hati nuraniku, maka apa yang aku lakukan itu soal pribadi.’ Marilah kita memeriksanya dalam artikel berikut dan mempelajari selanjutnya cara bagaimana dapat melatih hati nurani kita untuk mendapatkan manfaat yang terbesar dari padanya.
[Catatan Kaki]
Dapatkah Saudara Menjelaskan?
□ Apa yang dimaksud dengan hati nurani saudara, dan dengan cara-cara apa hal ini dapat membantu saudara?
□ Dua ekstrim apa yang ada mengenai aturan tingkah laku?
□ Bagaimana Alkitab membantu kita untuk memiliki pandangan yang benar mengenai bimbingan moral?
□ Pandangan Alkitab apa yang kita perlukan mengenai hukum-hukum atau patokan-patokan?
[Blurb di hlm. 4]
Orang-orang yang terlalu menuntut dari diri sendiri harus berhati-hati terhadap kecenderungan membuat dan memaksakan banyak patokan bagi orang lain
[Blurb di hlm. 5]
Ada orang yang secara keliru merasa bahwa seorang Kristen bebas melakukan apa saja yang diizinkan hati nuraninya
[Gambar di hlm. 3]
Dalam soal-soal moral, orang-orang sering kali beralih dari satu hal yang ekstrim ke yang lain
TUGAS PERASAAN HATI NURANI
HUKUM PERATURAN WEWENANG