PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Para Korban yang Tak Berdosa dari Pemerkosaan Anak
    Sedarlah!—1991 | Oktober
    • Para Korban yang Tak Berdosa dari Pemerkosaan Anak

      ”USIA saya hampir 40 sekarang,” kata Alin.a ”Dan walaupun problem saya terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu, itu masih menghantui saya. Ada kemarahan, ada perasaan bersalah, dan ada masalah-masalah dalam perkawinan saya! Orang-orang berupaya mengerti, tetapi ternyata gagal.” Apa problem Alin? Wanita itu menjadi korban penganiayaan seksual semasa kanak-kanak, dan pada kasus dia akibat-akibatnya terbukti berkepanjangan.

      Alin bukan satu-satunya yang mengalami hal ini. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat wanita—dan pria—dalam jumlah yang mengejutkan yang telah menderita karena pemerkosaan semacam itu.b Penganiayaan seksual terhadap anak-anak merupakan penderitaan yang telah menyebar luas, menembus seluruh garis pemisah sosial, ekonomi, agama, dan ras, jauh dari kategori penyimpangan perilaku yang jarang.

      Untunglah, mayoritas pria dan wanita bahkan tidak akan pernah berpikir untuk menyiksa anak-anak dengan cara demikian. Namun, suatu minoritas yang berbahaya memiliki kecenderungan yang memuakkan ini. Dan bertentangan dengan gambaran klise, jarang ada pemerkosa anak bertindak seperti maniak yang penuh nafsu untuk membunuh, berkeliaran di sekitar tempat bermain. Sebagian besar adalah orang-orang dengan penampilan yang wajar dan meyakinkan. Mereka memuaskan nafsu rendah mereka dengan mengincar anak-anak yang masih polos, mudah percaya, dan tak berdaya—biasanya anak-anak perempuan mereka sendiri.c Di depan umum, pria tersebut mungkin memperlakukan anak-anak perempuan mereka dengan baik hati dan mesra. Diam-diam, mereka menjadikan anak-anak sebagai sasaran ancaman, kekejaman dan tindakan yang memalukan, bentuk-bentuk yang bejat dari penganiayaan seksual.

      Harus diakui, sulit untuk memahami bahwa perbuatan yang mengerikan demikian dapat terjadi dalam begitu banyak keluarga yang tampaknya terhormat. Akan tetapi, bahkan pada zaman Alkitab, anak-anak digunakan ”untuk mencari pemuasan sesaat akan . . . hawa nafsu seksual”. (The International Critical Commentary; bandingkan Yoel 3:3.) Alkitab meramalkan, ”Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri . . . tidak tahu mengasihi . . . tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik.” Oleh karena itu, kita hendaknya tidak terkejut bahwa pemerkosaan anak sedang berlangsung dalam skala besar dewasa ini.—2 Timotius 3:1, 3, 13.

      Pemerkosaan semasa kanak-kanak boleh jadi tidak meninggalkan cacat fisik. Lagipula tidak semua orang dewasa yang pernah menjadi korban semasa kanak-kanak tampak tertekan. Namun seperti amsal zaman dahulu mengatakan, ”Di dalam tertawapun hati dapat merana.” (Amsal 14:13) Ya, banyak korban menderita cacat emosi yang parah—luka terpendam yang bernanah di dalam. Akan tetapi, mengapa pemerkosaan semasa kanak-kanak mengakibatkan kerusakan sedemikian atas diri beberapa orang? Mengapa berlalunya waktu tidak selalu dapat menyembuhkan luka tersebut? Besarnya problem yang menyedihkan ini menuntut perhatian kita untuk membahasnya. Benar, beberapa hal berikut ini mungkin tidak enak untuk dibaca—khususnya demikian apabila Anda merupakan salah seorang korban pemerkosaan semasa kanak-kanak. Namun yakinlah bahwa ada harapan, bahwa Anda dapat sembuh.

  • Luka Terpendam Akibat Pemerkosaan Anak
    Sedarlah!—1991 | Oktober
    • Luka Terpendam Akibat Pemerkosaan Anak

      ”Saya benci pada diri saya sendiri. Saya terus berpikir bahwa seharusnya saya berbuat sesuatu, berkata sesuatu untuk menghentikan perbuatan itu. Saya merasa begitu kotor.”​—Astuti.

      ”Saya merasa terasing dari masyarakat. Saya sering dilanda perasaan ketidakberdayaan dan putus asa. Kadang-kadang saya ingin mati saja.”​—Dewi.

      ”PENGANIAYAAN seksual semasa kanak-kanak merupakan . . . serangan yang menggelisahkan, merusak, dan memalukan terhadap pikiran, jiwa dan tubuh seorang anak . . . Penganiayaan tersebut merusak setiap aspek kehidupan seseorang.” Demikian kata The Right to Innocence, oleh Beverly Engel.

      Tidak semua anak memperlihatkan reaksi yang sama terhadap pemerkosaan tersebut.a Setiap anak memiliki kepribadian yang berbeda, kesanggupan yang berbeda untuk mengatasi problem, dan dalam menguasai emosi. Banyak hal juga bergantung kepada hubungan sang anak dengan si pemerkosa, tingkat seriusnya pemerkosaan, lamanya pemerkosaan tersebut berlangsung, usia anak dan faktor-faktor lain. Selanjutnya, apabila pemerkosaan itu terungkap dan sang anak mendapatkan bantuan pengasih dari orang dewasa, kerusakan sering dapat dikurangi. Akan tetapi, banyak korban menderita luka emosi yang dalam.

      Mengapa Pemerkosaan Anak Begitu Merusak

      Alkitab memberikan penjelasan mengapa kerusakan demikian dapat terjadi. Pengkhotbah 7:7 (NW) menyatakan, ”Penindasan yang hebat menyebabkan orang bijak bertindak bodoh.” Jika hal ini terbukti benar bagi orang dewasa, bayangkan dampak penindasan brutal terhadap anak kecil​—khususnya apabila si pemerkosa adalah orang-tua yang ia percayai. Bagaimanapun juga, beberapa tahun pertama kehidupan seorang anak merupakan masa kritis terhadap perkembangan emosi dan rohaninya. (2 Timotius 3:15) Pada tahun-tahun rawan inilah sang anak mulai mengembangkan batasan-batasan moral dan harga diri. Melalui ikatan kasih sayang dengan orang-tua, seorang anak juga dapat belajar arti mengasihi dan mempercayai orang lain.​—Mazmur 22:10.

      ”Pada diri anak yang diperkosa,” Dr. J. Patrick Gannon menjelaskan, ”proses membangun rasa percaya ini disimpangkan.” Si pemerkosa mengkhianati kepercayaan sang anak; ia merampas rasa aman, keleluasaan pribadi, atau harga diri sang anak, serta menggunakan dia sebagai obyek pemuas hawa nafsu pribadi semata-mata.b Anak-anak kecil tidak mengerti dampak tindak amoral yang dipaksakan atas diri mereka, namun pada umumnya mereka merasa marah, takut, malu.

      Karena itu, pemerkosaan semasa kanak-kanak disebut sebagai ”pengkhianatan yang mungkin paling buruk”. Kita diingatkan akan pertanyaan Yesus, ”Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti?” (Matius 7:9) Namun si pemerkosa memberi sang anak, bukannya kasih dan sayang, tetapi ”batu” yang paling tajam—penganiayaan seksual.

      Mengapa Sakit Hati Terus Bertahan

      Amsal 22:6 berkata, ”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Jelaslah, pengaruh orang-tua dapat bertahan seumur hidup. Akan tetapi, bagaimana jika seorang anak dididik untuk percaya bahwa ia tidak berdaya untuk mencegah serangan seksual? Dididik untuk melakukan hubungan seksual yang abnormal sebagai ganti ”mengasihi”? Dididik untuk memandang diri sendiri tidak berharga dan kotor? Tidakkah hal itu dapat menyebabkan kerusakan perilaku seumur hidup? Bukan berarti bahwa pemerkosaan semasa kanak-kanak di kemudian hari merupakan alasan penyimpangan tingkah laku setelah dewasa, namun hal itu dapat membantu menjelaskan mengapa korban pemerkosaan cenderung bertindak atau merasa aneh.

      Banyak korban pemerkosaan menderita serangkaian gejala, termasuk depresi. Beberapa korban juga gelisah karena perasaan bersalah, malu, dan geram yang terus ada dan kadang-kadang meluap-luap. Beberapa korban mungkin menderita hambatan emosi, ketidakmampuan untuk menyatakan atau bahkan merasakan getaran emosi. Rendahnya harga diri dan perasaan tak berdaya juga menyebabkan penderitaan bagi banyak korban. Saleha, yang diperkosa oleh pamannya, mengingat kembali, ”Setiap kali ia memperkosa saya, saya merasa tak berdaya dan dingin, mati rasa, kejang, bingung. Mengapa hal ini terjadi?” Psikolog Cynthia Tower melaporkan, ”Penelitian menunjukkan bahwa sering kali orang-orang yang diperkosa semasa kanak-kanak akan terus memiliki persepsi dalam kehidupan bahwa mereka adalah korban.” Mereka mungkin menikah dengan pria yang suka memperkosa, menampilkan diri mudah dijadikan korban, atau merasa tak berdaya untuk membela diri apabila diancam.

      Biasanya, anak-anak membutuhkan waktu kira-kira 12 tahun untuk mempersiapkan diri terhadap emosi yang timbul atau muncul pada masa puber. Akan tetapi, apabila perbuatan cabul dipaksakan atas diri seorang anak, boleh jadi ia dikuasai perasaan-perasaan yang timbul karena perbuatan tersebut. Seperti ditunjukkan sebuah penelitian, hal ini di kemudian hari dapat mempengaruhi kemampuan anak tersebut untuk menikmati keintiman perkawinan. Seorang korban bernama Minah mengaku, ”Saya mendapati segi seksual dalam perkawinan merupakan hal yang paling berat dalam kehidupan saya. Saya merasakan sensasi yang amat mengerikan seolah-olah itu ayah saya, dan saya mulai panik.” Korban lain boleh jadi memberikan reaksi yang justru bertentangan dan mengembangkan hawa nafsu amoral yang sukar dikendalikan. ”Saya menempuh kehidupan yang bebas dan pada akhirnya melakukan hubungan seksual dengan orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal,” demikian pengakuan Dewi.

      Korban pemerkosaan boleh jadi juga mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat. Beberapa korban merasa tidak mampu untuk berkomunikasi dengan pria atau dengan tokoh yang berwenang. Beberapa korban akan merusak hubungan persahabatan dan perkawinan dengan bertingkah semaunya atau suka mengatur. Namun, para korban lain cenderung sama sekali menolak hubungan akrab.

      Bahkan ada korban yang mengarahkan perasaan benci kepada diri mereka sendiri. ”Saya membenci tubuh saya karena ia menanggapi rangsangan dari si pemerkosa,” demikian pengakuan Reba. Tragisnya, makan berlebih-lebihan atau malah tidak mau makan,c kecanduan kerja, penyalahgunaan alkohol dan narkotik, merupakan hal biasa di kalangan para korban—upaya yang menyedihkan untuk mengubur perasaan mereka. Beberapa korban juga bertindak membenci diri mereka sendiri secara lebih ekstrem. ”Saya menyayat diri sendiri, menusukkan kuku ke lengan, membakar diri sendiri,” kata Reba menambahkan. ”Saya merasa bahwa saya pantas untuk diperkosa.”

      Akan tetapi, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa siapa pun yang merasakan atau bertingkah seperti itu tentu telah dianiaya secara seksual. Faktor-faktor fisik atau emosi lain boleh jadi terlibat. Misalnya, para ahli mengatakan bahwa gejala serupa umum di kalangan orang dewasa yang dibesarkan dalam keluarga yang menderita kelainan—orang-tua gemar menyiksa, meremehkan dan mempermalukan mereka, mengabaikan kebutuhan jasmani mereka, atau orang-tua yang kecanduan alkohol atau narkotik.

      Kerusakan Rohani

      Dampak terparah yang dapat ditimbulkan oleh pemerkosaan anak adalah kemungkinan kerusakan rohani. Pemerkosaan merupakan ”pencemaran jasmani dan rohani”. (2 Korintus 7:1) Dengan melakukan perbuatan yang tidak senonoh atas diri seorang anak, dengan melanggar batas-batas fisik dan moralnya, dengan mengkhianati kepercayaannya, seorang pemerkosa meracuni semangat sang anak, atau kecenderungan mentalnya yang dominan. Hal ini selanjutnya akan mengganggu pertumbuhan moral dan rohani si korban.

      Buku Facing Codependence, oleh Pia Mellody, lebih jauh mengatakan, ”Pemerkosaan serius apa pun . . . juga merupakan pemerkosaan rohani, karena hal itu menodai kepercayaan sang anak akan Penguasa Tertinggi.” Misalnya, seorang wanita Kristen bernama Ellen bertanya, ”Bagaimana saya dapat membayangkan Yehuwa sebagai seorang Bapak sedangkan di benak saya, saya memiliki konsep pria yang kejam dan bengis dari seorang bapak jasmani?” Seorang korban lain bernama Terry berkata, ”Saya tidak pernah membayangkan Yehuwa sebagai Bapak. Sebagai Allah, Tuhan, Pribadi Yang Maha Kuasa, Pencipta, ya! Tetapi sebagai Bapak, tidak!”

      Pribadi-pribadi demikian tidak dengan sendirinya lemah secara rohani atau kurang iman. Sebaliknya, upaya yang terus-menerus untuk menerapkan prinsip-prinsip Alkitab memberikan bukti adanya kekuatan rohani! Namun, bayangkan kemungkinan perasaan beberapa orang ketika mereka membaca ayat Alkitab seperti Mazmur 103:13, yang berbunyi, ”Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian [Yehuwa] sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Beberapa orang mungkin memahami ayat ini dengan akal sehat. Akan tetapi tanpa konsep yang sehat tentang bagaimana sebenarnya seorang ayah itu, akan sulit bagi mereka untuk menanggapi ayat ini dengan emosi!

      Beberapa orang juga mendapati kesulitan dalam bertindak ”seperti seorang anak kecil” di hadapan Allah—polos, rendah hati, percaya. Mereka mungkin menahan perasaan mereka yang sesungguhnya saat berdoa. (Markus 10:15) Bisa jadi mereka ragu-ragu menerapkan pada diri mereka kata-kata Daud di Mazmur 62:8, 9, ”Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah. Percayalah kepadaNya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapanNya; Allah ialah tempat perlindungan kita.” Perasaan bersalah dan tak berharga bahkan mungkin melemahkan iman mereka. Seorang korban berkata, ”Saya sangat percaya akan Kerajaan Yehuwa. Akan tetapi, saya tidak merasa layak untuk berada di sana.”

      Tentu saja, tidak semua korban mengalami akibat yang serupa. Beberapa orang merasa tertarik kepada Yehuwa sebagai Bapak yang pengasih dan merasa sama sekali tidak ada hambatan dalam berhubungan dengan Dia. Apa pun kasusnya, jika Anda seorang korban penganiayaan seksual semasa kanak-kanak, Anda akan mendapati sangat berharga untuk memahami bagaimana hal ini telah mempengaruhi kehidupan Anda. Beberapa orang mungkin puas menerima keadaan mereka apa adanya. Akan tetapi, jika bagi Anda tampaknya kerusakan yang ditimbulkan itu serius, yakinlah. Sakit hati Anda dapat disembuhkan.

      a Pembahasan kita menyorot apa yang Alkitab sebut sebagai por·neiʹa, atau percabulan. (1 Korintus 6:9; bandingkan Imamat 18:6-22.) Ini meliputi segala bentuk persetubuhan yang amoral. Tindak penyelewengan lain, seperti tingkah laku yang tidak senonoh, gemar melihat obyek-obyek seksual dan benda-benda pornografi, walaupun bukan por·neiʹa, juga dapat merusak emosi anak.

      b Karena anak-anak secara alamiah cenderung percaya kepada orang dewasa, anak-anak yang diperkosa oleh seorang anggota keluarga yang mereka percayai, kakak, kerabat keluarga, atau bahkan oleh orang asing, akan merasa amat dikhianati.

      c Lihat Awake! 22 Desember 1990.

  • ”Waktu untuk Menyembuhkan”
    Sedarlah!—1991 | Oktober
    • ”Waktu untuk Menyembuhkan”

      Astuti merupakan tempat setiap orang mengadu; seorang penyelamat bagi siapa saja yang mempunyai problem. Wanita itu bersikap tenang dan berpenampilan sempurna, tidak seorang pun tahu bahwa ia memendam luka emosi, sampai suatu hari ia mulai mengenang. ”Waktu itu, saya sedang bekerja,” kenang Astuti, ”dan saya mulai merasa sakit dan sangat malu. Saya hampir tidak dapat berdiri tegak! Selama berhari-hari saya menderita. Kemudian, kenangan itu datang tatkala ayah tiri saya menggagahi saya—sungguh, itu merupakan pemerkosaan. Dan bukan satu kali itu saja.”

      ADA ”waktu untuk menyembuhkan”. (Pengkhotbah 3:3) Dan bagi banyak korban pemerkosaan semasa kanak-kanak—seperti Astuti—kembalinya kenangan yang telah lama terkubur merupakan bagian yang penting dalam proses penyembuhan.

      Namun, bagaimana seseorang dapat melupakan pengalaman yang begitu mengguncangkan seperti serangan seksual? Pertimbangkan betapa tidak berdayanya sang anak ketika harus melawan rayuan seksual dari seorang ayah atau orang dewasa yang kuat lainnya. Ia tidak dapat menghindar. Ia tidak berani menjerit. Dan ia tidak berani mengadukan itu kepada siapa pun! Di samping itu, ia mungkin harus bertemu si pemerkosa setiap hari dan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Mempertahankan sikap pura-pura semacam itu sulit bagi orang dewasa; hampir mustahil bagi seorang anak. Maka sang anak menggunakan daya imajinasi yang hebat yang dikaruniakan kepada anak-anak dan melarikan diri secara mental! Ia berpura-pura bahwa pemerkosaan itu tidak terjadi, sama sekali melupakannya atau mematikan perasaannya terhadap hal itu.

      Kenyataannya, dari waktu ke waktu, kita semua melupakan hal-hal yang tidak ingin kita lihat atau dengar. (Bandingkan Yeremia 5:21) Namun para korban pemerkosaan menggunakan kesanggupan ini sebagai alat penyelamat. Beberapa korban melaporkan, ”Saya berpura-pura bahwa ini terjadi atas diri orang lain dan saya hanya penonton.” ”Saya pura-pura tidur.” ”Saya mengerjakan soal-soal matematika di kepala saya.”—Strong at the Broken Places, oleh Linda T. Sanford.

      Maka, tidak mengherankan apabila buku Surviving Child Sexual Abuse menyatakan, ”Diperkirakan bahwa hingga 50 persen mereka yang selamat dari penganiayaan seksual semasa kanak-kanak tidak peduli akan pengalaman ini.” Akan tetapi, beberapa korban bisa jadi hanya mengingat pemerkosaan itu saja namun memendam perasaan yang berhubungan dengan itu—kepedihan, geram, malu.

      Represi—Perjuangan dalam Pikiran

      Akan tetapi, bukankah yang paling baik apabila peristiwa ini tetap terkubur—bahwa sang korban melupakan peristiwa tersebut begitu saja? Beberapa orang memang memilih melakukan ini. Namun orang-orang lain tidak dapat. Halnya seperti yang dikatakan Ayub 9:27, 28, ”Apabila aku tersenyum dan berupaya melupakan dukaku, seluruh penderitaanku kembali menghantui aku.” (Today’s English Version) Represi (penekanan mental) terhadap kenangan yang menakutkan merupakan upaya mental yang melelahkan, perjuangan habis-habisan yang bahkan dapat mengancam kesehatan.

      Seraya sang korban bertambah dewasa, tekanan kehidupan sering kali melemahkan kesanggupannya untuk melupakan masa lalu. Aroma minyak wangi, wajah yang mirip, suara yang mengejutkan, atau bahkan pemeriksaan dokter atau dokter gigi dapat memancing timbulnya perasaan dan kenangan pemerkosaan yang menakutkan.a Haruskah ia berupaya lebih keras untuk melupakannya? Tidak, pada keadaan seperti itu banyak korban mendapat kelegaan dengan mencoba untuk mengingat! Kata seorang wanita bernama Dewi, ’Begitu kenangan muncul dalam ingatan saya, kenangan tersebut kehilangan kekuatannya. Menyimpan kenangan tersebut lebih menyakitkan dan berbahaya dibandingkan dengan mengungkapkannya.’

      Pentingnya Mengakui

      Mengapa demikian? Salah satu alasan adalah, mengingat kembali memungkinkan seorang korban untuk bersedih. Kesedihan merupakan reaksi yang wajar terhadap suatu trauma; itu membantu kita untuk memulihkan diri setelah mengalami kejadian-kejadian yang mencekam. (Pengkhotbah 3:4; 7:1-3) Akan tetapi, seorang korban pemerkosaan tidak mendapat kesempatan untuk melampiaskan kesedihannya, dipaksa untuk menyangkal adanya pengalaman yang menakutkan, dipaksa untuk menekan penderitaannya. Represi sedemikian dapat menghasilkan apa yang para dokter katakan sebagai stres yang berlebihan setelah trauma (posttraumatic stress disorder)—keadaan tidak mampu menyatakan emosi sama sekali.—Bandingkan Mazmur 143:3, 4.

      Seraya kenangan muncul, sang korban benar-benar dapat menghidupkan kembali pemerkosaan itu. Beberapa korban bahkan untuk sementara waktu mundur kembali ke keadaan seperti anak kecil. ”Ketika bayangan masa lalu datang,” kenang Dewi, ”Saya sering dilanda gejala-gejala fisik. Kadang-kadang ingatan tersebut begitu menekan, saya merasa seperti dipaksa menjadi gila.” Kemarahan yang lama dipendam sejak masa kanak-kanak sekarang dapat diteruskan. ”Mengingat kembali membawa saya ke dalam depresi dan kemarahan,” ujar Sheila. Namun di bawah keadaan unik ini, wajar untuk menjadi marah. Anda sedang bersedih, melampiaskan kemarahan berdasarkan akal sehat yang telah tertahan. Anda berhak membenci tindakan keji yang dipaksakan atas diri Anda.—Roma 12:9.

      Seorang korban pemerkosaan berkata, ”Ketika saya mampu untuk benar-benar mengenang kembali, saya merasa amat lega . . . Setidaknya saya sekarang mengetahui apa yang dulu saya hadapi. Walaupun sulit untuk mengingat-ingat, hal itu benar-benar mengembalikan bagian hidup saya yang amat menakutkan karena hal itu dulu begitu tersembunyi dan misterius.”—The Right to Innocence.

      Mengingat kembali juga dapat membantu si korban mencari akar beberapa problemnya. ”Saya selalu sadar bahwa saya memiliki kebencian dan kemarahan dalam diri saya, tetapi saya tidak tahu alasannya,” kata seorang korban perbuatan sumbang (inses). Mengingat kembali membantu banyak orang menyadari bahwa apa yang terjadi bukan kesalahan mereka, mereka hanya korban.

      Tentu saja, tidak semua orang dapat mengingat kembali pemerkosaan atas diri mereka sama dramatis atau sama jelasnya seperti korban lain. Dan banyak penasihat setuju bahwa tidak perlu untuk mengingat setiap rincian pemerkosaan atas diri seseorang agar dapat bebas dari dampaknya. Hanya dengan mengingat bahwa pemerkosaan telah terjadi dapat merupakan langkah maju menuju kesembuhan.—Lihat kotak di halaman 9.

      Memperoleh Dukungan

      Jika Anda seorang korban penganiayaan seksual semasa kanak-kanak, jangan menanggung sendiri munculnya ingatan akan peristiwa tersebut. Membicarakan seluruh isi perasaan Anda, akan membantu. (Bandingkan Ayub 10:1; 32:20.) Beberapa korban yang amat tertekan mungkin memutuskan untuk mencari bantuan dokter yang cakap, konsultan atau para profesional di bidang kesehatan mental. Dalam kasus mana pun, sahabat yang dapat dipercaya, teman hidup, anggota keluarga, atau pengawas Kristen yang akan mendengarkan dengan penuh respek dan empati, juga dapat menjadi penganjur semangat yang berharga.b ”Bantuan saya yang terbesar adalah sahabat saya, Yulia,” kata Sri. ”Ia memperbolehkan saya untuk berbicara berulang-ulang mengenai kenangan itu. Ia memperbolehkan saya untuk merasakan emosi yang timbul karenanya. Ia mendengarkan dan menanggapi dengan penuh pengertian.”

      Kepercayaan adalah urusan yang penuh risiko, dan Anda boleh jadi merasa tidak pantas menerima bantuan orang lain—atau merasa sangat malu untuk berbicara kepada orang lain mengenai pemerkosaan atas diri Anda. Namun seorang sahabat sejati ”menjadi seorang saudara dalam kesukaran” dan akan siap sedia memberi bantuan yang berharga jika Anda memberi kesempatan kepadanya. (Amsal 17:17) Akan tetapi, berlakulah selektif dalam memilih orang yang ingin Anda percayai. Belajarlah mengungkapkan kekhawatiran Anda secara bertahap. Jika seorang teman terbukti memiliki rasa simpati dan bijaksana, barulah Anda dapat mencoba mengungkapkan lebih banyak hal.

      Hal lain yang juga membantu adalah merawat kesehatan fisik Anda baik-baik. Beristirahatlah secukupnya. Berolahragalah dengan seimbang. Makanlah makanan yang bergizi. Bila mungkin, sederhanakan kehidupan Anda. Jangan segan-segan untuk menangis. Penderitaan tampaknya tidak kunjung habis, namun setelah beberapa saat itu akan mereda. Ingatlah, Anda telah hidup melampaui pemerkosaan sebagai seorang anak yang tak berdaya—dan ternyata selamat! Sebagai orang dewasa, Anda memiliki kesanggupan dan kekuatan yang tidak Anda miliki semasa kanak-kanak. (Bandingkan 1 Korintus 13:11.) Maka hadapilah kenangan yang penuh penderitaan dan jangan biarkan itu mempengaruhi Anda. Bersandarlah kepada Allah untuk memohon kekuatan. Pemazmur berkata, ”Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburanMu menyenangkan jiwaku.”—Mazmur 94:19.

      Menyingkirkan Perasaan Bersalah dan Malu

      Berhenti menyalahkan diri sendiri adalah bagian penting lain dari kesembuhan. ”Bahkan sekarang, sulit bagi saya untuk berpikir bahwa saya tidak bersalah,” kata seorang korban bernama Reba. ”Saya bertanya-tanya, mengapa dulu saya tidak dapat menghentikan dia?”

      Akan tetapi, ingatlah bahwa si pemerkosa dengan jahat melancarkan berbagai paksaan, menggunakan wewenang (’Saya adalah ayahmu!’), menggunakan ancaman (’Kamu akan saya bunuh jika mengadukan hal ini!’), kekerasan fisik yang brutal, dan bahkan dengan menimbulkan rasa bersalah (’Kalau kamu mengadu, Ayah akan masuk penjara.’). Sebaliknya, beberapa pemerkosa menggunakan bujukan yang lemah lembut atau berbagai hadiah serta bantuan. Beberapa menyalahgambarkan kegiatan seksual sebagai permainan atau sebagai pertunjukan kasih sayang orang-tua terhadap anak. ”Ia mengatakan bahwa inilah yang dilakukan orang-orang kalau mereka saling menyayangi,” kenang seorang korban. Bagaimana mungkin seorang anak kecil menolak ancaman emosi serta akal licik demikian? (Bandingkan Efesus 4:14.) Ya, si pemerkosa dengan berbagai cara memanfaatkan kenyataan bahwa anak-anak tidak berdaya, mudah diserang, masih ’anak-anak dalam soal-soal kejahatan’.—1 Korintus 14:20.

      Mungkin, selanjutnya, Anda perlu mengingatkan diri Anda betapa lemah dan tidak berdaya Anda ketika masih kanak-kanak. Anda dapat mencoba menghabiskan waktu dengan beberapa anak kecil atau melihat foto-foto Anda semasa kecil. Kawan-kawan yang bersifat mendukung juga dapat membantu dengan tetap tentu mengingatkan Anda bahwa pemerkosaan itu bukanlah kesalahan Anda.

      Akan tetapi, seorang wanita berkata, ”Saya merasa muak bila saya mengingat perasaan yang dirangsang Ayah dalam diri saya.” Beberapa korban (58 persen dalam suatu penelitian) mengingat kembali bahwa mereka mengalami rangsangan selama pemerkosaan. Dapat dimengerti, ini membuat mereka sangat malu. Akan tetapi, buku Surviving Child Sexual Abuse mengingatkan kita, bahwa ”terangsang secara fisik merupakan tanggapan tubuh secara otomatis apabila disentuh atau dirangsang dengan cara-cara tertentu” dan seorang anak ”tidak dapat mengendalikan rangsangan tersebut”. Si pemerkosa sendirilah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas semua hal yang terjadi. ITU BUKAN KESALAHAN ANDA!

      Juga tenangkan diri, karena Allah memandang Anda ”tiada beraib dan tiada bernoda” dalam hal ini. (Filipi 2:15) Pada waktunya desakan untuk berperilaku yang merusak diri akan berkurang, dan Anda dapat belajar untuk menyayangi tubuh Anda sendiri.—Bandingkan Efesus 5:29.

      Menerima Orang-tua Anda Kembali

      Ini terbukti merupakan hal yang paling sulit dari proses kesembuhan. Beberapa orang terus diliputi kemarahan, khayalan untuk membalas dendam—atau rasa bersalah. Salah seorang korban pemerkosaan berkata, ”Saya merasa tertekan karena saya pikir Yehuwa mengharapkan saya mengampuni orang yang memperkosa saya, namun saya tidak bisa melakukan itu.” Di sisi lain, Anda boleh jadi hidup dalam ketakutan yang tidak sehat terhadap pemerkosa Anda. Atau Anda boleh jadi merasa ingin memusuhi ibu Anda karena ia menutup mata terhadap pemerkosaan atau tidak mau percaya atau marah pada saat pemerkosaan itu terungkap. ”Ibu menyuruh saya memperlakukan [Ayah] dengan penuh kelembutan,” kenang seorang wanita dengan getir.

      Merupakan hal yang wajar untuk merasa marah apabila seseorang menderita pemerkosaan. Akan tetapi, ikatan kekeluargaan boleh jadi cukup kuat, dan Anda mungkin tidak ingin memutuskan hubungan sama sekali dengan orang-tua Anda. Anda mungkin bahkan bersedia mempertimbangkan untuk berdamai kembali. Namun, itu banyak bergantung kepada keadaan. Para korban kadang-kadang cenderung untuk mengampuni orang-tua mereka dengan ikhlas—tidak mempersoalkan pemerkosaan itu, namun menolak untuk dihantui perasaan jengkel atau dikuasai perasaan takut. Karena lebih suka menghindari pertentangan emosi, beberapa orang merasa puas dengan ’berkata-kata dalam hati mereka’ dan melupakannya.—Mazmur 4:5.

      Akan tetapi, Anda mungkin merasa bahwa masalah ini hanya dapat diatasi dengan menghadapi orang-tua Anda yang memperkosa—langsung secara pribadi, melalui telepon, atau melalui surat. (Bandingkan Matius 18:15.) Andai kata demikian, pastikan bahwa Anda telah benar-benar siap—atau setidaknya memiliki dukungan yang cukup—untuk menghadapi badai emosi yang mungkin meledak. Apabila pembahasan diakhiri dengan saling berteriak, upayakan tetap tegas namun tenang. (Amsal 29:11) Anda akan mendapat hasil dengan menyatakan (1) apa yang terjadi, (2) bagaimana itu mempengaruhi Anda, dan (3) apa yang Anda harapkan dari mereka sekarang (seperti minta maaf, penggantian biaya dokter, atau perubahan sikap). Paling tidak, dengan membicarakan masalah Anda secara terbuka dapat membantu menghilangkan perasaan yang mengganggu bahwa Anda tidak berdaya. Dan ini memungkinkan Anda memiliki hubungan yang baru dengan orang-tua Anda.

      Misalnya, ayah Anda mungkin akan mengakui telah melakukan pemerkosaan, menyatakan penyesalan yang dalam. Ia mungkin juga telah membuat upaya yang tulus untuk berubah, mungkin dengan mengikuti program perawatan bagi pecandu alkohol atau dengan berupaya belajar Alkitab. Demikian juga ibu Anda mungkin berlaku serupa dengan meminta maaf karena ia gagal melindungi Anda. Kadang-kadang ini menghasilkan pemulihan hubungan secara utuh. Namun, jangan terkejut apabila Anda masih merasa canggung terhadap orang-tua Anda dan memilih untuk tidak segera berhubungan akrab dengan mereka. Akan tetapi, pada akhirnya Anda mungkin dapat memulai hubungan keluarga yang wajar.

      Di sisi lain, menghadapi si pemerkosa secara langsung dapat memancing penyangkalan dan kata-kata yang kasar dari si pemerkosa dan anggota keluarga lainnya. Lebih parah lagi, Anda mungkin mendapati bahwa ia masih merupakan ancaman bagi Anda. Jika demikian pengampunan mungkin tidak cocok, dan hubungan yang akrab tidaklah mungkin.—Bandingkan Mazmur 139:21.

      Apa pun yang terjadi, menghilangkan rasa sakit hati cukup makan waktu. Anda mungkin perlu berulang kali mengingatkan diri Anda bahwa pembalasan terakhir ada di tangan Allah. (Roma 12:19) Membicarakan hal ini dengan pendengar yang memberi dukungan atau bahkan menyatakan perasaan Anda dalam tulisan dapat juga membantu Anda mencari jawaban atas kemarahan Anda. Dengan bantuan Allah, Anda dapat mengerti dan mengatasi kemarahan Anda. Dengan berlalunya waktu, perasaan sakit hati tidak akan menguasai pikiran Anda lagi.—Bandingkan Mazmur 119:133.

      Kesembuhan Rohani

      Karena ruangan di brosur ini terbatas, kami tidak mungkin membahas seluruh aspek emosi, perilaku, dan rohani yang terlibat. Pada intinya, yang Anda dapat lakukan adalah melengkapi kesembuhan dengan ’memperbaharui budi’ Anda dengan bantuan Firman Allah. (Roma 12:2) ’Arahkan diri kepada apa yang di hadapan’, dengan mengisi kehidupan Anda dengan gagasan dan kegiatan rohani.—Filipi 3:13; 4:8, 9.

      Sebagai contoh, banyak korban pemerkosaan mendapati banyak kelegaan hanya dengan membaca kitab Mazmur. Akan tetapi, manfaat yang lebih besar diperoleh dengan menerapkan prinsip-prinsip Alkitab dengan rajin. Pada waktunya, tekanan perkawinan akan berkurang. (Efesus 5:21-33) Perilaku yang merusak dapat berhenti. (1 Korintus 6:9-11) Perasaan-perasaan seksual yang tidak sehat dapat disembuhkan. (Amsal 5:15-20; 1 Korintus 7:1-5) Anda juga dapat belajar seimbang dalam hubungan pribadi Anda dan membangun batasan-batasan moral yang kokoh.—Filipi 2:4; 1 Tesalonika 4:11.

      Yakinlah, Kesembuhan membutuhkan tekad bulat dan upaya keras! Namun Mazmur 126:5 meyakinkan kita, ”Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.” Juga, ingatlah bahwa Allah yang benar, Yehuwa, berminat akan kesejahteraan Anda. Ia ”dekat kepada orang-orang yang patah hati, Ia menyelamatkan orang yang remuk jiwanya”. (Mazmur 34:19) Seorang korban pemerkosaan berkata, ”Ketika akhirnya saya menyadari bahwa Yehuwa mengamati setiap perasaan yang saya miliki dan Ia peduli—sungguh-sungguh peduli—barulah akhirnya saya merasa damai dalam hati.”

      Allah kita yang pengasih, Yehuwa, menawarkan lebih dari sekadar damai dalam pikiran. Ia menjanjikan suatu dunia baru yang penuh kebenaran, di mana Ia akan menghapus setiap kenangan pahit semasa kanak-kanak. (Wahyu 21:3, 4; lihat juga Yesaya 65:17.) Harapan ini dapat menopang dan menguatkan seraya Anda menempuh perjalanan ke arah kesembuhan total.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan