PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Apa yang Telah Terjadi dengan Wewenang?
    Menara Pengawal—1994 | 1 Juli
    • Apa yang Telah Terjadi dengan Wewenang?

      ORANG-ORANG yang suka berpikir melihat perlunya wewenang. Tanpa adanya suatu struktur wewenang, masyarakat manusia akan segera menjadi kacau. Oleh karena itu, sebuah buku pelajaran klasik tentang hukum konstitusi Prancis menyatakan, ”Dalam kelompok manusia mana pun, ada dua kategori orang: mereka yang memerintah dan mereka yang menaati, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang mematuhinya, pimpinan dan bawahan, yang mengatur dan yang diatur. . . . Adanya wewenang dapat diamati dalam masyarakat manusia mana pun.”a

      Akan tetapi, sikap terhadap wewenang telah berubah sejak Perang Dunia II dan teristimewa sejak tahun 1960-an. Mengomentari masa itu, Encyclopædia Universalis Prancis berbicara tentang suatu ”masa krisis antihierarki dan antiwewenang”. Krisis demikian tidaklah mengherankan bagi para pelajar Alkitab. Rasul Paulus menubuatkan, ”Ingatlah ini: Pada hari-hari terakhir akan ada banyak kesusahan. Manusia akan mementingkan dirinya sendiri, bersifat mata duitan, sombong dan suka membual. Mereka suka menghina orang, memberontak terhadap orang tua . . . ; tidak suka memberi ampun, . . . suka memakai kekerasan, mereka kejam, . . . angkuh dan tidak berpikir panjang. Mereka lebih suka pada kesenangan dunia daripada menuruti Allah.”​—2 Timotius 3:1-4, BIS.

      Krisis Wewenang

      Nubuat ini dengan jelas menggambarkan zaman kita. Wewenang ditantang dalam segala tingkatan—keluarga, sekolah umum, universitas, perusahaan bisnis, pemerintah daerah dan pusat. Revolusi seksual, musik rap yang mesum, aksi unjuk rasa mahasiswa, pemogokan buruh secara liar, ketidaktundukan masyarakat, dan aksi terorisme merupakan semua tanda hilangnya respek terhadap wewenang.

      Pada sebuah simposium yang diselenggarakan di Paris oleh Institut Ilmu Politik Prancis dan harian Prancis Le Monde, Profesor Yves Mény menyatakan, ”Wewenang akan ada hanya jika didukung oleh hak kekuasaan.” Satu alasan timbulnya krisis wewenang dewasa ini adalah bahwa banyak orang meragukan hak kekuasaan pihak yang berkuasa. Artinya, mereka meragukan hak pihak yang berkuasa untuk menjalankan wewenang. Sebuah pol mengungkapkan bahwa pada awal tahun 1980-an, 9 persen dari penduduk di Amerika Serikat, 10 persen di Australia, 24 persen di Inggris, 26 persen di Prancis, dan 41 persen di India menganggap pemerintah mereka tidak sah.

      Pencarian Manusia akan Wewenang yang Sah

      Menurut Alkitab, manusia sejak semula berada di bawah wewenang langsung dari Allah. (Kejadian 1:27, 28; 2:16, 17) Akan tetapi, sejak mula pertama, manusia menuntut kebebasan moral dari Pencipta mereka. (Kejadian 3:1-6) Karena telah menolak teokrasi, atau pemerintahan Allah, mereka harus menemukan sistem wewenang lain. (Pengkhotbah 8:9) Beberapa orang mendapatkan wewenang mereka secara paksa. Bagi mereka, kuat berarti benar. Yang penting bahwa mereka cukup kuat untuk memaksakan kehendak mereka. Meskipun demikian, kebanyakan merasa perlu mengesahkan hak mereka untuk memerintah.

      Sejak awal mula, banyak penguasa melakukan hal ini dengan menyatakan bahwa mereka adalah dewa atau bahwa mereka telah menerima kuasa dari dewa. Hal ini adalah konsep mitos dari ”takhta suci”, yang dinyatakan oleh para penguasa Mesopotamia masa awal dan para Firaun Mesir purba.

      Aleksander Agung, raja-raja Yunani yang menggantikannya, dan banyak kaisar Romawi juga mengaku sebagai dewa dan bahkan menuntut untuk disembah. Sistem-sistem di bawah para penguasa demikian dikenal sebagai ”kultus-kultus penguasa”, dan tujuan mereka adalah untuk memperkuat wewenang penguasa atas campuran dari bangsa-bangsa yang telah ditaklukkan. Menolak menyembah penguasa dituduh sebagai tindakan melawan Negara. Dalam buku The Legacy of Rome, Profesor Ernest Barker menulis, ”Pendewaan kaisar [Romawi], dan pengabdian yang ia terima karena keilahiannya, jelas merupakan fondasi, atau setidaknya semacam semen, bagi kekaisarannya.”

      Hal ini tetap demikian bahkan setelah ”kekristenan” disahkan oleh Kaisar Konstantin (memerintah tahun 306-337 M) dan kemudian diadopsi sebagai agama Negara dari Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Theodosius I (memerintah tahun 379-395 M). Beberapa dari kaisar ”Kristen” disembah sebagai dewa hingga abad kelima M.

      ”Dua Kekuasaan”, ”Dua Pedang”

      Seraya kepausan menjadi semakin berkuasa, problem antara Gereja dan Negara kian meruncing. Oleh karena itu, pada akhir abad kelima M, Paus Gelasius I mengajukan prinsip ”dua kekuasaan”: wewenang suci dari paus berdampingan dengan kuasa kerajaan dari raja-raja—dengan raja-raja tunduk pada kekuasaan paus. Prinsip ini belakangan berkembang menjadi doktrin ”dua pedang”: ”Pedang rohani yang disandang oleh paus sendiri, dengan mendelegasikan pedang duniawi kepada para penguasa biasa, namun para penguasa ini harus menggunakan pedang duniawi tersebut menurut pengarahan sang paus.” (The New Encyclopædia Britannica) Atas dasar doktrin ini, selama Abad-Abad Pertengahan, Gereja Katolik menyatakan memiliki wewenang untuk menobatkan para kaisar dan raja agar dapat mengesahkan wewenang mereka, dengan demikian melestarikan mitos kuno dari ”takhta suci”.

      Akan tetapi, ini hendaknya tidak dikacaukan dengan apa yang disebut hak ilahi raja-raja, suatu perkembangan yang belakangan timbul yang ditujukan untuk membebaskan para penguasa politik dari ketundukan kepada kepausan. Teori hak pemberian ilahi ini menyatakan bahwa raja-raja mendapat wewenang untuk memerintah langsung dari Allah, bukan melalui paus dari Roma. New Catholic Encyclopedia menyatakan, ”Pada suatu waktu ketika paus mengerahkan kekuasaan rohani universal dan bahkan kekuasaan duniawi atas para kepala negara, gagasan tentang hak yang diberikan ilahi membuat raja-raja dari negara-negara yang berdaulat memiliki kedudukan untuk mengukuhkan wewenang mereka yang dianggap sama ilahinya dengan wewenang paus.”b

      Mitos Kedaulatan Rakyat

      Seraya berlalunya waktu, manusia mengusulkan sumber-sumber wewenang lain. Salah satunya adalah kedaulatan rakyat. Banyak orang percaya bahwa gagasan ini berasal dari Yunani. Akan tetapi, demokrasi Yunani purba hanya diterapkan pada beberapa negara-kota, dan bahkan di sini hanya warga pria yang memberikan suara. Wanita, budak, dan penduduk asing—diperkirakan setengah hingga empat per lima dari penduduk—tidak dilibatkan. Sama sekali bukan kedaulatan rakyat!

      Siapa yang mempromosikan gagasan kedaulatan rakyat? Sungguh mengherankan, ini diperkenalkan pada Abad-Abad Pertengahan oleh para teolog Katolik Roma. Pada abad ke-13, Thomas Aquinas berpendapat bahwa walaupun kedaulatan berasal dari Allah, ini diberikan kepada rakyat. Gagasan ini terbukti populer. New Catholic Encyclopedia mengatakan, ”Gagasan ini bahwa rakyat adalah sumber wewenang didukung oleh mayoritas terbesar teolog Katolik abad ke-17.”

      Mengapa para teolog gereja, yang rakyatnya tidak punya suara sama sekali dalam memilih paus, uskup, atau imam, mempromosikan gagasan kedaulatan rakyat? Karena beberapa raja di Eropa semakin resah di bawah wewenang kepausan. Teori kedaulatan rakyat memberi paus kekuasaan untuk menggulingkan kaisar atau raja jika dipandang perlu. Sejarawan Will dan Ariel Durant menulis, ”Para pembela kedaulatan rakyat termasuk banyak penganut Yesuit, yang melihat dalam pandangan ini suatu cara untuk melemahkan kerajaan yang menentang wewenang kepausan. Kardinal Bellarminus berkilah bahwa jika wewenang para raja berasal dari, dan oleh karena itu tunduk kepada, rakyat, jelaslah bahwa wewenang ini lebih rendah daripada wewenang paus . . . Luis Molina, seorang Yesuit berkebangsaan Spanyol, berkesimpulan bahwa rakyat, sebagai sumber wewenang duniawi, dapat dibenarkan—namun melalui prosedur yang tertib—memecat raja yang tidak adil.”

      Tentu saja, ”prosedur yang tertib” diatur oleh paus. Menegaskan hal ini, harian Katolik Prancis Histoire Universelle de l’Eglise Catholique mengutip Biographie universelle, yang menyatakan, ”Bellarminus . . . mengajarkan sebagai doktrin Katolik yang umum bahwa para pangeran memperoleh kekuasaan karena dipilih rakyat, dan bahwa rakyat dapat menjalankan hak ini hanya di bawah pengaruh paus.” (Cetak miring Red.) Dengan demikian, kedaulatan rakyat menjadi alat yang dapat digunakan paus untuk mempengaruhi pemilihan para penguasa dan, jika perlu, memecat mereka. Baru-baru ini, kedaulatan rakyat telah memungkinkan hierarki Katolik mempengaruhi orang-orang Katolik yang memberikan suara dalam demokrasi perwakilan.

      Dalam demokrasi modern, hak kekuasaan pemerintah didasarkan atas apa yang disebut ”persetujuan dari mereka yang diperintah”. Namun, sebaik apa pun, hal ini merupakan ”persetujuan mayoritas”, dan karena adanya ketidakpedulian para pemberi suara dan tipu daya politik, dalam kenyataan ”mayoritas” ini sering kali hanya merupakan minoritas dari rakyat. Dewasa ini, ”persetujuan dari mereka yang diperintah” sering mengartikan tidak lebih daripada ”persetujuan tanpa protes, atau pengunduran, dari mereka yang diperintah”.

      Mitos Kedaulatan Nasional

      Mitos takhta suci yang dipromosikan oleh para paus yang mula-mula, membawa dampak buruk bagi kepausan sewaktu hal itu berubah menjadi hak ilahi raja-raja. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat menjadi bumerang bagi Gereja Katolik. Selama abad ke-17 dan ke-18, para filsuf duniawi, seperti Thomas Hobbes dan John Locke yang berkebangsaan Inggris dan Jean-Jacques Rousseau yang berkebangsaan Prancis, menganggap rendah gagasan kedaulatan rakyat. Mereka mengembangkan jenis teori ”kontrak sosial” antara para penguasa dan mereka yang dikuasai. Prinsip-prinsip mereka didasarkan bukan pada teologi namun pada ”hukum alam”, dan konsep tersebut menghasilkan gagasan yang sangat membahayakan Gereja Katolik dan kepausan.

      Tidak lama setelah kematian Rousseau, Revolusi Prancis meletus. Revolusi ini melenyapkan beberapa gagasan tentang hak kekuasaan, namun hal ini menciptakan gagasan yang baru, kedaulatan nasional. The New Encyclopædia Britannica mengomentari, ”Orang-orang Prancis menyangkal hak ilahi raja-raja, kekuasaan kaum bangsawan, hak-hak istimewa Gereja Katolik Roma.” Namun, Britannica mengatakan, ”Revolusi telah menghasilkan penemuan baru, negara-bangsa, menuju kedewasaan.” Para revolusioner membutuhkan ”penemuan” baru ini. Mengapa?

      Karena di bawah sistem yang telah dianjurkan Rousseau, semua warga memiliki suara yang sama dalam memilih para penguasa. Ini akan menghasilkan suatu demokrasi yang didasarkan pada hak pilih universal—sesuatu yang tidak disukai para pemimpin Revolusi Prancis. Profesor Duverger menjelaskan, ”Sangatlah tepat untuk menghindari akibat ini, yang dianggap tidak menyenangkan, bahwa, sejak tahun 1789 hingga 1791, kaum borjuis dari Dewan Konstituante menemukan teori kedaulatan nasional. Mereka mengidentifikasi rakyat dengan ’Bangsa’, yang mereka anggap sebagai suatu kesatuan yang nyata, berbeda dari bagian-bagian yang membentuknya. Bangsa itu sendiri, melalui wakil-wakilnya, berhak menjalankan kedaulatan . . . Demokrasi dalam penampilan, doktrin tentang kedaulatan nasional sebenarnya sama sekali bukan demokrasi, karena ini dapat digunakan untuk membenarkan hampir semua bentuk pemerintahan, khususnya autokrasi.” (Cetak miring Red.)

      Upaya Manusia Suatu Kegagalan

      Diterimanya Negara-Bangsa sebagai sumber wewenang yang sah menimbulkan nasionalisme. The New Encyclopædia Britannica menyatakan, ”Nasionalisme sering dianggap sudah sangat tua; kadang-kadang dengan keliru nasionalisme dianggap sebagai faktor yang permanen dalam perilaku politik. Sebenarnya, revolusi Amerika dan Prancis dapat dianggap sebagai perwujudan pertamanya yang kuat.” Sejak terjadinya revolusi itu, nasionalisme telah melanda benua Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia. Perang-perang yang kejam telah disahkan demi nasionalisme.

      Sejarawan Inggris Arnold Toynbee menulis, ”Semangat Nasionalisme adalah ragi yang asam dari anggur baru Demokrasi dalam botol-botol tua Sukuisme. . . . Kompromi yang aneh antara Demokrasi dan Kesukuan ini telah jauh lebih kuat dalam politik praktis dari Dunia Barat modern kita daripada Demokrasi itu sendiri.” Nasionalisme tidak menghasilkan dunia yang damai. Toynbee berkata, ”Setelah berhenti sejenak, Peperangan Agama telah diikuti oleh Peperangan Kebangsaan; dan dalam Dunia Barat modern kita, semangat fanatisme agama dan kebangsaan jelas merupakan nafsu jahat yang sama.”

      Melalui mitos-mitos dari ”takhta suci”, ”hak ilahi raja-raja”, ”kedaulatan rakyat”, dan ”kedaulatan nasional”, para penguasa telah berupaya mengesahkan kekuasaan mereka atas sesama manusia. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan catatan mengenai para penguasa manusiawi, seorang Kristen mau tidak mau setuju dengan kata-kata yang diucapkan oleh Salomo, ”Orang yang satu menguasai orang yang lain hingga ia celaka.”—Pengkhotbah 8:9.

      Sebaliknya daripada menyembah Negara politik, orang-orang Kristen menyembah Allah dan mengakui bahwa Ia adalah sumber dari segala wewenang yang sah. Mereka setuju dengan pemazmur Daud yang berkata, ”Ya [Yehuwa], punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya [Yehuwa], punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala.” (1 Tawarikh 29:11) Namun, untuk menghormati Allah, mereka memperlihatkan respek yang sepatutnya kepada kalangan berwenang duniawi maupun rohani. Bagaimana dan mengapa mereka dapat melakukan hal ini dengan sukacita akan dibahas dalam dua artikel berikut ini.

      [Catatan Kaki]

      a Droit constitutionnel et institutions politiques, oleh Maurice Duverger.

      b The Catholic Encyclopedia menyatakan, ”’Hak ilahi raja-raja ini’ (sangat berbeda dengan doktrin bahwa semua wewenang, milik raja atau republik, berasal dari Allah), tidak pernah disetujui oleh Gereja Katolik. Pada waktu timbulnya Reformasi, gagasan ini bertanggung jawab atas suatu bentuk permusuhan sengit terhadap paham Katolik, raja-raja seperti Henry VIII, dan James I, dari Inggris, menuntut wewenang penuh secara rohani dan sipil.”

      [Gambar di hlm. 15]

      Gereja Katolik menyatakan memiliki wewenang untuk menobatkan para kaisar dan raja

      [Keterangan]

      Consecration of Charlemagne: Bibliothèque Nationale, Paris

  • Pandangan Kristen terhadap Wewenang
    Menara Pengawal—1994 | 1 Juli
    • Pandangan Kristen terhadap Wewenang

      ”Tidak ada wewenang kecuali oleh Allah.”​—ROMA 13:1, ”NW”.

      1. Mengapa dapat dikatakan bahwa Yehuwa adalah Wewenang Tertinggi?

      WEWENANG dikaitkan dengan kedudukan sebagai pencipta. Pribadi Tertinggi yang menjadikan segala ciptaan, yang hidup maupun benda mati, adalah Allah Yehuwa. Ia tak disangkal lagi adalah Wewenang Tertinggi. Orang-orang Kristen sejati memiliki perasaan yang sama seperti makhluk-makhluk surgawi yang berseru, ”Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.”—Wahyu 4:11.

      2. Bagaimana para penguasa manusia pada zaman dahulu dalam beberapa hal mengakui bahwa mereka tidak memiliki hak bawaan untuk menguasai sesama mereka, dan apa yang dikatakan Yesus kepada Pontius Pilatus?

      2 Fakta bahwa banyak penguasa manusia pada zaman dahulu berupaya mengesahkan wewenang mereka dengan mengaku sebagai dewa atau sebagai wakil dewa merupakan pengakuan bisu bahwa tak seorang manusia pun memiliki hak warisan untuk memerintah atas manusia lain.a (Yeremia 10:23) Satu-satunya sumber wewenang yang sah adalah Allah Yehuwa. Kristus memberi tahu Pontius Pilatus, gubernur Romawi untuk Yudea, ”Engkau tidak mempunyai kuasa [”wewenang”, NW] apapun terhadap Aku, jikalau kuasa [”wewenang”, NW] itu tidak diberikan kepadamu dari atas.”—Yohanes 19:11.

      ”Tidak Ada Wewenang kecuali oleh Allah”

      3. Apa yang dikatakan rasul Paulus berkenaan ”kalangan berwenang yang lebih tinggi”, dan pertanyaan-pertanyaan apa ditimbulkan oleh kata-kata Yesus dan Paulus?

      3 Rasul Paulus menulis kepada orang-orang Kristen yang hidup di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi, ”Hendaklah setiap jiwa tunduk kepada kalangan berwenang yang lebih tinggi, karena tidak ada wewenang kecuali oleh Allah; wewenang-wewenang yang ada ditempatkan dalam kedudukan mereka yang relatif oleh Allah.” (Roma 13:1, NW) Apa yang dimaksud Yesus sewaktu ia berkata bahwa wewenang Pilatus telah diberikan kepadanya ”dari atas”? Dan dengan cara apa Paulus menganggap bahwa wewenang politik pada zamannya ditempatkan dalam kedudukan mereka oleh Allah? Apakah mereka bermaksud bahwa Yehuwa secara pribadi bertanggung jawab atas pelantikan setiap penguasa politik dunia?

      4. Apa julukan yang diberikan Yesus dan Paulus kepada Setan, dan pengakuan apa dari Setan tidak disangkal Yesus?

      4 Mengapa bisa demikian, mengingat Yesus menyebut Setan ”penguasa dunia ini”, dan rasul Paulus menjuluki Setan ”ilah zaman ini”? (Yohanes 12:31; 16:11; 2 Korintus 4:4) Selanjutnya, sewaktu menggoda Yesus, Setan menawarkan kepadanya ”wewenang” atas ”semua kerajaan dari bumi yang berpenduduk”, mengaku bahwa wewenang ini telah diserahkan kepadanya. Yesus menolak tawarannya, namun ia tidak menyangkal bahwa Setan dapat memberikan wewenang demikian.—Lukas 4:5-8, NW.

      5. (a) Bagaimana kita seharusnya memahami kata-kata Yesus dan Paulus berkenaan kalangan berwenang manusia? (b) Dalam arti apa kalangan berwenang yang lebih tinggi ”ditempatkan dalam kedudukan mereka yang relatif oleh Allah”?

      5 Yehuwa menyerahkan pemerintahan atas dunia ini kepada Setan dengan mengizinkannya hidup setelah pemberontakannya dan setelah ia menggoda Adam serta Hawa dan telah menyebabkan mereka memberontak melawan kedaulatan-Nya. (Kejadian 3:1-6; bandingkan Keluaran 9:15, 16.) Oleh karena itu, kata-kata Yesus dan Paulus pasti berarti bahwa setelah pasangan manusia pertama di Eden menolak teokrasi, atau pemerintahan oleh Allah, Yehuwa mengizinkan manusia yang jauh dari-Nya untuk menciptakan struktur wewenang yang akan memungkinkan mereka hidup dalam suatu masyarakat yang teratur. Kadang-kadang, demi melaksanakan maksud-tujuan-Nya, Yehuwa telah menyebabkan kejatuhan beberapa penguasa atau pemerintahan. (Daniel 2:19-21) Yang lain-lain Ia biarkan tetap berkuasa. Berkenaan para penguasa yang keberadaannya telah ditoleransi oleh Yehuwa, dapat dikatakan bahwa mereka ”ditempatkan dalam kedudukan mereka yang relatif oleh Allah”.

      Umat Kristen Masa Awal dan Kalangan Berwenang Romawi

      6. Bagaimana umat Kristen masa awal memandang kalangan berwenang Romawi, dan mengapa?

      6 Umat Kristen masa awal tidak berkomplot dengan sekte-sekte Yahudi yang bersekongkol dan berjuang melawan orang-orang Romawi yang menduduki Israel. Sejauh menyangkut wewenang Romawi, dengan sistem undang-undangnya yang dikodifikasi, memelihara ketertiban di darat dan di laut; membangun banyak saluran air yang berguna, jalan-jalan, serta jembatan; dan yang terutama bertindak demi kesejahteraan masyarakat, umat Kristen menganggap mereka sebagai ’pelayan [atau ”hamba”, catatan kaki, NW] Allah bagi mereka demi kebaikan mereka’. (Roma 13:3, 4, NW) Hukum dan ketertiban menghasilkan suatu lingkungan yang memungkinkan umat Kristen memberitakan kabar baik ke segala penjuru, seperti yang diperintahkan oleh Yesus. (Matius 28:19, 20) Dengan segenap hati nurani yang baik, mereka dapat membayar pajak yang dipungut oleh orang-orang Romawi, bahkan jika sebagian uang tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak disetujui Allah.—Roma 13:5-7.

      7, 8. (a) Apa yang disingkapkan oleh pembacaan yang saksama dari Roma 13:1-7, dan apa yang diperlihatkan oleh ikatan kalimatnya? (b) Di bawah keadaan-keadaan apa kalangan berwenang Romawi tidak bertindak sebagai ”pelayan Allah”, dan dalam kasus ini, sikap apa dimiliki oleh umat Kristen masa awal?

      7 Pembacaan yang saksama dari tujuh ayat pertama dari Roma pasal 13 menyingkapkan bahwa ”kalangan berwenang yang lebih tinggi” merupakan ”pelayan Allah” untuk memuji orang-orang yang melakukan yang baik dan untuk menghukum orang-orang yang mempraktekkan apa yang buruk. Konteksnya memperlihatkan bahwa Allah, bukannya kalangan berwenang yang lebih tinggi, yang menentukan apa yang baik dan apa yang jahat. Maka, jika kaisar Romawi atau pribadi berwenang politik mana pun menuntut hal-hal yang Allah larang, atau, sebaliknya, melarang sesuatu yang Allah tuntut, ia tidak lagi bertindak sebagai pelayan Allah. Yesus berkata, ”Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Matius 22:21) Jika Negara Romawi menuntut hal-hal yang merupakan milik Allah, seperti misalnya suatu ibadat atau kehidupan seseorang, orang-orang Kristen yang sejati menaati nasihat sang rasul, ”Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.”—Kisah 5:29.

      8 Penolakan umat Kristen masa awal untuk mempraktekkan ibadat kepada kaisar dan berhala, untuk mengabaikan perhimpunan Kristen mereka, dan berhenti memberitakan kabar baik mendatangkan penganiayaan. Secara umum dipercaya bahwa rasul Paulus dieksekusi atas perintah Kaisar Nero. Kaisar-kaisar lain, khususnya Domitian, Marcus Aurelius, Septimius Severus, Decius, dan Diocletian, juga menganiaya umat Kristen masa awal. Sewaktu kaisar-kaisar ini dan kalangan berwenang di bawah mereka menganiaya umat Kristen, mereka tentu saja tidak bertindak sebagai ”pelayan Allah”.

      9. (a) Apa yang tetap terbukti benar berkenaan kalangan berwenang politik, dan dari siapa binatang politik ini menerima kuasa dan wewenang? (b) Apa yang dapat secara masuk akal dikatakan berkenaan ketundukan Kristen kepada kalangan berwenang yang lebih tinggi?

      9 Semua ini memberi gambaran bahwa meskipun kalangan berwenang politik yang lebih tinggi berperan dalam beberapa aspek sebagai ”pengaturan Allah” untuk memelihara masyarakat umat manusia yang tertib, mereka tetap menjadi bagian dari sistem perkara-perkara dunia yang ilahnya adalah Setan. (1 Yohanes 5:19) Mereka termasuk dalam organisasi politik sedunia yang dilambangkan oleh ”binatang buas” (NW) dari Wahyu 13:1, 2. Binatang tersebut menerima kuasa dan wewenangnya dari ”naga besar itu”, Setan si Iblis. (Wahyu 12:9) Maka, masuk akal, ketundukan orang Kristen kepada kalangan berwenang demikian bersifat relatif, bukan mutlak.—Bandingkan Daniel 3:16-18.

      Respek yang Sepatutnya terhadap Wewenang

      10, 11. (a) Bagaimana Paulus memperlihatkan bahwa kita hendaknya penuh respek terhadap pria-pria berwenang? (b) Bagaimana dan mengapa doa-doa dapat dipanjatkan ”untuk raja-raja dan untuk semua pembesar”?

      10 Namun, hal ini tidak berarti bahwa orang-orang Kristen harus memiliki sikap menantang yang terang-terangan terhadap kalangan berwenang politik. Memang, banyak dari pria-pria ini tidak secara khusus layak menerima respek dalam kehidupan pribadi mereka, atau bahkan kehidupan mereka yang diketahui umum. Namun, rasul-rasul, dengan teladan dan nasihat mereka, memperlihatkan bahwa pria-pria yang berwenang ini hendaknya diperlakukan dengan respek. Sewaktu Paulus menghadap Raja Herodes Agripa II, ia berbicara kepadanya dengan hormat yang sepatutnya.—Kisah 26:2, 3, 25.

      11 Paulus bahkan mengatakan bahwa pantas untuk menyebutkan kalangan berwenang duniawi dalam doa-doa kita, khususnya jika mereka dituntut untuk membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan aktivitas Kristen kita. Ia menulis, ”Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan. Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Timotius 2:1-4) Sikap kita yang penuh respek terhadap kalangan wewenang demikian dapat memungkinkan mereka mengizinkan kita untuk lebih bebas melaksanakan pekerjaan kita dalam berupaya menyelamatkan ”semua orang”.

      12, 13. (a) Nasihat yang seimbang apa berkenaan kalangan berwenang diberikan Petrus? (b) Bagaimana kita dapat menetralkan ”kepicikan orang-orang yang bodoh” yang menciptakan prasangka terhadap Saksi-Saksi Yehuwa?

      12 Rasul Petrus menulis, ”Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik. Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkemkan kepicikan orang-orang yang bodoh. Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah. Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!” (1 Petrus 2:13-17) Nasihat yang sungguh seimbang! Kita berutang ketundukan yang sepenuhnya kepada Allah sebagai budak-Nya, dan kita memberikan ketundukan yang relatif dan penuh respek kepada kalangan berwenang politik yang diutus untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat.

      13 Telah didapati bahwa banyak kalangan berwenang duniawi memiliki kesalahpahaman yang sangat ganjil mengenai Saksi-Saksi Yehuwa. Biasanya ini disebabkan karena mereka telah diberi keterangan yang keliru oleh musuh-musuh yang dengki dari umat Allah. Atau mungkin juga bahwa semua yang mereka ketahui tentang kita mereka dengar dari media massa, yang tidak selalu objektif dalam liputan mereka. Kadang-kadang kita dapat mengatasi prasangka ini dengan sikap kita yang penuh respek dan, jika mungkin, dengan memperlengkapi kalangan berwenang dengan sebuah gambaran yang akurat tentang pekerjaan dan kepercayaan Saksi-Saksi Yehuwa. Bagi para pejabat yang sibuk, brosur Saksi-Saksi Yehuwa Pada Abad Kedua Puluh menyediakan penjelasan yang singkat. Untuk keterangan yang lebih lengkap, mereka dapat diberi buku Saksi-Saksi Yehuwa—Pemberita Kerajaan Allah, sebuah alat bagus yang layak memperoleh tempat di rak buku dari perpustakaan setempat atau perpustakaan umum nasional.

      Wewenang Dalam Rumah Kristen

      14, 15. (a) Apa dasar bagi wewenang di dalam rumah tangga Kristen? (b) Apa yang hendaknya menjadi sikap dari para istri Kristen terhadap suami mereka, dan mengapa?

      14 Sudah jelas bahwa jika orang-orang Kristen dituntut oleh Allah untuk memperlihatkan respek yang sepatutnya kepada kalangan berwenang duniawi, mereka hendaknya juga merespek struktur wewenang yang ditetapkan Allah di dalam rumah tangga Kristen. Rasul Paulus dengan kata-kata yang singkat menguraikan prinsip kekepalaan yang terdapat di antara umat Yehuwa. Ia menulis, ”Aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.” (1 Korintus 11:3) Ini adalah prinsip teokrasi, atau pemerintahan oleh Allah. Apa yang tercakup dalam hal ini?

      15 Respek kepada teokrasi dimulai di rumah. Seorang istri Kristen yang tidak memperlihatkan respek yang sepatutnya kepada wewenang suaminya—tidak soal sang suami seorang rekan seiman atau bukan—tidak bersikap teokratis. Paulus menasihatkan orang-orang Kristen, ”Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus. Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.” (Efesus 5:21-24) Sebagaimana pria-pria Kristen harus tunduk kepada kekepalaan Kristus, wanita-wanita Kristen hendaknya mengakui hikmat dari ketundukan kepada wewenang yang diberikan Allah yang dimiliki suami mereka. Hal ini akan memberikan kepada mereka kepuasan batin yang dalam dan, lebih penting lagi, berkat Yehuwa.

      16, 17. (a) Bagaimana anak-anak yang dibesarkan dalam rumah Kristen membedakan diri mereka dari banyak anak muda dewasa ini, dan apa hendaknya motivasi yang mereka miliki? (b) Bagaimana Yesus merupakan teladan yang bagus bagi anak-anak muda dewasa ini, dan mereka dianjurkan untuk melakukan apa?

      16 Anak-anak yang teokratis senang memperlihatkan respek yang sepatutnya kepada orang-tua mereka. Berkenaan generasi muda pada hari-hari terakhir, dinubuatkan bahwa mereka akan ”berontak terhadap orang tua”. (2 Timotius 3:1, 2) Namun kepada anak-anak Kristen, Firman yang terilham dari Allah berkata, ”Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.” (Kolose 3:20) Respek kepada wewenang orang-tua menyenangkan Yehuwa dan mendatangkan berkat-Nya.

      17 Hal ini diilustrasikan dalam contoh Yesus. Catatan Lukas berkata, ”Ia pulang bersama-sama mereka [orang-tuanya] ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan [”terus tunduk kepada”, NW] mereka. . . . Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi [”diperkenan”, NW] oleh Allah dan manusia.” (Lukas 2:51, 52) Yesus berusia 12 tahun pada waktu itu, dan bentuk kata kerja Yunani yang digunakan di sini menekankan bahwa ia ”terus tunduk” kepada orang-tuanya. Jadi, ketundukannya tidak berakhir sewaktu ia memasuki masa remajanya. Jika kalian anak-anak muda ingin maju dalam kerohanian dan diperkenan oleh Yehuwa dan orang-orang yang saleh, saudara akan memperlihatkan respek kepada wewenang di dalam dan di luar rumah kalian.

      Wewenang Dalam Sidang

      18. Siapakah Kepala dari sidang Kristen, dan kepada siapa ia mendelegasikan wewenang?

      18 Berbicara tentang perlunya ketertiban di dalam sidang Kristen, Paulus menulis, ”Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera. . . . Segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur [atau, ”berdasarkan ketertiban”, catatan kaki, NW].” (1 Korintus 14:33, 40) Agar segala sesuatu berlangsung dengan tertib, Kristus, Kepala sidang Kristen, telah mendelegasikan wewenang kepada pria-pria yang setia. Kita membaca, ”Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, . . . tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.”—Efesus 4:11, 12, 15.

      19. (a) Siapa yang Kristus lantik atas segala miliknya di bumi, dan kepada siapa ia memberikan wewenang khusus? (b) Pendelegasian wewenang apa terjadi dalam sidang Kristen, dan hal ini menuntut apa di pihak kita?

      19 Di zaman akhir ini, Kristus telah melantik kelompok ”hamba yang setia dan bijaksana” atas ”segala miliknya”, atau kepentingan Kerajaan di bumi. (Matius 24:45-47) Seperti pada abad pertama, hamba ini diwakili oleh badan pimpinan dari pria-pria Kristen terurap yang kepadanya Kristus telah memberikan wewenang untuk membuat keputusan dan melantik pengawas-pengawas lain. (Kisah 6:2, 3; 15:2) Selanjutnya, Badan Pimpinan mendelegasikan wewenang kepada Panitia Cabang, para pengawas distrik dan wilayah, dan para penatua di dalam setiap sidang di antara lebih dari 73.000 sidang Saksi-Saksi Yehuwa di seluruh bumi. Semua pria Kristen yang berbakti ini layak menerima dukungan dan respek kita.—1 Timotius 5:17.

      20. Contoh apa memperlihatkan bahwa Yehuwa tidak senang dengan orang-orang yang kurang merespek rekan-rekan Kristen yang berwenang?

      20 Berkenaan respek yang harus kita perlihatkan kepada mereka yang berwenang di dalam sidang Kristen, sebuah perbandingan yang menarik dapat dibuat dengan ketundukan yang harus kita perlihatkan kepada kalangan berwenang duniawi. Sewaktu seseorang melanggar sebuah hukum manusia yang Allah setujui, hukuman yang akan ditegakkan oleh ”mereka yang berkuasa”, sebenarnya, adalah pernyataan tidak langsung dari murka Allah ”ke atas orang yang mempraktekkan apa yang buruk”. (Roma 13:3, 4, NW) Jika Yehuwa murka sewaktu seseorang melanggar hukum manusia dan kurang memiliki respek yang sepatutnya kepada kalangan berwenang duniawi, pastilah betapa jauh lebih tidak senang Ia jika seorang Kristen yang berbakti mencemoohkan prinsip-prinsip Alkitab dan memperlihatkan sikap tidak respek kepada rekan-rekan Kristen yang berwenang!

      21. Nasihat Alkitab apa yang akan senang kita ikuti, dan apa yang akan dibahas pada artikel berikut?

      21 Sebaliknya daripada mendatangkan murka Allah dengan memiliki sikap yang memberontak atau sikap ingin bebas, kita akan mengikuti nasihat Paulus kepada orang-orang Kristen di Filipi, ”Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia.” (Filipi 2:12-15) Tidak seperti angkatan sekarang yang bengkok hatinya dan sesat yang telah menimpakan ke atas diri mereka suatu krisis wewenang, umat Yehuwa bersedia tunduk kepada wewenang. Dengan demikian mereka menuai manfaat-manfaat besar, sebagaimana kita akan lihat pada artikel berikut.

      [Catatan Kaki]

      a Lihat artikel sebelum ini.

      Sebagai Tinjauan Kembali

      ◻ Siapakah Wewenang Tertinggi, dan mengapa wewenang-Nya sah?

      ◻ Dalam arti apa kalangan berwenang yang lebih tinggi ”ditempatkan dalam kedudukan mereka yang relatif oleh Allah”?

      ◻ Kapan kalangan berwenang yang lebih tinggi tidak lagi bertindak sebagai ”pelayan Allah”?

      ◻ Struktur wewenang apa terdapat dalam keluarga-keluarga Kristen?

      ◻ Pendelegasian wewenang apa terdapat dalam sidang Kristen?

      [Gambar di hlm. 18]

      Yesus berkata, ”Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar”

  • Ketundukan dengan Sukacita kepada Wewenang
    Menara Pengawal—1994 | 1 Juli
    • Ketundukan dengan Sukacita kepada Wewenang

      ”Kamu menjadi taat dari hati.”​—ROMA 6:17, ”NW”.

      1, 2. (a) Roh apa nyata di dunia dewasa ini, dan siapa sumbernya serta apa pengaruhnya? (b) Bagaimana hamba-hamba Yehuwa yang berbakti memperlihatkan bahwa mereka berbeda?

      ”ROH yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka” dengan sangat mengejutkan nyata dewasa ini. Ini adalah roh kebebasan yang tak terkendali, yang bersumber dari Setan, ”penguasa kerajaan angkasa [”wewenang atas udara”, NW]”. Roh ini, ”udara” ini, atau sikap mementingkan diri dan ketidaktaatan yang dominan, menjalankan ”wewenang” atau kuasa, atas kebanyakan di antara umat manusia. Ini adalah salah satu alasan mengapa dunia ini mengalami apa yang disebut krisis wewenang.—Efesus 2:2.

      2 Syukurlah, hamba-hamba Yehuwa yang berbakti dewasa ini tidak mengisi paru-paru rohani mereka dengan ”udara” yang tercemar, atau semangat memberontak ini. Mereka mengetahui bahwa ’murka Allah datang atas orang-orang durhaka’. Rasul Paulus menambahkan, ”Sebab itu janganlah kamu berkawan dengan mereka.” (Efesus 5:6, 7) Sebaliknya, orang-orang Kristen yang sejati berupaya untuk ”penuh dengan Roh [Yehuwa]”, dan mereka dengan gembira menerima ”hikmat yang dari atas”, yang adalah ”murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut”.—Efesus 5:17, 18; Yakobus 3:17.

      Ketundukan dengan Kerelaan kepada Kedaulatan Yehuwa

      3. Apa kunci kepada ketundukan dengan kerelaan, dan pelajaran besar apa diajarkan sejarah kepada kita?

      3 Kunci kepada ketundukan dengan kerelaan adalah pengakuan akan wewenang yang sah. Sejarah umat manusia memperlihatkan bahwa penolakan akan kedaulatan Yehuwa tidak mendatangkan kebahagiaan. Penolakan demikian tidak mendatangkan kebahagiaan kepada Adam dan Hawa, tidak pula kepada penghasut pemberontakan mereka, Setan si Iblis. (Kejadian 3:16-19) Dalam keadaannya yang direndahkan dewasa ini, Setan memiliki ’geram yang dahsyat’ karena ia tahu bahwa waktunya sudah singkat. (Wahyu 12:12) Perdamaian dan kebahagiaan umat manusia, ya, seluruh alam semesta ini, bergantung pada pengakuan universal akan kedaulatan Yehuwa yang adil-benar.—Mazmur 103:19-22.

      4. (a) Ketundukan dan ketaatan macam apa yang Yehuwa ingin untuk diperlihatkan oleh hamba-hamba-Nya? (b) Kita hendaknya diyakinkan akan hal apa, dan bagaimana sang pemazmur menyatakan hal ini?

      4 Namun, karena sifat-sifat-Nya yang seimbang secara menakjubkan, Yehuwa tidak berkenan terhadap ketaatan yang kaku. Ia sangat berkuasa, itu sudah pasti! Namun, Ia bukanlah seorang tiran. Ia adalah Allah kasih, dan Ia ingin segala ciptaan-Nya yang cerdas menaati Dia dengan kerelaan, didorong oleh kasih. Ia ingin mereka tunduk kepada kedaulatan-Nya karena mereka dengan segenap hati memilih untuk menempatkan diri di bawah wewenang-Nya yang adil-benar dan sah, merasa yakin bahwa tidak mungkin ada yang lebih baik bagi mereka selain daripada menaati Dia selama-lamanya. Macam orang yang Yehuwa inginkan untuk berada dalam alam semesta-Nya memiliki perasaan yang sama seperti sang pemazmur yang menulis, ”Taurat [Yehuwa] itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan [Yehuwa] itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah [Yehuwa] itu tepat, menyukakan hati; perintah [Yehuwa] itu murni, membuat mata bercahaya. Takut akan [Yehuwa] itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum [Yehuwa] itu benar, adil semuanya.” (Mazmur 19:8-10) Keyakinan yang penuh akan kebenaran dan keadilbenaran dari kedaulatan Yehuwa—ini harus menjadi sikap kita jika kita ingin hidup dalam dunia baru Yehuwa.

      Ketundukan dengan Sukacita kepada Raja Kita

      5. Bagaimana Yesus diberi imbalan karena ketaatannya, dan apa yang dengan rela kita akui?

      5 Kristus Yesus sendiri merupakan teladan yang sangat bagus dari ketundukan kepada Bapa surgawinya. Kita membaca bahwa ”ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib [”tiang siksaan”, NW]”. Paulus menambahkan, ”Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ’Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:8-11) Ya, kita dengan sukacita berlutut di hadapan Pemimpin dan Raja kita yang telah memerintah, Kristus Yesus.—Matius 23:10.

      6. Bagaimana Yesus telah terbukti sebagai seorang saksi dan seorang pemimpin bagi kelompok-kelompok nasional, dan bagaimana ’pemerintahannya sebagai pangeran’ akan terus berlanjut setelah kesengsaraan besar?

      6 Mengenai Kristus sebagai Pemimpin kita, Yehuwa menubuatkan, ”Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa, menjadi seorang raja dan pemerintah bagi suku-suku bangsa.” (Yesaya 55:4) Melalui pelayanannya di bumi dan melalui pengarahannya atas pekerjaan pengabaran dari surga setelah kematian dan kebangkitannya, Yesus telah memperlihatkan dirinya sebagai ”Saksi yang setia dan benar” dari Bapanya terhadap orang-orang dari segala bangsa. (Wahyu 3:14; Matius 28:18-20) Kelompok-kelompok nasional tersebut kini diwakili dalam jumlah yang bertambah oleh ”kumpulan besar”, yang akan selamat dari ”kesengsaraan besar” di bawah kepemimpinan Kristus. (Wahyu 7:9, 14, NW) Namun kepemimpinan Yesus tidak berakhir sampai di situ. ’Pemerintahannya sebagai pangeran’ akan berlangsung selama seribu tahun. Bagi manusia-manusia yang taat, ia akan hidup selaras dengan namanya yaitu ”Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja [”Pangeran”, NW] Damai”.—Yesaya 9:5, 6; Wahyu 20:6, NW.

      7. Jika kita ingin Kristus Yesus memimpin kita kepada ”mata air kehidupan”, apa yang harus kita lakukan tanpa menunda-nunda, dan apa yang akan menyebabkan kita dikasihi oleh Yesus dan Yehuwa?

      7 Jika kita ingin mendapat manfaat dari ”mata air kehidupan” ke tempat sang Anak Domba, Kristus Yesus, membimbing orang-orang yang berhati benar, kita harus tanpa menunda-nunda membuktikan melalui haluan tindakan kita bahwa kita dengan sukacita tunduk kepada wewenangnya sebagai Raja. (Wahyu 7:17; 22:1, 2; bandingkan Mazmur 2:12.) Yesus berkata, ”Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku. Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.” (Yohanes 14:15, 21) Apakah saudara ingin dikasihi oleh Yesus dan oleh Bapanya? Maka, tunduklah kepada wewenang mereka.

      Para Pengawas Memperlihatkan Ketaatan dengan Sukacita

      8, 9. (a) Apa yang Kristus telah sediakan untuk membangun sidang, dan dalam hal apa hendaknya pria-pria ini menjadi teladan bagi kawanan? (b) Bagaimana ketundukan dari para pengawas Kristen dilambangkan dalam buku Wahyu, dan bagaimana mereka hendaknya mencari suatu ”hati yang tunduk” sewaktu menangani masalah-masalah pengadilan?

      8 ”Jemaat tunduk kepada Kristus”. Sebagai Pengawas jemaat, ia telah menyediakan ”pemberian berupa pria-pria” bagi ”pembangunan” jemaat. (Efesus 4:8, 11, 12, NW; 5:24) Pria-pria yang lebih tua secara rohani ini diperintahkan untuk ’menggembalakan kawanan domba Allah yang ada pada mereka’, bukan ’memerintah atas orang-orang yang dipercayakan kepada mereka, tetapi hendaklah mereka menjadi teladan bagi kawanan domba itu’. (1 Petrus 5:1-3) Kawanan domba adalah milik Yehuwa, dan Kristus merupakan ”gembala yang baik” dari kawanan. (Yohanes 10:14) Karena para pengawas dengan sepatutnya mengharapkan kerja sama dengan kerelaan dari domba-domba yang telah dipercayakan Yehuwa dan Kristus untuk mereka gembalakan, mereka sendiri harus menjadi teladan yang bagus dari ketundukan.—Kisah 20:28.

      9 Pada abad pertama, para pengawas yang terurap, secara kiasan digambarkan berada ”di” atau ”pada”, tangan kanan Kristus, dengan demikian memperlihatkan ketundukan mereka kepadanya sebagai Kepala sidang jemaat. (Wahyu 1:16, 20; 2:1) Halnya tidak berbeda dewasa ini, para pengawas di dalam sidang jemaat Saksi-Saksi Yehuwa hendaknya tunduk kepada pengarahan Kristus dan ’merendahkan diri mereka di bawah tangan Allah yang kuat’. (1 Petrus 5:6) Sewaktu diminta untuk menangani masalah-masalah pengadilan, seperti Salomo selama tahun-tahun yang ia setia, mereka hendaknya berdoa kepada Yehuwa, ”Berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham [”tunduk”, NW] menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat.” (1 Raja 3:9) Hati yang tunduk akan menggerakkan seorang penatua untuk berupaya memandang perkara-perkara sebagaimana Yehuwa dan Yesus Kristus memandangnya sehingga keputusan yang dibuat di bumi secermat mungkin menyerupai apa yang dibuat di surga.—Matius 18:18-20.

      10. Bagaimana hendaknya semua penatua berupaya meniru Yesus dalam cara ia memperlakukan domba-domba?

      10 Para pengawas keliling dan para penatua sidang juga akan berupaya meniru Kristus dalam caranya ia memperlakukan domba-domba. Tidak seperti orang-orang Farisi, Yesus tidak membebankan banyak peraturan yang berat untuk diikuti. (Matius 23:2-11) Ia berkata kepada orang-orang yang seperti domba, ”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Matius 11:28-30) Meskipun benar bahwa setiap orang Kristen harus ”memikul tanggungannya sendiri”, para pengawas hendaknya mengingat teladan Yesus dan membantu saudara-saudara mereka untuk merasa bahwa beban tanggung jawab Kristen mereka ”enak”, ”ringan”, dan suatu sukacita untuk dipikulnya.—Galatia 6:5.

      Ketundukan Teokratis

      11. (a) Bagaimana seseorang dapat merespek kekepalaan namun tidak benar-benar teokratis? Ilustrasikan. (b) Apa yang dimaksud dengan benar-benar teokratis?

      11 Teokrasi adalah pemerintahan oleh Allah. Ini mencakup prinsip-prinsip kekepalaan yang dinyatakan di 1 Korintus 11:3. Tetapi ini berarti lebih daripada itu. Seseorang mungkin tampak memperlihatkan respek kepada kekepalaan namun tidak teokratis dalam arti sepenuhnya dari kata ini. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Sebagai ilustrasi, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dan seorang demokrat didefinisikan sebagai ”seseorang yang percaya kepada tujuan-tujuan demokrasi”. Seorang pria mungkin mengaku bersifat demokratis, ambil bagian dalam berbagai pemilihan, dan mungkin menjadi politisi yang aktif. Namun jika, dalam perilakunya secara umum, ia mencemooh semangat demokrasi dan semua prinsip yang tercakup, dapatkah dikatakan bahwa ia benar-benar demokratis? Demikian pula, untuk menjadi benar-benar teokratis, seseorang harus berbuat lebih banyak daripada sekadar di bibir tunduk kepada kekepalaan. Ia harus meniru jalan-jalan dan sifat-sifat Yehuwa. Ia harus benar-benar dipimpin oleh Yehuwa dalam segala segi. Dan karena Yehuwa telah mengaruniakan Putra-Nya dengan wewenang penuh, berlaku teokratis juga berarti meniru Yesus.

      12, 13. (a) Apa, khususnya, yang tercakup dalam berlaku teokratis? (b) Apakah ketundukan teokratis mencakup menaati banyak peraturan? Ilustrasikan.

      12 Ingat, Yehuwa menginginkan ketundukan dengan kerelaan yang dimotivasi oleh kasih. Ini merupakan cara-Nya memerintah alam semesta ini. Ia justru merupakan personifikasi dari kasih. (1 Yohanes 4:8) Kristus Yesus adalah ”cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”. (Ibrani 1:3) Ia menuntut murid-muridnya yang sejati untuk saling mengasihi satu sama lain. (Yohanes 15:17) Jadi, berlaku teokratis mencakup tidak hanya berlaku tunduk namun juga berlaku pengasih. Hal ini dapat diringkaskan sebagai berikut: Teokrasi merupakan pemerintahan oleh Allah; Allah adalah kasih; maka teokrasi adalah pemerintahan oleh kasih.

      13 Seorang penatua dapat beranggapan bahwa berlaku teokratis, saudara-saudara harus menaati segala macam peraturan. Beberapa penatua telah membuat peraturan berdasarkan saran-saran yang diberikan dari waktu ke waktu oleh ”hamba yang setia dan bijaksana”. (Matius 24:45) Misalnya, pernah disarankan agar lebih mudah mengenal saudara-saudara di sidang, adalah baik agar tidak selalu duduk di tempat yang sama di Balai Kerajaan. Ini dimaksudkan sebagai saran yang praktis, bukan suatu peraturan yang kaku. Tetapi beberapa penatua mungkin cenderung mengkonversikannya menjadi suatu peraturan dan merasa bahwa orang-orang yang tidak menaati hal ini tidak teokratis. Namun, bisa jadi ada banyak alasan baik mengapa seorang saudara atau saudari memilih untuk duduk di tempat tertentu. Jika seorang penatua tidak dengan pengasih mempertimbangkan hal-hal ini, apakah ia sendiri berlaku benar-benar teokratis? Untuk berlaku teokratis, ”lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!”—1 Korintus 16:14.

      Melayani dengan Sukacita

      14, 15. (a) Bagaimana seorang penatua dapat membuat beberapa saudara atau saudari kehilangan sukacita dalam melayani Yehuwa, dan mengapa hal ini tidak teokratis? (b) Bagaimana Yesus memperlihatkan bahwa ia menghargai kasih yang diperlihatkan oleh dinas kita, sebaliknya daripada jumlahnya? (c) Apa yang hendaknya dipertimbangkan oleh para penatua?

      14 Berlaku teokratis juga berarti melayani Yehuwa dengan sukacita. Yehuwa adalah ’Allah yang maha bahagia’. (1 Timotius 1:11) Ia ingin para penyembah-Nya melayani Dia dengan sukacita. Orang-orang yang secara kaku berpaut kepada peraturan-peraturan hendaknya mengingat bahwa di antara peraturan-peraturan yang bangsa Israel harus ”lakukan dengan setia” adalah sebagai berikut: ”Haruslah engkau bersukaria di hadapan [Yehuwa], Allahmu, karena segala usahamu.” (Ulangan 12:1, 18) Apa pun yang kita lakukan dalam dinas Yehuwa hendaknya merupakan sukacita, bukan beban. Banyak yang dapat dilakukan para pengawas untuk membuat saudara-saudara merasa bahagia dalam melakukan apa yang mereka dapat lakukan dalam melayani Yehuwa. Akan tetapi, jika para penatua tidak berhati-hati, mereka dapat membuat beberapa saudara kehilangan sukacita. Misalnya, jika mereka membanding-bandingkan, memuji orang-orang yang telah mencapai atau melampaui rata-rata jam sidang yang digunakan dalam pekerjaan kesaksian dan secara tidak langsung mengkritik orang-orang yang tidak mencapainya, bagaimana perasaan orang-orang yang mungkin memiliki alasan yang benar untuk melaporkan jumlah jam yang agak kurang? Bukankah ini akan menimbulkan dalam diri mereka perasaan bersalah yang tidak seharusnya dan membuat mereka kehilangan sukacita?

      15 Sedikit jam yang dapat dibaktikan beberapa orang dalam kesaksian umum mungkin merupakan upaya yang lebih besar dibanding banyak jam yang digunakan orang-orang lain dalam pengabaran, mengingat usia yang lebih muda, kesehatan yang lebih baik, dan keadaan lain. Dalam hal ini, para penatua tidak boleh menghakimi mereka. Sesungguhnya, kepada Yesuslah sang Bapa memberikan ’kuasa untuk menghakimi’. (Yohanes 5:27) Apakah Yesus mengkritik janda yang miskin karena persembahannya kurang dari rata-rata? Tidak, ia peka terhadap seberapa besar arti sebenarnya dari dua keping uang tersebut bagi sang janda. Itu merupakan ”semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya”. Sungguh kasih yang dalam kepada Yehuwa diwakili kedua keping tersebut! (Markus 12:41-44) Haruskah para penatua kurang peka terhadap upaya-upaya pengasih dari orang-orang yang secara angka memberikan di bawah ”rata-rata”? Diukur dari kasih kepada Yehuwa, upaya-upaya demikian bisa saja di atas rata-rata!

      16. (a) Jika para pengawas menggunakan angka-angka dalam khotbah mereka, mengapa mereka membutuhkan kebijaksanaan dan keseimbangan yang baik? (b) Bagaimana saudara-saudara dapat dibantu untuk meningkatkan dinas mereka?

      16 Haruskah kata-kata ini sekarang dikonversikan menjadi suatu ”peraturan” baru bahwa angka-angka—bahkan angka rata-rata—hendaknya jangan disebutkan? Sama sekali tidak! Intinya adalah bahwa para pengawas hendaknya bersikap seimbang antara menganjurkan saudara-saudara untuk meluaskan pelayanan mereka dan membantu mereka dengan sukacita melakukan apa yang dapat mereka lakukan. (Galatia 6:4) Dalam ilustrasi Yesus tentang talenta, sang majikan mempercayakan harta miliknya kepada budaknya ”masing-masing menurut kesanggupannya”. (Matius 25:14, 15) Demikian pula para penatua hendaknya mempertimbangkan kesanggupan setiap penyiar Kerajaan. Hal ini menuntut daya pengamatan. Mungkin saja ada yang benar-benar membutuhkan anjuran untuk melakukan lebih banyak. Mereka mungkin menghargai bantuan ke arah pengorganisasian yang lebih baik dari kegiatan mereka. Apa pun keadaannya, jika mereka dapat dibantu untuk dengan sukacita melakukan apa yang dapat mereka lakukan, sukacita tersebut kemungkinan akan menguatkan mereka untuk meluaskan kegiatan Kristen mereka jika mungkin.—Nehemia 8:11; Mazmur 59:17; Yeremia 20:9.

      Perdamaian yang Datang dari Ketundukan dengan Sukacita

      17, 18. (a) Bagaimana ketundukan dengan sukacita mendatangkan perdamaian dan keadilbenaran kepada kita? (b) Apa yang dapat menjadi milik kita jika kita sungguh-sungguh memperhatikan perintah-perintah Allah?

      17 Ketundukan dengan sukacita kepada kedaulatan yang sah dari Yehuwa mendatangkan perdamaian yang limpah bagi kita. Pemazmur berkata dalam doanya kepada Yehuwa, ”Besarlah ketenteraman pada orang-orang yang mencintai Taurat-Mu, tidak ada batu sandungan bagi mereka.” (Mazmur 119:165) Dengan menaati hukum Allah, kita mendatangkan manfaat bagi diri kita. Yehuwa memberi tahu Israel, ”Beginilah firman [Yehuwa], Penebusmu, Yang Mahakudus, Allah Israel: ’Akulah [Yehuwa], Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh. Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti’”.—Yesaya 48:17, 18.

      18 Korban tebusan Kristus memberikan kepada kita perdamaian dengan Allah. (2 Korintus 5:18, 19) Jika kita beriman kepada darah Kristus yang memberi tebusan dan dengan sungguh-sungguh berupaya melawan kelemahan kita dan melakukan kehendak Allah, kita akan mendapat kelegaan dari perasaan bersalah. (1 Yohanes 3:19-23) Iman demikian, yang didukung oleh perbuatan, memberikan kepada kita kedudukan yang adil-benar di hadapan Yehuwa dan harapan yang menakjubkan untuk selamat melampaui ”kesengsaraan besar” (NW) dan hidup kekal dalam dunia baru Yehuwa. (Wahyu 7:14-17; Yohanes 3:36; Yakobus 2:22, 23) Semua ini dapat menjadi milik kita ’sekiranya kita memperhatikan perintah-perintah Allah’.

      19. Kebahagiaan kita sekarang dan harapan hidup kekal kita bergantung kepada apa, dan bagaimana Daud menyatakan keyakinan kita yang tulus?

      19 Ya, kebahagiaan kita sekarang dan harapan hidup kekal kita dalam firdaus di bumi bertumpu pada ketundukan kita yang penuh sukacita kepada wewenang Yehuwa sebagai Tuhan Yang Maha Tinggi dari alam semesta. Semoga kita selalu memiliki perasaan seperti Daud, yang berkata, ”Ya [Yehuwa], punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya [Yehuwa], punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala. Sekarang, ya Allah kami, kami bersyukur kepada-Mu dan memuji nama-Mu yang agung itu.”—1 Tawarikh 29:11, 13.

      Pokok-Pokok untuk Diingat

      ◻ Ketundukan dan ketaatan macam apa yang Yehuwa inginkan untuk diperlihatkan oleh hamba-hamba-Nya?

      ◻ Bagaimana Yesus diberi imbalan karena ketaatannya, dan apa yang harus kita buktikan melalui haluan tindakan kita?

      ◻ Bagaimana hendaknya semua penatua berupaya untuk meniru Yesus dalam cara ia memperlakukan domba-domba?

      ◻ Apa yang tercakup dalam berlaku teokratis?

      ◻ Berkat-berkat apa yang didatangkan oleh ketundukan dengan sukacita kepada kita?

      [Gambar di hlm. 24]

      Para penatua menganjurkan kawanan untuk melakukan dengan penuh sukacita apa pun yang dapat mereka lakukan

      [Gambar di hlm. 26]

      Yehuwa berkenan kepada orang-orang yang menaati Dia dari hati

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2026)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan