PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g82_No6 hlm. 10-13
  • Bangsa-Bangsa—Bagaimana Asal-Usul Mereka?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Bangsa-Bangsa—Bagaimana Asal-Usul Mereka?
  • Sedarlah!—1982 (No. 6)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Pemikiran Berdasarkan Evolusi dan Bangsa
  • Apa yang Menyebabkan Adanya Variasi dalam Rumpun Bangsa?
  • Warna Kulit
  • Apakah Ada Bangsa-Bangsa Yang Lebih Unggul atau Lebih Rendah?
  • Jalan Keluar bagi problem Ras
  • Apa Gerangan Ras Itu?
    Sedarlah!—1993
  • Manakala Semua Ras Hidup Bersama dalam Damai
    Sedarlah!—1993
  • Rumpun Bangsa Manusia
    Bertukar Pikiran mengenai Ayat-Ayat Alkitab
  • Bagaimana dengan Kebanggaan Rasial?
    Sedarlah!—1998
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1982 (No. 6)
g82_No6 hlm. 10-13

Bangsa-Bangsa—Bagaimana Asal-Usul Mereka?

PADA suatu hari sepulangnya dari sekolah, seorang anak kulit putih mengatakan kepada ibunya: ”Aku mempunyai teman baru di sekolah. Bolehkan aku mengajaknya main-main ke rumah?”

”Orang apa dia?” tanya sang ibu.

”Aku tidak ingat. Besok saya lihat lagi.”

Kisah yang benar-benar terjadi ini menggambarkan bahwa dalam pikiran seorang anak hanya ada satu bangsa—bangsa manusia. Memang, itulah definisi dari salah sebuah kamus untuk kata ”bangsa.” Tetapi, ternyata bangsa atau umat manusia terbagi dalam banyak kelompok. Karena itu, definisi sebuah kamus lain untuk bangsa ialah ”pengelompokan suku-suku bangsa secara geografis, bangsa, atau suku.”

Ketegangan di antara orang-orang yang berlainan bangsa merupakan problem seluas dunia. Hal ini tidak terkecuali bahkan dalam masyarakat yang membanggakan diri menganut sistem persamaan bangsa. Pertimbangkan, misalnya, kerusuhan rasial di Inggris selama tahun 1981. Dalam salah satu kerusuhan itu saja, 149 polisi dan 58 penduduk sipil luka-luka. Juga, 120 bangunan rusak dan 47 toko dirampok.

Mengingat kejadian-kejadian seperti itu, apakah persatuan rasial, seperti yang sering terdapat di antara anak-anak, suatu hal yang tidak mungkin? Dan, dari mana asal-usul bangsa-bangsa?

Pemikiran Berdasarkan Evolusi dan Bangsa

Pada tahun 1859 tokoh teori evolusi, Charles Darwin menerbitkan bukunya The Origin of Species (Asal-Usul Jenis Bangsa). Di dalamnya ia mengajarkan bahwa ada persaingan di antara berbagai macam makhluk hidup dan bahwa yang paling cocok untuk hidup dalam suatu lingkungan tertentu akan terus hidup dan meneruskan jenisnya. Jenis-jenis yang kurang cocok akan mati. Karena itu timbul istilah, ”kelangsungan hidup dari yang paling cocok.” Pada tahun 1871 Darwin menulis sebuah buku berjudul “The Descent of Man” (”Asal-Usul Manusia”) yang mengajarkan bahwa manusia dan kera berkembang dari satu sumber yang sama.

Buku-buku tersebut menimbulkan pengaruh yang merusak atas hubungan bangsa-bangsa. Seperti dijelaskan oleh seorang ahli antropologi [ilmu asal-usul dan perkembangan bangsa-bangsa manusia] Sheila Patterson: ”Teori evolusi mengambil alih anggapan-anggapan sebelumnya yang membenarkan keunggulan bangsa-bangsa kulit putih. Karena yang disebut belakangan ini terus bertahan dan lebih sukses dari pada bangsa-bangsa lain, tentulah mereka lebih unggul dari pada mereka [bangsa-bangsa berkulit lain], bukan hanya dalam organisasi dan kecakapan, tetapi juga dalam setiap bidang lain, termasuk bidang mental dan moral.” Sikap ini membuat bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-19 lebih bertekad untuk memperluas jajahan mereka. Hal ini juga turut mengilhami Hitler dalam rencananya untuk mengembangkan suatu ”bangsa yang unggul” dan membasmi bangsa Yahudi dan bangsa2 lain yang dianggap cocok untuk hidup.

Namun, patut diperhatikan, baik Darwin maupun kebanyakan ilmiawan modern setuju bahwa umat manusia berasal dari satu sumber yang sama. Seperti dinyatakan oleh Encyclopedia Americana: ”Umat manusia adalah suatu rumpun bangsa biologis tunggal.” Penulis ilmu pengetahuan Amram Scheinfeld baru-baru ini menulis: ”Ilmu pengetahuan kini membenarkan apa yang lama berselang telah diberitakan oleh kebanyakan agama-agama besar: Manusia dari segala bangsa . . . berasal dari manusia pertama yang sama.”

Jadi meskipun Alkitab tidak ditulis oleh kaum ilmiawan, ia benar dalam menyatakan bahwa ”Dari satu orang saja Ia [Allah] telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi.”—Kisah 17:24, 26.

Apa yang Menyebabkan Adanya Variasi dalam Rumpun Bangsa?

Pada waktu sel sperma seorang pria bersatu dengan sel telur seorang wanita, maka terbentuklah suatu kehidupan manusia baru meskipun kedua orangtua tersebut berbeda bangsa. Namun dalam sel yang sangat kecil itu terdapat ribuan gen, yaitu penerus dari sifat-sifat keturunan. Sifat-sifat ini memantulkan ciri-ciri yang nampak pada orangtua atau nenek moyang lain.

Susunan genetika atau sifat-sifat keturunan dari manusia pertama, Adam, sedemikian rupa sehingga variasi yang luas dapat berkembang di antara keturunannya—misalnya warna kulit, warna rambut dan jaringan selnya, ukuran tubuh dan ciri-ciri raut muka. Variasi ini bertambah dengan adanya perbedaan bahasa dan tempat tinggal.

Mengenai pemisahan secara geografis Encyclopedia Americana menjelaskan: ”Apabila daratan yang didiami oleh dua kelompok penduduk atau lebih dipisahkan oleh lautan, pegunungan, padang pasir, atau rintangan-rintangan lain semacam itu, anggota-anggota dari kelompok penduduk tersebut terkurung dalam daerah mereka masing-masing. . . . bangsa-bangsa akan dipisahkan oleh perbedaan-perbedaan dalam jumlah unsur-unsur yang membentuk gen-gen sesuai dengan batas-batas geografis. . . . keadaan ini terdapat di Afrika, di mana Gurun Sahara membentuk batas antara bangsa-bangsa Eropa (kulit putih) dan Afrika (kulit hitam). Gurun Sahara sangat jarang penduduknya dan sulit untuk dilalui manusia; tempat itu menjadi pemisah untuk waktu yang lama.”

Jadi rintangan-rintangan genetika, bahasa dan tempat tinggal di bumi membantu menjelaskan mengapa terdapat kelompok-kelompok bangsa tertentu di semua bagian dari bumi.

Warna Kulit

Menurut Alkitab, seluruh umat manusia berasal dari Nuh, melalui ketiga putranya Sem, Yafet dan Ham. Kejadian pasal 10 mendaftarkan 70 keturunan dari Nuh dengan mengatakan: ”Dari mereka itulah berpencar bangsa-bangsa di bumi.” (Kejadian 10:32) Salah satu cara menggolongkan bangsa-bangsa ini adalah dengan warna kulit. Pada kulit semua manusia yang normal terdapat pigmen [zat warna] coklat kehitaman yang disebut melanin.

Nuh dan ketiga putranya semua mempunyai sejumlah pigmen yang berwarna gelap ini. Dari Sem lahir bangsa Babel, Asyur, Yahudi dan Arab yang berbeda-beda warna kulitnya dari yang kuning langsat sampai sawo matang. Keturunan Yafet, yang termasuk bangsa-bangsa Indo-Eropa, berbeda-beda dari yang berkulit putih sampai yang berwarna coklat tua. Mengenai Ham (yang berarti kehitam-hitaman atau terbakar oleh matahari), beberapa dari keturunannya, tetapi tidak semua, berkulit hitam. Bangsa Mesir, yang berkulit sawo matang, berasal dari putra Ham, Misraim. Putra Ham yakni Kanaan, yang dikutuk oleh Allah karena tingkah lakunya yang buruk, adalah nenek moyang dari bangsa Kanaan yang berkulit putih.

Selaras dengan ini, Dr. Hughes, seorang profesor antropologi di Universitas Toronto, mengatakan: ”Di setiap benua, dan dalam tiap bangsa yang terpisah tempatnya, terdapat banyak tingkatan variasi dalam . . . pigmen kulit, . . . bangsa Tamil dari India Selatan oleh banyak ahli antropologi dianggap sebagai anggota dari bangsa utama Kaukasoid [Indo-Eropa berkulit putih], namun pigmen kulit mereka lebih hitam dari pada banyak bangsa Negro Afrika.”

Ini semua memperlihatkan betapa bodohnya untuk menafsirkan bahwa kutukan Allah terhadap Kanaan ditujukan kepada suatu bangsa yang berkulit hitam. Semua golongan umat manusia mempunyai pigmen gelap dalam kulit mereka, ada dalam jumlah sedikit, yang lain lebih banyak.

Apakah Ada Bangsa-Bangsa Yang Lebih Unggul atau Lebih Rendah?

Baru-baru ini, di Amerika Serikat, diadakan penelitian yang menyangkut anak-anak kulit hitam yang diadopsi oleh 101 keluarga kulit putih yang mendapat pendidikan di atas rata-rata. Majalah Psychology Today yang melaporkan tentang hal ini mengatakan bahwa anak-anak kulit hitam, dalam tes I.Q., ”mendapat angka lebih tinggi dari pada angka rata-rata nasional dari anak-anak kulit hitam maupun putih, teristimewa jika mereka diadopsi sejak kecil.”

Meskipun demikian, dengan patokan apa keunggulan atau kekurangan suatu bangsa dinilai? Dengan patokan-patokan peradaban Barat yang mengalami kenaikan yang menakutkan dalam penyakit jantung, kanker dan penyakit lain, yang secara mengejutkan meningkat dalam perbuatan seks yang tidak wajar dan kekerasan? Atau oleh patokan-patokan dari beberapa suku bangsa yang disebut primitif, seperti orang-orang kerdil bangsa Yamana, Chencu atau Kongo? Pertimbangkan bagaimana seorang ahli, almarhum Profesor Kern, melukiskan contoh anggota yang khas dari suku-suku ini:

”Dalam seluruh kehidupannya ia senang berada bersama dengan anak-anak, dan ia mengenal dan mengasihi bahkan makhluk-makhluk hidup yang terkecil yang mendiami daerahnya. . . . Ia . . . lembut dan sabar terhadap orang-orang yang cacat dan tua . . . dan ia puas dengan kehidupannya dan bekerja di luar rumah. . . . tidak ada lagi peradaban lain yang kehidupannya lebih bahagia. Bunuh diri di sini lebih jarang dari pada di manapun.”

Dalam mempertimbangkan beberapa fakta ini, kita dapat menghargai pandangan dari Pencipta umat manusia mengenai bangsa-bangsa yang berlainan. Di bawah ilham roh suci Allah rasul Petrus, seorang Yahudi, mengatakan: ”Sekarang saya sungguh-sungguh menyadari bahwa Allah memperlakukan semua orang sama. Orang yang takut kepada Allah dan berbuat yang benar, orang itu diterima oleh Allah, tidak peduli ia dari bangsa apa.”—Kisah 10:34, 35, Perjanjian Baru dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari.

Apakah gereja-gereja Susunan Kristen selalu memperlakukan ”semua orang sama”? Pertimbangkanlah bagaimana Gereja-Gereja Katolik dan Luteran mendukung rencana Hitler untuk menghasilkan suatu ”bangsa yang unggul.” Dan selama berabad-abad Gereja Katolik mengajarkan bahwa bangsa Negro adalah bangsa yang terkutuk. John F. Maxwell menyatakan dalam bukunya Slavery and the Catholic Church (Perbudakan dan Gereja Katolik) bahwa pandangan ini ”rupanya tetap bertahan sampai tahun 1873 ketika Paus Pius IX menambahkan sebuah indulgensi kepada doa untuk ’orang-orang Etiopia yang malang di Afrika Tengah semoga Allah Yang Mahakuasa pada akhirnya menyingkirkan kutukan atas Cham [Ham] dari hati mereka.’” (Huruf miring dari redaksi) Dan bahkan sampai sekarang beberapa organisasi gereja secara terang-terangan mempraktekkan diskriminasi ras.

Tidak soal bagaimana kaum politik dan agama memandang persoalannya, Alkitab dan ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa semua bangsa sama dan berasal dari satu sumber yang sama. Menarik sekali, The Great Soviet Encyclopedia, 1970, Jil. 2, halaman 149, menyebutkan ”konsep ilmiah tentang persamaan bangsa-bangsa” dan mengakui gagasan bahwa umat manusia mempunyai satu sumber yang ”sah secara ilmiah.”

Jalan Keluar bagi problem Ras

Karena menerapkan prinsip-prinsip Alkitab, Saksi-Saksi Yehuwa, yang terdiri dari segala bangsa, dipersatukan dalam ibadat. Selain perhimpunan mingguan sidang yang tetap, setiap tahun mereka mengadakan kebaktian-kebaktian besar di seluruh dunia. Di antara kumpulan orang banyak yang berbahagia ini, kita dapat melihat orang-orang dari banyak bangsa beribadat, makan dan berbicara bersama. Seperti dinyatakan oleh penulis Katolik William J. Whalen dalam U.S. Catholic: ”Saya percaya bahwa salah satu ciri yang paling menarik dari agama ini adalah kebijaksanaan tradisionalnya yaitu persamaan bangsa. Orang-orang Negro yang menjadi Saksi-Saksi Yehuwa tahu bahwa mereka akan disambut sebagai manusia yang seutuhnya.”

Namun, meskipun orang-perorangan telah berubah, umat manusia secara keseluruhan menderita akibat kekerasan rasial yang meningkat dan peperangan. Mengenai jalan keluarnya, direktur dari Lembaga Hubungan Antar Bangsa di London, Philip Mason, mengatakan sebagai berikut: ”Satu-satunya harapan duniawi untuk masa depan kita . . . terletak pada . . . suatu pemerintahan dunia. . . . Kita seharusnya menantikan harinya pada waktu kedaulatan nasional setapak demi setapak akan diserahkan kepada suatu pemerintahan dunia.” Inilah tepatnya apa yang dimaksudkan oleh Allah Yang Mahakuasa. Namun, bangsa-bangsa terlalu angkuh untuk ’menyerahkan’ kedaulatan kepada pemerintahan Allah, kerajaan surgawiNya. Sebaliknya, tidak lama lagi kerajaan Allah akan membinasakan semua pemerintahan manusia dan mendatangkan keselarasan dan perdamaian ke atas bumi untuk dinikmati oleh orang-orang yang taat dari segala bangsa.—Daniel 2:44; Mazmur 37:29.

[Tabel/Gambar di hlm. 11]

Semua keturunan putra-putra Nuh mempunyai berbagai macam warna kulit

HAM SEM YAFET

Bangsa Kanaan berkulit Bangsa Eropa berkulit Bangsa Yahudi kuning langsat putih sampai bangsa berkulit kuning

sampai Negro India yang hitam sampai Arab

yang lebih hitam

[Gambar di hlm. 12]

”Orang yang takut kepada Allah dan berbuat yang benar, orang itu diterima oleh Allah, tidak peduli ia dari bangsa apa”

[Gambar di hlm. 13]

Penulis Katolik William Whalen mengatakan: ’Salah satu ciri yang paling menarik dari Saksi-Saksi Yehuwa adalah kebijaksanaan tradisionil mereka yaitu persamaan bangsa’

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan