PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w81_No37 hlm. 27-31
  • Pertanyaan Pembaca

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Pertanyaan Pembaca
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1981 (No. 37)
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1981 (No. 37)
w81_No37 hlm. 27-31

Pertanyaan Pembaca

● Kami menerima dari orang-orang yang sudah berkeluarga cukup banyak pertanyaan mengenai masalah seks, sebagai akibat dari pendapat-pendapat yang secara luas disiarkan oleh sumber-sumber duniawi. Pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut hubungan kelamin, KB, sterilisasi (pemandulan) dan aborsi (pengguguran kandungan). Berikut ini kami berikan komentar sejauh yang kami rasa kami berwenang untuk memberikannya.

Perkawinan berasal dari sumber ilahi, yaitu Allah Yehuwa. Pencipta manusialah yang memberikan istri sebagai pelengkap kepada Adam. Apakah penyelenggaraan ini dimaksudkan sekedar untuk persahabatan tanpa hubungan kelamin antara suami-istri? Menurut Alkitab tidaklah demikian. Alkitab mengatakan bahwa Allah memerintahkan pasangan pertama ini, ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi.”—Kej. 1:28.

Ayat ini membantu kita untuk memahami bagaimana Yehuwa sendiri memandang perkawinan. Tujuan utama perkawinan adalah agar manusia berkembang biak atau melahirkan anak. (Kej. 1:28; 2:18) Hal ini tidak akan terlaksana dengan cara parthenogenesis, yakni pertumbuhan sebutir telur tanpa pembuahan. Sebaliknya, untuk mentaati instruksi Allah diperlukan hubungan kelamin atau persetubuhan antara suami-istri. Jadi hubungan intim yang suci dan menyenangkan demikian hendaknya tidak dipandang salah atau keji. Hubungan itu terhormat dan kudus, sebagai cara guna meneruskan kehidupan manusia. Namun, Alkitab jelas memperlihatkan bahwa di kalangan orang-orang Kristen, persetubuhan itu harus dibatasi hanya antara suami dengan istrinya saja. Sang Pencipta mengutuk hubungan kelamin di luar lingkungan ini, ”Sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.”—Ibr. 13:4.

Tetapi, karena hubungan kelamin suami-istri juga dimaksudkan untuk memuaskan nafsu berahi, maka beberapa orang telah menanyakan tentang praktek-praktek hubungan seks tertentu. Kami harus menjawab bahwa bukanlah hak orang-orang luar untuk mengatur pasangan yang sudah kawin tentang cara bagaimana mereka akan melaksanakan segi yang intim ini dalam perkawinan mereka.

Alat kelamin pria dan wanita disediakan oleh Allah untuk digunakan dalam melaksanakan tugas luhur ini, yaitu untuk ’beranakcucu dan bertambah banyak’. Kami tak perlu menguraikan cara bagaimana alat-alat ini bekerja sama guna mencapai maksud itu. Caranya alat-alat tersebut dirancang sudah cukup jelas memperlihatkannya. Orang-orang yang sudah kawin mengetahui cara yang wajar bahwa alat kelamin sang suami cocok dengan saluran kelahiran dari istrinya untuk melaksanakan maksud yang serius dari pembiakan itu.

Akan tetapi, ada beberapa orang yang berkata bahwa apa saja yang dilakukan antara suami-istri diperbolehkan. Namun, pandangan yang seperti itu tidak didukung oleh Alkitab. Di kitab Roma 1:24-32, disebut mengenai kaum pria maupun wanita yang ikut serta dalam praktek-praktek seks yang imoral, di antara praktek-praktek lesbian (wanita dengan wanita) dan sodomi (segala bentuk hubungan kelamin yang tidak wajar yang dulu pernah dipraktekkan oleh orang-orang Sodom, yang salah satu di antaranya ialah homoseks). Dalam ayat itu Alkitab juga menyebut ”persetubuhan yang wajar dengan istri [penggunaan yang wajar dari wanita, NW]”. Jadi jelas dari ayat ini bahwa penggunaan yang menyimpang demikian dari alat-alat pembiakan untuk memuaskan keinginan yang tamak akan kesenangan seks tidaklah diperkenan Allah. Jadi, sama juga halnya dengan pasangan-pasangan yang sudah kawin; mereka tidak patut menyimpang dari ”penggunaan yang wajar dari wanita”. Di banyak tempat bahkan undang-undang mendukung hal ini, dengan menegaskan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu antara suami-istri ilegal (melanggar hukum). Misalnya, majalah Time, tertanggal 8 Agustus 1969, sewaktu memperbincangkan tentang Amerika Serikat, berkata, ”Sodomi ilegal dalam hampir setiap negara bagian, biarpun antara suami dan istri.” (Mereka yang belum mengetahui cara bagaimana penyeleweng ini dilakukan hendaknya berterima kasih karena hal itu aib sebab Allah Yehuwa mendesak orang-orang Kristen untuk menjadi ”anak-anak dalam [hal] kejahatan”.—1 Kor. 14:20.)

Mengingat kebutuhan mereka bersama, hubungan kelamin adalah satu cara bagi suami-istri mengungkapkan kasih sayang dan rasa cinta yang dalam satu sama lain. Apakah masih selaras dengan ini jika seseorang oleh karena alasan yang mementingkan diri meminta kepada teman hidupnya untuk ikut dalam penggunaan alat-alat pembiakan dengan cara yang keji, melakukan sesuatu hal yang teman hidupnya sendiri tidak sukai, hanya untuk memuaskan nafsunya sendiri? Apakah itu cara yang penuh kasih sayang? Tidak ada orang waras yang akan merusak tubuh jasmaninya sendiri, atau memaksakan atas tubuhnya suatu praktek yang menjijikkan. Kitab Suci menyebut suami-istri sebagai sedaging. (Ef. 5:28-31) Maka itu, apakah seorang suami atau istri yang waras dan pengasih akan meminta perbuatan-perbuatan seks yang oleh teman hidupnya secara patut dianggap sebagai praktek yang tidak wajar dan menjijikkan? Nyatalah, bahwa wewenang atas tubuh teman hidup seseorang bukannya lepas kendali atau tidak dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Alkitab.—1 Kor. 7:1-5; Ams. 5:15-19.

Kadang kala ada orang-orang yang merasa bahwa pengendalian diri berkenaan masalah seks hanyalah perlu bagi orang yang masih lajang, sedangkan bila ia telah kawin hal itu dianggap tak perlu lagi. Namun, pandangan demikian tidaklah benar. Pengendalian diri adalah buah roh yang harus diperlihatkan dalam semua tindak-tanduk seseorang. (Gal. 5:22, 23) Karena kaum pria biasanya memiliki keinginan seks yang lebih besar, ia perlu menunjukkan pengendalian diri yang lebih besar pula, meskipun istrinya oleh karena sifat pengasih ingin memberikan kepuasan kepadanya. Ia hendaknya memberikan kehormatan kepada istri ”sebagai kaum yang lebih lemah”. (1 Ptr. 3:7) Dan ini dapat ia lakukan antara lain dengan menyadari bahwa keadaan seks istrinya berbeda dengan yang ada dalam dirinya. Hidup dengan istri secara ”bijaksana” juga berarti bahwa ia tidak hanya ingat untuk segera memuaskan dirinya dan kapan saja menurut cara yang ia sukai, tetapi ia seharusnya mempertimbangkan keadaan istrinya baik secara fisik maupun emosi.

Namun selain hal-hal di atas berkenaan masalah persetubuhan, kami tidak dapat memberikan komentar yang terlalu jauh. Dengan kasih, respek dan sifat tidak mementingkan diri, suami-istri sendirilah yang harus memutuskan apa yang mereka akan lakukan. Mereka dapat selalu mengingat pentingnya pengendalian diri dan juga ”lebih berbahagia memberi dari pada menerima”.—Kis. 20:35.

Bertalian dengan soal ini adalah masalah birth control (KB). Sebagaimana telah kami sebut di atas, perkembangbiakan adalah tujuan utama dari perkawinan menurut Alkitab. Kami benar-benar percaya bahwa anak-anak diberikan sebagai berkat, atau seperti disebut dalam Mazmur 127:3, ”Buah kandungan adalah suatu upah.” Jika demikian, apakah ini berarti bahwa semua orang Kristen diwajibkan kawin dan melahirkan anak-anak? Apakah hamba-hamba Allah dewasa ini bertanggung jawab secara pribadi untuk menjalankan perintah yang Allah berikan kepada Nuh dan putra-putranya, ”Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi”?—Kej. 9:1.

Tidak, Alkitab tidak mengatakannya sebagai suatu kewajiban dewasa ini. Yesus sendiri mengatakan bahwa beberapa murid akan menghindari perkawinan ”karena Kerajaan sorga”. (Mat. 19:10-12) Dan rasul Paulus diilhami untuk menjelaskan secara khusus bahwa keadaan lajang memberi kebebasan yang lebih besar untuk melayani Tuhan. (1 Kor. 7:32-34, 38) Juga, beberapa orang Kristen yang sudah kawin, agar dapat menikmati kebebasan yang lebih besar untuk melayani Allah, atau karena alasan-alasan ekonomi maupun kesehatan, telah memutuskan untuk membatasi besarnya keluarga mereka dengan menjalankan KB. Alkitab tidak secara langsung membahas KB, maka tiap suami-istri dapat mempertimbangkan pokok-pokok di atas dan mengambil kesimpulan sendiri. Mereka yang dewasa ini berusaha agar tidak mempunyai anak tidak melanggar perintah manapun yang Allah berikan kepada orang-orang Kristen, tetapi mereka yang sudah mempunyai keturunan sekarang, juga tidak salah.—Gal. 6:5.

Ada banyak metode KB yang digunakan. Kami sebagai suatu perkumpulan Alkitab tidaklah pada tempatnya untuk mengusulkan atau menyetujui salah satu dari cara-cara tersebut. Jika suami-istri ingin menjalankan KB—biarlah kami menandaskan bahwa hal ini sama sekali adalah keputusan pribadi—mereka harus memutuskan sendiri bagaimana melaksanakannya. Mungkin ada akibat sampingan (side effect) fisik yang ditimbulkan oleh cara-cara tertentu untuk pencegahan kehamilan. Maka soal itu hendaknya dipertimbangkan. Segi lainnya yang perlu dipikirkan adalah apakah metode tertentu mungkin dalam salah satu atau lain hal melanggar prinsip-prinsip Kristen.

Misalnya, para sarjana sendiri tidak pasti mengenai cara bekerjanya intrauterine device (IUD), yang kadang-kadang disebut ”cincin rahim” atau ”spiral”. Sebuah laporan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) PBB tahun 1968, menyebutkan, ”Benar tidaknya IUD mempengaruhi pembuahan pada wanita belum dibuktikan secara pasti. . . . Penemuan-penemuan pada jenis-jenis lainnya [hewan] memperlihatkan bahwa pencegahan bersatunya sel telur betina dengan sel jantan (pembuahan) dalam tabung [fallopian (saluran yang dilalui oleh sel telur)] bukanlah penjelasan tentang cara bekerjanya IUD sebagai anti kesuburan pada binatang menyusui.” (Seri Laporan Teknis No. 397, halaman 11) JIKA alat ini membiarkan pembuahan namun menghalangi perkembangan sel telur yang telah dibuahi itu dalam tingkatan selanjutnya, maka hal itu akan sama saja dengan pengguguran, ditinjau dari pandangan Alkitab. (Aborsi akan dibahas belakangan.) Kami sebagai suatu Perkumpulan tidak mengadakan pencobaan-pencobaan dengan IUD tersebut, jadi kami tidak dapat mengatakan boleh atau tidak. Masing-masing suami-istri harus mempertimbangkan faktor-faktornya dan rela bertanggung jawab di hadapan Allah atas keputusan yang mereka ambil.

Salah satu tindakan pencegahan kehamilan yang banyak pendukungnya adalah sterilisasi (pemandulan) sukarela. Pembedahan dilakukan agar seorang pria atau wanita dimandulkan untuk tujuan KB. Kadang-kadang operasi ini disebut ”bersifat sementara” karena seperti diakui, keadaan semula dapat dikembalikan lagi. Namun fakta menunjukkan bahwa di antara 4 persen yang dilaporkan berusaha untuk pengembalian demikian, kurang dari setengah yang berhasil dan meskipun bisa, ada risiko-risiko yang sangat berbahaya untuk kaum wanita dalam kehamilan-kehamilan berikutnya. Itulah sebabnya mengapa seorang penulis berkat bahwa ”sterilisasi harus dianggap suatu langkah yang permanen, yang tidak dapat diubah lagi”. (Tentu yang kami maksudkan adalah operasi yang tujuannya tak lebih dari pada sterilisasi, bukan suatu operasi untuk membuang jaringan yang kena penyakit seperti kanker kandungan. Dalam hal yang terakhir ini, hilangnya kesanggupan seseorang untuk berkembang biak mungkin merupakan suatu akibat yang menyedihkan dan barangkali tidak dapat dielakkan, dan bukan itu sebenarnya tujuan dari operasi tersebut.)

Tidak soal apakah disebut ”bersifat sementara” atau tidak, bagaimanakah pandangan Alkitab tentang sterilisasi? Alkitab tidak memperbolehkan sterilisasi di antara bangsa Israel. Sebaliknya, Ia melarang bangsaNya mengebirikan orang-orang, dengan berkata, ”Orang yang hancur buah pelirnya atau yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah TUHAN [Yehuwa].” (Ul. 23:1) Selanjutnya, Dia memberikan hukum-hukum untuk melindungi alat pembiakan itu. Jika seorang wanita yang sudah kawin membahayakan daya perkembangbiakan seorang laki-laki dalam suatu perkelahian, wanita itu akan dihukum berat atas perbuatannya itu.—Ul. 25:11, 12.

Memang benar, bahwa orang-orang Kristen tidak lagi di bawah tuntutan-tuntutan hukum Musa. (Rm. 6:14) Tetapi apakah seseorang betul-betul ingin mengetahui pandangan Allah atas soal-soal sterilisasi? Keterangan di atas adalah satu-satunya petunjuk yang terdapat dalam Alkitab. Orang-orang yang matang secara rohani sangat menghargai kesanggupan untuk memahami pandangan Allah sehingga langkah-langkah mereka dapat diarahkan sesuai dengan itu. Memang, bagi beberapa orang sterilisasi mungkin merupakan satu cara yang tidak banyak membutuhkan pengendalian diri atau akan menghindari bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kehamilan bagi wanita yang kesehatannya kurang baik, akan tetapi perhatikanlah sikap yang ditunjukkan dalam Mazmur 143:10, ”Ajarlah aku melakukan kehendakMu, sebab Engkaulah Allahku! Kiranya RohMu yang baik itu menuntun aku di tanah yang rata!” Orang-orang Kristen yang matang dewasa ini memperlihatkan sikap yang sama dalam membuat keputusan-keputusan mereka.

Satu soal terakhir yang ada hubungannya dengan pembahasan ini ialah aborsi (pengguguran). Di seluruh dunia seruan berupa protes semakin meningkat untuk merubah undang-undang mengenai aborsi. Para pendukung yang menghendaki perubahan sering mengatakan bahwa aborsi hendaknya disahkan bila seorang dokter yang telah mendapat ijin ”menganggap ada risiko besar yang akan sangat merugikan kesehatan fisik atau mental sang ibu atau bahwa anak akan dilahirkan dengan cacat badan atau mental yang parah jika kehamilan itu diteruskan”, atau hal-hal yang hampir sama dengan hal ini. Dalam soal legal (yang menyangkut hukum) ini kami tidak berpihak kepada siapapun juga, namun kami dapat memberi komentar atas apa yang Alkitab katakan yang berhubungan dengan pertanyaan apakah aborsi halal bagi seorang Kristen.

Sebagai dasar untuk pertanyaan ini adalah pandangan Alkitab bahwa kehidupan itu suatu karunia dari Allah dan suci. Baik kepada Nuh sebagai nenek moyang umat manusia setelah Air Bah maupun kepada bangsa Israel, Yehuwa melarang pembunuhan atau pencabutan nyawa orang lain. (Kej. 9:5, 6; Kel. 20:13) Tetapi bilakah kehidupan manusia dimulai? Ahli-ahli teologia dan para ilmuwan telah berulangkali mempersoalkan hal ini. Tetapi yang penting bagi orang-orang Kristen adalah pandangan Yehuwa.

Menurut hukum Allah yang diberikan kepada Musa, mudigah atau embryo manusia yang sedang bertumbuh sudah dianggap sebagai suatu kehidupan atau jiwa. Allah mengatakan, ”Apabila ada orang berkelahi dan seorang dari mereka tertumbuk kepada seorang perempuan yang sedang mengandung, sehingga keguguran kandungan, tetapi tidak mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka pastilah ia didenda sebanyak yang dikenakan oleh suami perempuan itu kepadanya. . . . Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa.” (Kel. 21:22, 23) Perhatikan bahwa Allah tidak mengatakan hal ini baru berlaku setelah beberapa minggu kehamilan berlangsung. Jika si wanita telah dibuahi dan menjadi hamil, perbuatan yang mengakibatkan matinya anak dalam kandungan —yang pada waktunya nanti dalam keadaan normal akan hidup sebagai suatu jiwa yang terpisah—tidak lain dari pembunuhan.

Karena itu, aborsi yang hanya untuk membebaskan diri dari anak yang tidak diingini sama saja dengan mencabut nyawa manusia secara sengaja. (1 Yoh. 3:15) Demikian juga halnya bila aborsi dilakukan karena seorang dokter memberi teori bahwa jika kehamilan itu dibiarkan berlangsung sepenuhnya akan timbul bahaya atas kesehatan atau kehidupan sang ibu.a Patut diingat bahwa pendapat-pendapat dari kalangan kedokteran, tidak soal betapa jujur motipnya, tetap merupakan pendapat-pendapat saja. Menurut laporan UPI, seorang wanita di Hull, Inggris, mempunyai problem penyakit jantung yang sedemikian parahnya sehingga ia harus menggunakan suatu alat listrik untuk merangsang jantungnya. Setelah ia mengandung, para dokter mengatakan ”ketegangan melahirkan akan menjadi terlalu berat”. Mereka menganjurkan supaya menggugurkan saja kandungan itu. Tetapi ia menolak. Ia mencari bantuan pengobatan agar dapat tetap hidup. Akhirnya ia melahirkan seorang putri yang segar bugar dan sambil memangku bayi yang baru lahir itu ia mengatakan, ”Ia seharga dengan risiko itu.”

Oleh karena pengaruh ketidaksempurnaan ada bahaya-bahaya yang menyangkut setiap kehamilan manusia. Alangkah berterima kasihnya kita bahwa Allah telah berjanji untuk merubah hal-hal ini di masa depan, dengan memulihkan kesehatan dan kesempurnaan manusia, bahkan membangkitkan dari kematian orang-orang yang setia kepadaNya. Maka memang adalah haluan yang bijaksana dewasa ini untuk berusaha sedapat mungkin memelihara taraf hidup dan kesehatan yang kita miliki, tetapi menghindari apapun juga yang dapat mengakibatkan hilangnya harapan hidup yang kekal dalam kesempurnaan.—Mat. 16:25-27; Why. 21:8.

Sebagai penutup, biarlah kami sebutkan bahwa jika sampai soal-soal KB dan hubungan suami-istri, selalu ada banyak pandangan-pandangan pribadi. Kami tidak berusaha untuk membahas semua hal yang demikian. Penjelasan di atas adalah untuk menerangkan apa yang kami temukan dalam Alkitab. Mungkin beberapa orang ingin agar kami memberikan nasihat yang lebih terperinci mengenai pokok-pokok tersebut atau untuk mengambil keputusan-keputusan bagi mereka. Kami tidak dapat melakukan hal itu. Namun, adalah harapan kami bahwa pembahasan ini betul-betul dapat memberi faedah.

[Catatan Kaki]

a Jika saat anak akan lahir harus dibuat suatu pilihan antara kehidupan sang ibu atau sang anak, maka terserah kepada orang-orang yang bersangkutan untuk membuat pilihan itu. Dalam keadaan seperti itu beberapa orang telah mengambil keputusan untuk menyelamatkan kehidupan sang ibu oleh karena peranannya yang penting bagi suaminya dan juga bagi anak-anak yang lain, jika sudah ada. Namun, berkat kemajuan-kemajuan dalam prosedur ilmu kedokteran di banyak negeri, hal seperti ini sudah sangat jarang terjadi.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan