PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w87_s-41 hlm. 3-5
  • Kasih kepada Allah​—Dorongan yang Kuat untuk Kebaikan Moral

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Kasih kepada Allah​—Dorongan yang Kuat untuk Kebaikan Moral
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1987 (s-41)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Sepuluh Perintah—Dorongan yang Kuat untuk Kebaikan
  • Apa Artinya Mengasihi Allah?
  • Kasih kepada Allah adalah Dorongan yang Kuat untuk Kebaikan
  • Kasih Tidak Pernah Gagal
  • ”Inilah Arti Kasih Akan Allah”
    ”Tetaplah Berada dalam Kasih Allah”
  • Hukum Kasih di Dalam Hati
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2005
  • Kasihilah Allah yang Mengasihi Saudara
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2006
  • Apa Artinya Mengasihi Sesama Kita
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2006
Lihat Lebih Banyak
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1987 (s-41)
w87_s-41 hlm. 3-5

Kasih kepada Allah​—Dorongan yang Kuat untuk Kebaikan Moral

ORANG-ORANG yang berakal sehat akan segera mengakui bahwa imoralitas perlu dikekang. Seperti dikatakan seorang rohaniwan dari United Church di Kanada, ”Bila pribadi-pribadi dan masyarakat mengabaikan hukum moral, akibatnya mengerikan; banyak peperangan, inflasi, Watergate, dan anarki.” Seperti diperlihatkan dalam artikel sebelumnya, agama-agama utama dari dunia ini ternyata bukan dorongan yang kuat dan ampuh untuk kebaikan moral. Jadi jika kita secara pribadi ingin menempuh kehidupan yang bermoral, kita harus berpaling kepada wewenang lain yang akan memberikan dorongan yang kuat sedemikian dan kemudian bersedia mematuhi wewenang itu.

Pengaruh dari wewenang yang lebih tinggi itu nyata dalam suatu peristiwa dalam kehidupan Yusuf, seorang Ibrani yang menjadi kepala rumah tangga dari seorang pejabat istana di Mesir. Ketika digoda oleh istri pejabat itu untuk mengadakan hubungan seks dengannya, Yusuf menolak, dan mengatakan, ”Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kejadian 39:7-9) Pengakuan akan wewenang Allah dan keinginan untuk menyenangkan Dia telah memberi Yusuf kekuatan moral untuk menolak rayuan wanita itu.

Dua ratus tahun kemudian, bangsa Israel, keturunan dari ayah Yusuf, Yakub, menerima Sepuluh Perintah sebagai bagian dari Taurat yang diberikan melalui Musa. Ketidaktaatan akan menimbulkan kemarahan Allah Yehuwa, sedangkan ketaatan kepada Hukum ini akan mendatangkan berkat-berkat ilahi. Jadi perintah-perintah ini menjadi bimbingan moral bagi bangsa itu.

Sepuluh Perintah—Dorongan yang Kuat untuk Kebaikan

Betapa ampuhkah dorongan dari Sepuluh Perintah? Pengaruhnya masih terasa bahkan dalam abad ke-20 ini. Pada tahun 1962 gubernur jendral dari Selandia Baru pada waktu itu, mengatakan, ”Saya pikir ada orang-orang yang menganggap Sepuluh Perintah sudah kuno. Tetapi bukan tanpa arti penting bahwa jika kita semua dengan setia mentaatinya dewasa ini, hukum yang biasa dari negeri ini akan menjadi terlalu berlebih-lebihan.”

Meskipun demikian, dalam suatu percakapan dengan seorang penguasa Yahudi muda, Yesus Kristus memperlihatkan bahwa lebih dari sekedar mentaati Sepuluh Perintah diperlukan. Pria muda itu bertanya, ”Perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Ketika Yesus mengatakan bahwa ia harus ’[terus, NW] menuruti segala perintah Allah’, sambil menyebutkan beberapa hukum dari Sepuluh Perintah, penguasa tersebut mengatakan, ”Semuanya itu telah kuturuti, apalagi yang masih kurang?” Yesus menjawab, ”Pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Kisah itu selanjutnya menuturkan, ”Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.”—Matius 19:16-22.

Suatu perbandingan dari kisah ini dengan kisah yang serupa di Lukas 10:25-28 membantu kita mengerti problem utama dari penguasa muda itu. Kita membaca, ”Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya, ’Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?’” Yesus membantunya memikirkan hal itu, dan sebagai hasil, orang tersebut dapat menjawab pertanyaannya sendiri, dengan mengemukakan intinya yaitu: ’Kasihilah [Yehuwa] Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan pikiranmu, dan sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ Yesus kemudian mengakhiri dengan mengatakan, ’[Teruslah, NW] berbuat demikian, maka engkau akan hidup.’

Nah, dapatkah saudara melihat problem dari penguasa muda yang disebutkan sebelumnya? Kasihnya kepada Allah dan kepada sesama manusia ditutupi oleh kasihnya akan harta benda. Betapa menyedihkan! Meskipun telah berusaha mentaati Sepuluh Perintah, ia berada dalam bahaya kehilangan hidup kekal.

Apa Artinya Mengasihi Allah?

Kita hidup pada suatu masa manakala kasih kepada Allah dan sesama telah digantikan oleh kasih untuk diri sendiri, harta benda, dan seks. Ya, bahkan kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta telah digantikan dalam banyak pikiran oleh kepercayaan kepada teori evolusi yang tidak dapat dibuktikan. Apa penyebab dari ini semua?

Selama berabad-abad, kaum pendeta Susunan Kristen menggunakan doktrin yang tidak didasarkan Alkitab tentang api neraka yang mengerikan dalam usaha untuk menguasai moral orang-orang. Encyclopedia International menyatakan, ”Dorongan yang kuat dan paling besar untuk kebaikan bagi orang-orang biasa sepanjang Abad-Abad Pertengahan tidak diragukan lagi adalah takut kepada neraka, yang membuat bahkan Raja-Raja dan Kaisar-Kaisar tunduk kepada Gereja, dan kemungkinan adalah satu-satunya kendali atas hawa nafsu mereka yang tidak dapat dikekang.” Doktrin api neraka menimbulkan kesan bahwa Allah tidak kasih, tidak berbelas kasihan, dan suka membalas dendam. Meskipun doktrin ini bisa jadi telah menjadi kekang bagi beberapa orang, hal itu telah menjauhkan banyak orang dari Allah, sehingga mereka menjadi mangsa yang empuk dari ajaran-ajaran dan teori-teori yang tidak berdasarkan Alkitab, seperti evolusi.

Tetapi, Alkitab tidak mengajar bahwa Allah menyiksa jiwa-jiwa dalam api neraka. Sebaliknya, rasul Yohanes memberitahu kita, ”Allah adalah kasih.” ”Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita.” Musa menulis, ”[Yehuwa], Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasihNya dan setiaNya.” (1 Yohanes 4:8; 1:9; Keluaran 34:6) Ini hanya beberapa dari sifat-sifat Allah yang mengagumkan. Hal itu menarik kita kepadaNya. Sifat-sifat ini, terutama kasihNyalah yang membuat kita ingin mengasihi Dia. ”Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (1 Yohanes 4:19) Kasih kepada Allah inilah merupakan dorongan yang terbesar untuk kebaikan moral; ini dapat membawa kepada hidup kekal!

Kasih yang sejati untuk Allah bukan hanya sifat abstrak. Ini menggerakkan seseorang untuk bertindak demi kepentingan orang lain. Rasul Paulus menyebutkan banyak cara bagaimana kasih ini dapat diperlihatkan. Beberapa di antaranya ialah, ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah.” (1 Korintus 13:4, 5) Memperlihatkan kasih ini adalah suatu usaha untuk meniru Bapa surgawi kita. Yesus mengatakan, ”Kedua perintah ini [mengasihi Allah dan sesama] meringkaskan seluruh hukum Taurat dan [kitab] Nabi-Nabi.” (Matius 22:40, An American Translation) Dengan kata lain, jika kita memperlihatkan kasih ini, kita tidak akan mencuri dari sesama kita atau membunuh dia atau berzinah dengan istrinya. Rasul Yohanes setuju, dan mengatakan, ”Inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintahNya.”—1 Yohanes 5:3.

Kasih kepada Allah adalah Dorongan yang Kuat untuk Kebaikan

Perhatikan pengaruh dari kasih kepada, Allah atas orang-orang Kristen yang mula-mula, seperti diperlihatkan oleh Tertullian, yang hidup pada abad kedua. Ia menantang lawan-lawannya untuk menunjukkan apakah ada satu orang Kristen di antara penjahat-penjahat mereka. Ketika mereka tidak dapat, ia menambahkan, ”Maka, hanya kami saja yang tidak melakukan kejahatan.” Buku The Old Roman World mendukung pandangan ini, dan mengatakan, ”Kami mempunyai bukti dari kehidupan mereka yang tidak dapat disalahkan, moral mereka yang tidak tercela.” Juga, Christianity Today mengutip sejarawan gereja Roland Bainton, ”Dari akhir masa Perjanjian Baru sampai dekade 170-180 tidak ada bukti apapun akan adanya orang-orang Kristen dalam kemiliteran.” Kasih kepada Allah menggerakkan mereka untuk mentaati Dia dengan menempuh kehidupan bermoral. Tetapi, saudara mungkin bertanya, ’Apakah ada bukti dari dorongan moral yang kuat dan bermanfaat ini pada jaman sekarang?’

Tentu ada! Kolomnis surat kabar Mike McManus menulis dalam Herald & Review bahwa ia belum pernah mendengar khotbah yang menentang seks sebelum perkawinan. Satu bulan kemudian ia melaporkan bahwa di antara surat-surat yang diterima sebagai jawaban ada satu dari seorang remaja berumur 14 tahun, salah seorang dari Saksi-Saksi Yehuwa yang menulis, ”Hanya memikirkan akan kejangkitan penyakit-penyakit ini saja seharusnya sudah cukup untuk mencegah kebanyakan orang [dari seks sebelum perkawinan]. Tetapi alasan mengapa Saksi-Saksi tidak melakukan itu ialah bahwa Yehuwa memerintahkan kita untuk menjauhkan diri dari percabulan.” (Cetak miring red.) Ketika mengomentari surat itu, McManus bertanya, ”Berapa banyak remaja usia 14 tahun di sidang jemaat anda dapat mengutip [kata-kata] St. Paulus dengan begitu jelas. (1 Kor. 6:18)?”

Prinsip yang sama untuk mentaati perintah-perintah Yehuwa, yang dikutip oleh gadis muda itu, diterapkan oleh Saksi-Saksi di daerah-daerah lain. Inti dari beberapa perintah Allah yang dicatat dalam Alkitab ialah, ’Hendaklah jujur dalam segala hal’, ’Hindari segala berhala’, ’Jauhkan diri dari darah dan percabulan’, ”Hendaklah berkata benar,” ’Didiklah anak-anakmu dalam jalan-jalan Allah’. (Ibrani 13:18; 1 Yohanes 5:21; Kisah 15:29; Efesus 4:25; 6:4) Apakah saudara memperhatikan Saksi-Saksi Yehuwa di sekitar tempat tinggal atau tempat kerja saudara berusaha mentaati perintah-perintah ini? Pernahkah saudara berpikir mengapa mereka berbuat demikian, mengapa mereka menolak transfusi darah, mengapa mereka menolak untuk berperang, mengapa mereka berkunjung ke rumah saudara, singkatnya, mengapa mereka berbeda? Kasih kepada Allah itulah jawabannya.

Kasih Tidak Pernah Gagal

Karena ingin menyenangkan Allah, Saksi-Saksi Yehuwa memperhatikan nasihat, ”Berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2) Pada waktu mereka belajar apa ”kehendak Allah” bagi mereka, mereka ingin melakukan itu. Kasih mereka kepada Allah adalah dorongan yang kuat di balik keinginan ini. Apakah saudara merasa bahwa ini hanya khayalan belaka, tidak praktis untuk jaman kita? Renungkan sejenak kisah berikut yang benar-benar terjadi.

Dulu, pada tahun 1963, José, dari São Paulo, Brasilia, mulai hidup bersama dengan Eugênia, yang sudah menikah. Dua tahun kemudian, mereka mulai belajar Alkitab dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Dari pelajaran ini pasangan tersebut belajar bahwa Allah menuntut agar ”kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan”. (Ibrani 13:4) Mereka menyadari bahwa mereka harus menikah, tetapi di Brasilia tidak ada undang-undang perceraian yang memungkinkan Eugênia bebas menikah dengan José. Tetapi, pada tahun 1977, ketika undang-undang perceraian mulai berlaku, ia mengajukan permohonan untuk bercerai, dan pada tahun 1980 mereka dapat menikah, memenuhi tuntutan Allah. Kasih mereka kepada Allah diberkati.

Inire telah mencoba segala macam obat bius di New York. Ia tinggal bersama pacarnya Ann. Karena membutuhkan uang, ia menyuruh Ann untuk mengirimkan foto-fotonya kepada sebuah majalah pria yang terkenal. Gadis ini mendapat tawaran sejumlah besar uang untuk berpose telanjang. Sementara itu, Inire mulai belajar Alkitab dengan Saksi-Saksi Yehuwa, dan belakangan Ann juga ikut. Inire berhenti menggunakan obat bius. Setelah tiga minggu mereka, dengan kemauan sendiri, memutuskan untuk menikah. Kemudian, ketika belajar dari Alkitab bahwa seorang Kristen harus berpakaian dengan bersahaja, Ann memutuskan bahwa ia tidak dapat dengan hati nurani bersih menyetujui untuk dipotret dalam pose telanjang, tidak soal berapa banyak uang yang ditawarkan. (1 Timotius 2:9) Menurut saudara apa yang mendorong perubahan sedemikian? Ann mengatakan ketika ia menyadari bahwa menjadi salah seorang dari Saksi-Saksi Yehuwa bukan sekedar mengikuti satu agama tetapi berarti menempuh kehidupan yang dibaktikan kepada Allah, ia tahu bahwa ia harus segera membuat perubahan. Benar, kasih kepada Allah adalah dorongan kuat yang besar untuk kebaikan.

Ada yang mungkin merasa, ’Ya, hal-hal ini jarang terjadi.’ Namun tidak demikian. Perubahan-perubahan yang serupa telah terjadi banyak kali di tempat-tempat di mana Saksi-Saksi Yehuwa aktif. Mengapa tidak meneliti hal ini lebih lanjut? Buktikan bagi diri anda sendiri bahwa kasih kepada Allah seperti dinyatakan dalam agama yang benar masih tetap merupakan kekuatan pendorong yang sesungguhnya untuk kebaikan moral.

[Gambar di hlm. 5]

Kasih kepada Allah dapat membantu saudara menolak bila digoda untuk berbuat salah

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan