PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w99 15/10 hlm. 12-17
  • Ampunilah dengan Segenap Hati Saudara

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Ampunilah dengan Segenap Hati Saudara
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1999
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Pengampunan Dibutuhkan—Dan Diperlihatkan kepada Kita
  • Kita Perlu Berupaya Mengampuni
  • Berdamai​—Mengampuni
  • ’Teruslah Ampuni Satu Sama Lain dengan Lapang Hati’
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1997
  • Ampunilah Satu Sama Lain dengan Lapang Hati
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2012
  • Mengapa Mengampuni?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1994
  • Apakah Saudara Mengampuni seperti yang Yehuwa Lakukan?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1994
Lihat Lebih Banyak
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1999
w99 15/10 hlm. 12-17

Ampunilah dengan Segenap Hati Saudara

”Dengan cara yang sama Bapak surgawiku akan memperlakukan kamu, jika kamu masing-masing tidak mengampuni saudaranya dari hatimu.”​—MATIUS 18:35.

1, 2. (a) Bagaimana seorang wanita yang dikenal sebagai pedosa memperlihatkan penghargaannya terhadap Yesus? (b) Apa yang hendak Yesus tandaskan sewaktu memberi jawaban?

WANITA itu tampaknya adalah seorang pelacur, dan orang semacam itu tidak diharapkan berada di rumah seorang tokoh agama. Sewaktu melihat wanita itu di sana, beberapa orang mulai geger, terlebih lagi sewaktu mereka melihat apa yang diperbuatnya. Wanita itu menghampiri pria yang paling luhur moralnya, kemudian memperlihatkan penghargaan atas pekerjaan pria itu, lalu mencucikan kaki pria itu dengan air matanya, kemudian mengeringkan kaki pria itu dengan rambutnya.

2 Pria itu, Yesus, tidak mengusir wanita ini, ”yang dikenal di kota itu sebagai orang berdosa”. Tetapi, Simon orang Farisi, yang adalah pemilik rumah itu, merasa resah karena wanita itu adalah pedosa. Yesus menjawab dengan menceritakan tentang dua pria yang berutang kepada seseorang yang meminjamkan uang. Pria yang satu berutang sangat banyak—kira-kira senilai upah buruh selama dua tahun kerja. Yang satu lagi hanya berutang sepersepuluhnya​—nilainya kurang dari upah buruh tiga bulan kerja. Sewaktu keduanya tidak sanggup melunasi utangnya, si pemberi pinjaman ”dengan lapang hati mengampuni mereka berdua”. Jelaslah, orang yang diberi lebih banyak pengampunan merasa lebih beralasan untuk membalasnya dengan kasih. Setelah mengaitkan ilustrasi ini dengan perlakuan baik hati wanita itu, Yesus menambahkan prinsip berikut ini: ”Dia yang diampuni sedikit, mengasihi sedikit.” Kemudian, ia berkata kepada wanita itu, ”Dosa-dosamu diampuni.”—Lukas 7:36-48.

3. Apa yang perlu kita tanyakan kepada diri sendiri?

3 Tanyakanlah diri saudara sendiri, ’Seandainya sayalah wanita itu atau seandainya saya berada dalam situasi serupa, namun belas kasihan diulurkan kepada saya, apakah setelah itu saya tidak akan sudi mengampuni orang lain?’ Saudara mungkin menjawab, ’Tentu saja saya sudi!’ Namun, apakah saudara benar-benar yakin bahwa saudara berkecenderungan untuk mengampuni orang lain? Apakah saudara sebenarnya adalah orang yang pemaaf? Seberapa seringkah saudara cepat mengampuni, dan apakah saudara dikenal sebagai orang yang pemaaf? Mari kita amati mengapa kita masing-masing perlu mengintrospeksi diri secara jujur.

Pengampunan Dibutuhkan—Dan Diperlihatkan kepada Kita

4. Tentang diri kita, fakta apa hendaknya kita akui?

4 Saudara tentu sadar bahwa saudara tidak sempurna. Jika diminta, saudara tidak akan segan-segan untuk mengakuinya, mungkin sambil mengingat kata-kata di 1 Yohanes 1:​8, ”Jika kita menyatakan, ’Kami tidak mempunyai dosa’, kita menyesatkan diri sendiri dan kebenaran tidak ada dalam diri kita.” (Roma 3:​23; 5:​12) Pada diri beberapa orang, keadaannya yang berdosa mungkin tampak dari perbuatan-perbuatan dosanya yang besar dan menggegerkan. Tetapi, sekalipun saudara bukan pelaku dosa sengaja seperti itu, pastilah saudara dalam berbagai hal sering gagal memenuhi standar-standar Allah​—saudara berbuat dosa. Bukankah begitu?

5. Untuk hal apa kita hendaknya bersyukur kepada Allah?

5 Oleh karena itu, situasi saudara mungkin dapat disamakan dengan yang diuraikan rasul Paulus, ”Walaupun kamu telah mati sehubungan dengan pelanggaranmu dan sehubungan dengan keadaanmu yang tidak bersunat secara lahiriah, Allah telah menghidupkan kamu bersama dia [Yesus]. Ia dengan baik hati telah mengampuni semua pelanggaran kita.” (Kolose 2:​13; Efesus 2:​1-3) Perhatikan ungkapan ”mengampuni semua pelanggaran kita”. Itu mencakup banyak hal. Kita masing-masing punya banyak alasan untuk memohon seperti Daud, ”Demi namamu, oh, Yehuwa, ampunilah kesalahanku, karena besarlah kesalahanku itu.”—Mazmur 25:11.

6. Apa yang dapat kita yakini sehubungan dengan Yehuwa dan mengampuni?

6 Bagaimana saudara​—atau kita semua​—dapat memperoleh pengampunan? Kuncinya adalah bahwa Allah Yehuwa bersifat pemaaf. Itu adalah ciri kepribadian-Nya. (Keluaran 34:6, 7; Mazmur 86:5) Tidak heran bila Allah berharap agar kita menghampiri-Nya dalam doa dan meminta ampunan-Nya, memohon agar Ia mengampuni kita. (2 Tawarikh 6:21; Mazmur 103:3, 10, 14) Dan, Ia telah menyediakan suatu dasar hukum untuk memberikan pengampunan​—korban tebusan Yesus.​—Roma 3:​24; 1 Petrus 1:​18, 19; 1 Yohanes 4:​9, 14.

7. Dengan cara bagaimana saudara hendaknya meniru Yehuwa?

7 Dari kesediaan Allah untuk mengampuni, tentulah saudara melihat suatu pola sehubungan dengan cara memperlakukan orang lain. Paulus menyoroti hal ini, dengan menulis, ”Hendaklah kamu baik hati seorang kepada yang lain, memiliki keibaan hati yang lembut, dengan lapang hati mengampuni satu sama lain sebagaimana Allah juga dengan lapang hati mengampuni kamu melalui Kristus.” (Efesus 4:32) Tidak diragukan bahwa Paulus hendak menandaskan pentingnya kita belajar dari teladan Allah, karena ayat selanjutnya berbunyi, ”Karena itu, jadilah peniru Allah, sebagai anak-anak yang dikasihi.” (Efesus 5:1) Apakah saudara melihat hubungannya? Allah Yehuwa mengampuni saudara, jadi—seperti yang ditandaskan oleh Paulus—saudara perlu meniru Dia dan dengan ”keibaan hati yang lembut, dengan lapang hati mengampuni” orang lain. Namun, tanyakan diri saudara, ’Apakah saya berbuat demikian? Sekalipun pemaaf bukanlah sifat dasar saya, apakah saya berupaya memiliki sifat itu, benar-benar berupaya meniru Allah dalam hal mengampuni?’

Kita Perlu Berupaya Mengampuni

8. Apa yang hendaknya kita sadari sehubungan dengan anggota-anggota sidang kita?

8 Alangkah indahnya bila di sidang Kristen tidak timbul banyak keadaan yang menuntut kita mempraktekkan haluan ilahi untuk mengampuni. Tetapi, kenyataannya justru sebaliknya. Memang, saudara-saudari Kristen kita berjuang untuk mengikuti pola kasih yang Yesus contohkan. (Yohanes 13:35; 15:​12, 13; Galatia 6:2) Mereka telah sekian lama berupaya, dan masih berupaya, untuk meninggalkan cara berpikir, cara berbicara, dan cara bertindak dunia yang fasik ini. Mereka benar-benar ingin memperlihatkan kepribadian baru. (Kolose 3:​9, 10) Namun, kita tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa sidang-sidang seluas dunia, dan sidang setempat, terdiri dari manusia-manusia yang tidak sempurna. Secara umum, mereka tentulah sudah lebih baik daripada sebelumnya, namun mereka masih belum sempurna.

9, 10. Mengapa seharusnya kita tidak heran jika ada masalah-masalah yang timbul di antara saudara-saudara?

9 Di dalam Alkitab, Allah dengan sungguh-sungguh memberi tahu kita bahwa ketidaksempurnaan selalu saja ada di sidang, di kalangan saudara-saudari kita. Misalnya, perhatikan kata-kata Paulus yang dicatat di Kolose 3:13, ”Teruslah bersabar seorang terhadap yang lain dan ampuni satu sama lain dengan lapang hati jika ada yang mempunyai alasan untuk mengeluh sehubungan dengan orang lain. Sama seperti Yehuwa dengan lapang hati mengampuni kamu, lakukan itu juga.”

10 Menarik, ayat Alkitab ini mengingatkan kita tentang hubungan antara pengampunan Allah kepada kita dengan kewajiban serta kebutuhan kita untuk mengampuni orang lain. Mengapa mengampuni tidak mudah? Karena, sebagaimana Paulus akui, ada orang yang mungkin ”mempunyai alasan untuk mengeluh sehubungan dengan orang lain”. Ia menyadari bahwa alasan-alasan itu memang ada. Itu benar-benar terjadi pada abad pertama, bahkan di antara ”orang-orang kudus” Kristen, yang mempunyai ’harapan yang disediakan bagi mereka di surga’. (Kolose 1:​2, 5) Jadi, masuk akalkah bila kita mengharapkan keadaan yang sebaliknya di zaman sekarang ini, sementara sebagian besar orang Kristen sejati tidak mendapat peneguhan roh sebagai ”orang-orang pilihan Allah, yang kudus dan dikasihi”? (Kolose 3:​12) Oleh karena itu, janganlah kita langsung berkesimpulan bahwa pasti telah terjadi suatu pelanggaran serius apabila di sidang kita timbul alasan-alasan untuk mengeluh​—rasa tersinggung atas perbuatan salah yang sudah nyata atau yang baru prasangka.

11. Terhadap apa sang murid Yakobus memperingatkan kita?

11 Kata-kata saudara tiri Yesus, Yakobus, juga memperlihatkan bahwa kita harus siap bila sekali waktu menghadapi situasi yang menuntut kita mengampuni saudara kita. ”Siapa yang berhikmat dan berpengertian di antara kamu? Dari tingkah lakunya yang baik, biarlah ia memperlihatkan perbuatannya yang disertai kelemah-lembutan yang berkaitan dengan hikmat. Akan tetapi, jika ada kecemburuan yang pahit dan sifat suka bertengkar dalam hatimu, janganlah membual dan berdusta menentang kebenaran.” (Yakobus 3:​13, 14) ”Kecemburuan yang pahit dan sifat suka bertengkar” di hati orang Kristen sejati? Ya, kata-kata Yakobus menunjukkan dengan jelas bahwa sifat-sifat itu memang timbul di sidang pada abad pertama, demikian pula dewasa ini.

12. Masalah apa timbul di sidang Filipi zaman dahulu?

12 Sebagai contoh, perhatikan kasus yang benar-benar terjadi antara dua orang Kristen terurap yang bereputasi baik sebagai rekan-rekan sekerja Paulus yang giat. Saudara mungkin ingat akan Euodia dan Sintikhe, anggota-anggota sidang Filipi. Meskipun tidak diceritakan secara terperinci, Filipi 4:​2, 3 memperlihatkan bahwa di antara mereka timbul masalah. Apakah masalahnya bermula dari kata-kata yang tidak berperasaan dan tidak ramah, perlakuan yang tidak hormat dari sang kerabat, atau bukti-bukti adanya persaingan yang menimbulkan kecemburuan? Apa pun penyebabnya, masalah itu menjadi begitu serius hingga beritanya sampai ke telinga Paulus yang berada jauh di Roma. Perang dingin mungkin telah berkembang antara dua saudari rohani ini, sehingga mereka saling menjaga jarak di perhimpunan atau saling menjelek-jelekkan sewaktu berbicara dengan teman-teman mereka.

13. Apa yang kemungkinan berhasil diterapkan oleh Euodia dan Sintikhe, dan hikmah apa yang dapat kita peroleh?

13 Bukankah keadaan-keadaan seperti itu sering kita jumpai, mirip dengan yang timbul di antara anggota-anggota sidang saudara atau yang mungkin saudara sendiri hadapi? Masalah semacam itu mungkin timbul sekarang ini secara kecil-kecilan. Apa yang dapat kita lakukan? Dalam kasus di abad pertama itu, Paulus mendesak kedua saudari yang berbakti ini ”memiliki pikiran yang sama dalam Tuan”. Mereka mungkin setuju untuk membicarakan masalahnya, meluruskan duduk persoalannya, saling menyatakan kesediaan untuk mengampuni, dan kemudian meniru sikap pemaaf Yehuwa. Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa Euodia dan Sintikhe tidak berhasil; oleh karena itu, kita pun dapat berhasil. Sikap pemaaf seperti itu dapat juga diterapkan dengan berhasil pada zaman sekarang.

Berdamai​—Mengampuni

14. Sering kali, mengapa mengabaikan perselisihan pribadi merupakan tindakan yang terbaik?

14 Apa yang harus kita perbuat untuk dapat mengampuni sewaktu timbul masalah dengan rekan Kristen kita? Terus-terang, tidak ada cara yang mudah, tetapi Alkitab memberi kita contoh yang berguna dan nasihat yang realistis. Kunci yang disarankan​—meskipun ini tidak mudah diterima dan diterapkan​—adalah melupakan masalahnya, membiarkannya berlalu dari ingatan kita. Sering kali, sewaktu timbul masalah, seperti yang terjadi antara Euodia dan Sintikhe, kedua belah pihak merasa bahwa pihak lainlah yang bersalah atau yang paling banyak salahnya. Jadi, dalam situasi seperti itu, saudara mungkin berpikir bahwa rekan Kristen itulah yang lebih pantas disalahkan atau yang telah banyak menyusahkan. Meskipun demikian, bisakah masalah itu saudara tuntaskan saja dengan cara mengampuni? Sadarilah bahwa kalaupun rekan Kristen saudaralah yang bersalah atau yang paling banyak salahnya, saudaralah yang berada dalam posisi untuk mengabaikan dan menuntaskan masalahnya dengan mengampuni.

15, 16. (a) Bagaimana Mikha menggambarkan Yehuwa? (b) Apa artinya Allah ”mengabaikan pelanggaran”?

15 Hendaknya kita tidak pernah lupa bahwa Allah adalah teladan kita dalam mengampuni. (Efesus 4:32–​5:1) Tentang pola Allah dalam melupakan kesalahan, nabi Mikha menulis, ”Siapakah Allah seperti engkau, pribadi yang mengampuni kesalahan dan mengabaikan pelanggaran dari sisa milik pusakanya? Ia pasti tidak akan bertahan dalam kemarahannya untuk selama-lamanya, sebab ia senang akan kebaikan hati yang penuh kasih.”—Mikha 7:18.

16 Dengan menggambarkan Yehuwa sebagai Pribadi yang ”mengabaikan pelanggaran”, Alkitab tidak memaksudkan bahwa Allah tidak sanggup mengingat kesalahan, seolah-olah Ia mempunyai semacam amnesia selektif. Perhatikan contoh tentang Simson dan Daud, pria-pria yang melakukan kesalahan serius. Allah dapat mengingat dosa-dosa itu lama berselang; bahkan kita mengetahui beberapa dosa mereka karena Yehuwa mencatatnya dalam Alkitab. Namun, Allah kita yang pemaaf memperlihatkan belas kasihan kepada keduanya, menjadikan mereka teladan iman untuk kita tiru.​—Ibrani 11:32; 12:1.

17. (a) Dengan cara bagaimana kita dapat mengabaikan kesalahan orang lain, atau perasaan tersinggung yang disebabkan orang lain? (b) Jika kita berupaya melakukan itu, mengapa dapat dikatakan bahwa kita meniru Yehuwa? (Lihat catatan kaki.)

17 Ya, Yehuwa sanggup ”mengabaikan”a pelanggaran, seberapa kali pun Daud memohonkannya. (2 Samuel 12:13; 24:10) Dapatkah kita meniru Allah dalam hal ini, bersedia mengabaikan perasaan tersinggung dan sakit hati yang ditimbulkan rekan seiman kita karena ketidaksempurnaan manusiawinya? Bayangkan diri saudara berada di pesawat terbang yang sedang melesat di landasan pacu. Ketika melihat ke luar jendela, saudara melihat seorang kenalan dengan konyol dan kekanak-kanakan menjulurkan lidahnya kepada saudara. Saudara tahu bahwa ia sedang marah dan masih menyimpan kekesalan terhadap saudara. Atau, mungkin juga ia sama sekali tidak memikirkan saudara. Yang pasti, sewaktu pesawat tinggal landas, saudara terbang tinggi di atas orang itu, yang sekarang tampak sebesar titik. Satu jam kemudian, saudara telah meninggalkan dia ratusan kilometer jauhnya, dan isyarat konyolnya itu telah lama berlalu. Demikian pula, sering kali kita dapat terbantu untuk mengampuni jika kita berupaya meniru Yehuwa dan dengan bijaksana mengabaikan hal-hal yang menyakiti hati. (Amsal 19:11) Bukankah perasaan sakit hati itu akan tampak sangat kecil sepuluh tahun mendatang atau dua ratus tahun mendatang di Milenium? Mengapa tidak melupakannya saja?

18. Jika kita merasa tidak sanggup melupakan pelanggaran itu, nasihat apa yang dapat kita terapkan?

18 Namun, adakalanya saudara mungkin sudah membawakan masalah ini dalam doa dan berupaya mengampuni, tetapi saudara merasa tidak sanggup. Lalu, apa yang harus saudara perbuat? Yesus menganjurkan agar saudara menemui orang yang bersangkutan dan berupaya menyelesaikan masalahnya secara pribadi untuk berdamai. ”Maka, jika engkau membawa pemberianmu ke mezbah dan di sana engkau mengingat bahwa ada sesuatu yang membuat saudaramu tidak senang, tinggalkan pemberianmu di sana di depan mezbah, dan pergilah; berdamailah dahulu dengan saudaramu, dan kemudian, pada waktu engkau kembali, persembahkanlah pemberianmu.”—Matius 5:​23, 24.

19. Sikap apa yang hendaknya kita miliki dan sikap apa yang hendaknya kita hindari sewaktu hendak berdamai dengan saudara kita?

19 Menarik, Yesus tidak mengatakan bahwa tujuan kita menemui saudara kita adalah untuk meyakinkan dia bahwa saudaralah yang benar dan dialah yang salah. Mungkin, memang dialah yang salah. Mungkin juga, kedua belah pihak melakukan kesalahan. Apa pun situasinya, tujuan kedatangan saudara bukanlah untuk membuat pihak lain mengakui kesalahannya, atau seolah-olah membuatnya menyembah-nyembah minta ampun. Jika seperti itu sikap saudara sewaktu berunding, kemungkinan besar perundingan itu akan gagal. Tujuan pertemuan itu juga bukan untuk mengulas setiap perincian pelanggaran yang sudah nyata atau yang masih prasangka. Apabila perundingan yang dilakukan dengan tenang dalam suasana kasih Kristen itu menyingkapkan adanya kesalahpahaman sebagai inti permasalahannya, kalian berdua dapat mencoba untuk menuntaskannya. Tetapi, sekalipun perundingan itu gagal membuahkan kesepakatan penuh, apakah kesepakatan itu selalu perlu? Bukankah lebih baik jika setidaknya kalian berdua sependapat bahwa masing-masing dengan setulus hati ingin melayani Allah kita yang pemaaf? Jika saudara mempertimbangkan kenyataan itu, mungkin lebih mudah bagi masing-masing untuk mengatakan dengan sepenuh hati, ”Saya menyesal bahwa ketidaksempurnaan kita sampai menimbulkan masalah di antara kita. Saya mohon, mari kita kubur saja masalah ini.”

20. Apa yang dapat kita pelajari dari teladan para rasul?

20 Ingatlah, perselisihan juga timbul di antara para rasul, seperti sewaktu beberapa dari antara mereka berupaya mengejar kemuliaan yang lebih tinggi. (Markus 10:​35-​39; Lukas 9:​46; 22:​24-​26) Ini menimbulkan ketegangan, barangkali perasaan tersinggung, atau bahkan sakit hati yang dalam. Tetapi, mereka sanggup mengabaikan perselisihan itu dan tetap bekerja sama. Salah seorang dari antara mereka belakangan menulis, ”Ia yang mengasihi kehidupan dan ingin melihat hari-hari baik, biarlah ia menahan lidahnya terhadap apa yang jahat dan bibirnya terhadap perkataan yang bersifat menipu, tetapi biarlah ia menjauhi apa yang jahat dan melakukan apa yang baik; biarlah ia mencari perdamaian dan mengejarnya.”​—1 Petrus 3:​10, 11.

21. Nasihat apa yang Yesus berikan secara mendalam tentang mengampuni?

21 Kita telah mengamati satu fase dari sebuah siklus: Allah mengampuni banyak dosa yang kita lakukan di masa lalu, jadi kita seharusnya meniru Dia dan mengampuni saudara-saudara kita. (Mazmur 103:12; Yesaya 43:25) Tetapi, ada lagi fase lain dari siklus ini. Setelah menyampaikan contoh doa, Yesus mengatakan, ”Jika kamu mengampuni orang-orang atas pelanggaran mereka, Bapak surgawimu juga akan mengampuni kamu.” Setahun kemudian, ia menyatakan lagi inti pernyataan itu, mengajar murid-muridnya untuk berdoa, ”Ampunilah kami atas dosa-dosa kami, karena kami sendiri juga mengampuni setiap orang yang berdosa, yang disamakan dengan orang yang berutang kepada kami.” (Matius 6:​12, 14; Lukas 11:4) Kemudian, beberapa hari sebelum kematiannya, Yesus menambahkan, ”Apabila kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah apa pun yang ada antara kamu dengan seseorang; supaya Bapakmu yang di surga juga mengampuni pelanggaran-pelanggaranmu.”—Markus 11:25.

22, 23. Bagaimana kesediaan kita untuk mengampuni berpengaruh terhadap masa depan kita?

22 Ya, prospek kita untuk terus menerima pengampunan Allah sangat ditentukan oleh kesediaan kita untuk mengampuni saudara-saudara kita. Apabila timbul masalah pribadi di antara orang-orang Kristen, tanyakan diri saudara, ’Bukankah memperoleh pengampunan Allah jauh lebih penting daripada berupaya membuktikan kesalahan seorang saudara atau saudari yang agak menyinggung perasaan, yang melakukan pelanggaran kecil, atau yang memperlihatkan ketidaksempurnaan manusianya?’ Saudara tahu jawabannya.

23 Namun, bagaimana jika masalahnya lebih serius daripada masalah pribadi atau pelanggaran sepele? Dan, kapan kita harus menerapkan nasihat Yesus yang dicatat di Matius 18:15-18? Mari kita bahas pertanyaan-pertanyaan ini di artikel berikut.

[Catatan Kaki]

a Salah seorang pakar mengatakan bahwa metafora Ibrani yang digunakan di Mikha 7:18 ”diambil dari tingkah laku seorang kafilah yang berlalu tanpa mempedulikan objek yang tidak ingin ia beri perhatian. Gagasannya ialah bahwa Allah bukannya tidak mempedulikan dosa, bukan pula menganggapnya sepele atau tidak penting, tetapi bahwa Allah tidak mengingat-ingat kesalahan seperti halnya orang yang hendak menghukum; bahwa Ia bukannya hendak menghukum, tetapi mengampuni”.​—Hakim 3:​26; 1 Samuel 16:8.

Ingatkah Saudara?

◻ Bagaimana Yehuwa memberi kita pola untuk mengampuni?

◻ Apa yang harus kita ingat tentang saudara-saudari di sidang?

◻ Pada umumnya, apa yang seharusnya dapat kita lakukan bila merasa tersinggung atau sakit hati?

◻ Jika perlu, apa yang dapat kita lakukan untuk berdamai dengan saudara kita?

[Gambar di hlm. 15]

Sewaktu timbul perselisihan dengan seorang Kristen, berupayalah mengabaikannya; seiring berlalunya waktu, masalahnya lambat laun menjadi tidak penting lagi

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan