PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g85_No14 hlm. 16-20
  • Duka Berganti Harapan

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Duka Berganti Harapan
  • Sedarlah!—1985 (No. 14)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Lari Menyelamatkan Diri
  • Pada Waktu Seseorang yang Dikasihi Meninggal
  • Terang Pengharapan yang Cemerlang
  • ”Kamu Sudah Terlalu Mendalam”
  • Duka berganti Harapan
  • Aku Harus Memilih Satu di Antara Dua Ayah
    Sedarlah!—1998
  • Kami Telah Mencari Dahulu Kerajaan Itu
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1994
  • Dimotivasi oleh Loyalitas Keluarga Saya pada Allah
    Sedarlah!—1998
  • Yehuwa Memberkati Tekad Saya
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1990
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1985 (No. 14)
g85_No14 hlm. 16-20

Duka Berganti Harapan

”Dewan pimpinan ini, atas nama semua anggota dan rekan-rekan sejawat ingin menyatakan dukacita yang dalam atas wafatnya ibu anda. Sifat-sifat yang beliau miliki, keyakinan serta iman beliau yang kuat, mendorong kami untuk menyampaikan kepada anda perasaan turut berdukacita dengan sepenuh hati.”

KATA-KATA yang ramah ini adalah sebagian dari sebuah surat pernyataan turut berdukacita yang saya terima setelah ibu saya meninggal. Surat ini berasal dari sekelompok pria Katolik dari jemaah Santo Yohanes Penginjil, Casa Verde, São Paulo, Brasilia. Tetapi, Ibu adalah seorang Saksi Yehuwa sampai beliau meninggal pada bulan Mei 1966. Bahkan pria-pria Katolik itu harus mengakui gairah yang tak kenal lelah dari Ibu dalam melayani Penciptanya.

Lari Menyelamatkan Diri

Ibu adalah seorang Armenia. Meskipun berada di bawah kekuasaan Turki selama berabad-abad, orang-orang Armenia tetap memisahkan diri, karena mereka mengaku diri Kristen. Sedangkan orang-orang Turki beragama Islam.

Di Stanoz, sebuah kota kecil dekat Ankara, Turki, Ibu dan keluarganya hidup dengan tenang. Namun mendadak, pada tahun 1915, terjadi perubahan dalam kehidupan orang-orang Armenia. Suatu dekrit yang tiba-tiba dikeluarkan oleh pemerintah Turki memerintahkan agar orang-orang Armenia menyerahkan semua peralatan yang dapat digunakan sebagai senjata, seperti pisau dan alat-alat bercocok tanam. Kemudian, tentara-tentara Turki dikirim untuk mengambil semua pria-pria yang sehat dari rumah-rumah mereka. Banyak pria dalam keluarga Ibu diambil, termasuk ayah beliau, yang tidak pernah pulang kembali. Belakangan diketahui bahwa mereka dipenggal kepalanya atau dipukul sampai mati.

Dengan demikian nenek saya tinggal sendirian bersama ibunya yang sudah lanjut usia dan kelima anaknya, termasuk ibu saya. Kemudian tiba saatnya di mana semua harus lari, karena bensin disiram ke atas rumah-rumah mereka dan seluruh kota dibakar. Orang-orang lari menyelamatkan diri, meninggalkan hampir segala sesuatu di belakang. Dalam kebingungan, Ibu mengatakan bahwa mereka lupa melepaskan sapi mereka dan dapat mendengar sapi itu melenguh kesakitan untuk waktu yang lama. Selama beberapa hari langit tertutup oleh awan hitam dari asap api.

Sebagai pengungsi, mereka berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain, dan akhirnya menetap di Prancis. Di sana Ibu bertemu dengan ayah saya, dan pada tahun 1925 mereka menikah. Selama tahun-tahun setelah itu, mereka mendapat seorang putra dan empat putri. Ayah juga seorang Armenia, dari Kaisarea (Kayseri), Asia Kecil. Keluarganya telah mengalami hal-hal yang bahkan lebih mengerikan, karena mereka dibuang, dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, atau mereka menyebutnya aksor (dipaksa keluar). Jadi orang-orang harus meninggalkan semuanya dan pergi ke hutan-hutan, di mana banyak dari antara mereka mati kelaparan atau karena penyakit, atau dibunuh.

Majalah Time tanggal 23 Agustus 1982 menyatakan: ”Keputusan untuk melaksanakan penumpasan disampaikan kepada para pemimpin setempat oleh Menteri Dalam Negeri, Talaat Pasha, pada tahun 1915. Salah satu maklumatnya menyatakan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk ’memusnahkan sama sekali semua orang Armenia yang tinggal di Turki. Mereka semua harus dihabisi, tidak soal betapa keji tindakan yang mungkin diambil dan tidak soal usia, atau jenis kelamin, atau hati nurani yang terganggu.’”

Betapa menakjubkan nantinya bila di bawah Kerajaan Allah tidak akan ada lagi kebencian atau peperangan, dan Firdaus dipulihkan atas seluruh bumi! Maka orang-orang Armenia, Turki, dan orang-orang dari segala bangsa akan hidup bersama dalam damai untuk selama-lamanya.

Tetapi saya ingin menceritakan kepada anda bagaimana keluarga saya dan saya mengetahui tentang harapan yang sedemikian menakjubkan.

Pada Waktu Seseorang yang Dikasihi Meninggal

Pada tahun 1938, ketika saya baru berusia delapan tahun, keluarga kami pindah ke Brasilia. Keluarga kami memilih untuk tinggal di kota São Paulo, sebuah pusat perdagangan yang besar. Di sini kami mulai menjadi kaya secara materi dengan memproduksi torrão, semacam permen yang dibuat dari kacang, yang sangat laku.

Kami merencanakan untuk memperbesar pabrik. Kemudian tiba-tiba kakak laki-laki saya yang pada waktu itu berumur 20 tahun, menderita penyakit bacterial endocarditis (radang di jantung yang ditimbulkan oleh sejenis bakteri). Para dokter memberitahu dia bahwa ia hanya dapat hidup beberapa bulan lagi, tetapi mereka mengatakan mereka dapat mengadakan eksperimen dengan penisilin, yang pada waktu itu masih baru. Namun, demamnya tetap tinggi. Tidak lama kemudian streptomisin dikembangkan. Kami pikir ini obat mujizat. Sayang sekali, kakak saya rupanya alergi terhadap itu, suhu badannya naik sampai 40° Celcius dan kepalanya sakit luar biasa.

Kami menghubungi seorang dokter di Amerika Serikat, dan beliau memberitahu kami tentang sebuah obat baru yang dapat dikombinasikan dengan penisilin. Obat itu dikirim kepada kami melalui pos udara. Pada waktu kami akan berangkat membawa obat itu ke rumah sakit, telepon berbunyi dan mengabarkan bahwa kakak saya sudah meninggal. Ia berumur 22 tahun. Kami menangis siang malam, dan tidak ada seorang pun yang menghibur kami.

Terang Pengharapan yang Cemerlang

Dalam keputusasaan yang dalam Ibu mulai membaca Alkitab dan publikasi-publikasi Menara Pengawal yang didapatkan Ayah selama bertahun-tahun. Ia memohon kepada kami, anak-anak perempuan, untuk membacanya juga. Ayah berbuat demikian, dan beliau mengatakan akan ada suatu kebangkitan dari orang-orang mati. Hal itu membangkitkan minat kami. Ketiga saudara perempuan saya mulai membaca publikasi-publikasi tersebut. Tetapi saya, saya hanya ingin membaca Alkitab, karena saya tidak mau dipengaruhi oleh agama apapun.

Saya ingat suatu percakapan dengan kakak saya sebelum ia meninggal. Ia mengatakan bahwa jika ada kehidupan setelah kematian, ia akan menghubungi saya. Namun, setelah ia meninggal, ia tidak pernah memberikan tanda apapun bahwa ia hidup di tempat lain. Jadi ketika saya membaca dalam Pengkhotbah 9:5 bahwa ”orang-orang yang mati tak tahu apa-apa,” saya tahu bahwa kakak saya tidak hidup di manapun. Dan betapa menghibur untuk membaca kata-kata Yesus: ”Semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suaraNya, dan . . . keluar.” (Yohanes 5:28, 29) Tetapi ketika saya membaca Wahyu 20:5, I saya bertanya dalam hati apa artinya ayat itu. Bunyinya: ”Orang-orang mati yang lain tidak bangkit sebelum berakhir masa yang seribu tahun itu.”

”Ini tidak berarti bahwa orang-orang mati tidak akan keluar dari kuburan sebelum seribu tahun itu berakhir,” kata kakak perempuan saya yang tertua.

”Di mana kau mengetahui tentang hal itu?” saya bertanya.

”Dalam buku-buku yang kau tidak mau baca.”

”Yang mana?”

Ia tidak dapat ingat. Jadi saya mulai membaca buku-buku itu satu demi satu, dan kami mempunyai lebih dari satu lusin buku-buku tersebut! Kadang-kadang saya membaca sepanjang malam untuk mendapatkan penjelasan tentang Wahyu 20:5. Betapa banyak hal yang saya tidak ketahui karena tidak mau membaca buku-buku Menara Pengawal itu!

Pada waktu kami akan memposkan sebuah surat untuk memesan jilid kedua dari buku Light (Terang), mengenai Wahyu, dan publikasi-publikasi lain, seorang Saksi datang ke rumah kami. Ia mengatakan bahwa kami bisa mendapatkan buku-buku itu di Balai Kerajaan Saksi-Saksi Yehuwa dan mengundang kami ke sana. Kami memutuskan untuk pergi. Setelah perhimpunan, Saksi-Saksi itu dengan penuh kasih menyediakan waktu untuk berbicara kepada kami sampai tengah malam dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami mengenai kebangkitan.

Mereka menjelaskan bahwa orang-orang mati yang disebutkan dalam Wahyu 20:5 akan hidup kembali selama Pemerintahan Seribu Tahun dari Kristus, namun mereka tidak akan dikaruniai hidup yang kekal sebelum mereka membuktikan kesetiaan dalam ujian yang penghabisan pada akhir dari seribu tahun itu. Janji kebangkitan kini bagaikan sebuah terang pengharapan yang cemerlang.

”Kamu Sudah Terlalu Mendalam”

Pada akhir pekan yang sama, masih dalam keadaan berkabung atas kematian saudara laki-laki kami, kami mulai mengabar dari rumah ke rumah. Nenek selamat melewati Perang Dunia II dan datang dari Prancis untuk tinggal bersama kami. Beliau seorang Protestan. Ketika saya menunjukkan kepada beliau betapa berbeda Alkitab dari agamanya, beliau mengatakan, ”Sebaiknya kau berbicara kepada pastor di gereja saya.” Pastor setuju untuk berbicara kepada kami, membuat janji agar kami datang ke rumahnya.

”Dalam arti apa Yesus adalah Juruselamat kita?” Pertama-tama saya bertanya kepadanya.

”Ia menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita, dan kita pergi ke surga setelah mati,” jawabannya.

”Dan bagaimana dengan mereka yang tidak diselamatkan?”

”Mereka pergi ke neraka.”

”Ke manakah orang-orang yang setia pergi, yang hidup sebelum Yesus datang ke bumi, seperti Abraham dan Daud?”

”Ke surga.”

”Dan ke manakah orang-orang yang tidak setia pergi, sebelum kematian Yesus?”

”Ke neraka.”

”Maka dalam arti apakah Yesus adalah Juruselamat jika sebelum kematiannya orang-orang yang baik pergi ke surga dan orang-orang yang jahat ke neraka, dan setelah kematiannya sebagai korban halnya sama juga? Dan ke manakah orang-orang yang tidak pernah mendengar tentang Yesus, pergi? Dapatkah mereka pergi ke surga tanpa Kristus? Jika demikian, untuk apa memberitakan Kristus kepada mereka? Atau apakah mereka pergi ke neraka yang berapi-api tanpa pernah mendengar nama Yesus? Jika demikian, maka Yesus tidak datang untuk menyelamatkan mereka juga. Bukankah Yesus adalah Juruselamat dunia ini?”

”Kau sudah terlalu mendalam,” jawab pastor itu. ”Kau tidak perlu mempelajari Alkitab sedemikian dalamnya. Saya sendiri tidak banyak mempelajari Buku itu. Kau harus jujur, menempuh kehidupan yang baik, dan berlaku terhormat, itu saja sudah cukup. Maka kau akan mendapat pahalamu, di manapun juga.”

”Anda maksudkan Alkitab hanya sebuah buku yang berisi moral yang baik dan sopan santun yang baik?” saya bertanya. ”Bahkan orang-orang yang tidak percaya kepada Allah tahu bahwa mereka harus berbuat demikian!”

Saya baru berumur 18 tahun pada waktu itu, sedangkan ia seorang pastor Armenia yang sudah tua, berambut putih. Nenek tidak pernah kembali lagi ke gereja Protestan setelah itu. Beliau menjadi seorang Saksi, dan kami dibaptis bersama-sama pada tanggal 22 Agustus 1948, dengan demikian melambangkan pembaktian kehidupan kami kepada Yehuwa.

Duka berganti Harapan

Ibu, saudara-saudara perempuan saya, dan saya, yang biasanya menangis mengingat kejadian-kejadian yang menyedihkan dalam keluarga kami, kini dengan penuh sukacita menceritakan kepada orang-orang lain tentang Orde Baru dan harapan kebangkitan. Dengan memiliki harapan yang tiada bandingannya itu, apa yang seharusnya kami lakukan? Kembali ke pekerjaan duniawi, mengurus bisnis permen kami? Apakah saya harus menjadi seorang pianis konser, yang dulu adalah cita-cita saya? Atau apakah saya harus menjadi pengabar sepenuh waktu dari kabar baik tentang Kerajaan Allah?

Tidak ada keragu-raguan mengenai hal itu. Satu bulan setelah saya untuk pertama kali menghadiri kebaktian besar dari Saksi-Saksi Yehuwa pada tahun 1948, saya menjadi perintis biasa (penginjil sepenuh waktu), dan tidak lama setelah itu ketiga saudara perempuan saya juga menjadi perintis. Hal ini benar-benar suatu jalan hidup yang penuh berkat!

Hak kehormatan baru diberikan kepada saya pada tahun 1953, ketika saya menerima undangan untuk mengikuti kelas ke-22 dari Sekolah Gilead di mana Saksi-Saksi Yehuwa dilatih untuk menjadi utusan injil. Tetapi kesehatan Ibu tidak terlalu baik. Pada suatu hari ketika kami berdua berada sendirian, saya mengatakan kepada beliau: ”Ibu, jika Yehuwa meminta Ibu untuk melakukan apa yang Ia minta Abraham lakukan, yaitu memberikan putra tunggalnya Ishak sebagai korban, apa yang akan Ibu katakan?”

Ibu berpikir sebentar, lalu menjawab: ”Saya tidak dapat mengatakan tidak kepada Yehuwa.”

”Andai kata Ia meminta sesuatu yang lebih mudah,” saya melanjutkan, ”yaitu, mengijinkan salah seorang putri Ibu menjadi utusan injil di bagian manapun dari dunia ini. Apakah Ibu akan mengijinkan dia pergi?”

Beliau mengatakan ya. Kemudian saya memberitahu beliau bahwa saya akan pergi untuk dilatih sebagai utusan injil. Kakak perempuan saya yang tertua, Siranouche, tetap tinggal di rumah untuk mengurus orangtua kami.

Karena ditugaskan kembali ke Brasilia setelah Sekolah Gilead, saya melayani selama kurang dari dua tahun di Lages, Santa Katarina, di mana hanya ada dua Saksi, dan saya menyaksikan dibentuknya sebuah sidang yang baru. Kemudian pada tahun 1956 saya mendapat tawaran hak kehormatan yang sangat saya kasihi, yaitu bekerja di kantor cabang Lembaga Menara Pengawal di Brasilia, di tempat saya melayani sampai sekarang. Ibu tidak pernah meminta saya untuk kembali ke rumah, meskipun beliau menjadi janda pada tahun 1962 dan hanya mempunyai sedikit uang untuk membiayai dirinya. Beliau merasa puas dengan sedikit, dan beliau selalu menulis surat-surat yang paling menganjurkan kepada saya.

Setelah saya bekerja selama 20 tahun di kantor cabang, salah seorang saudara perempuan saya, Vehanouch, yang mengikuti kelas ke-33 di Gilead, juga bekerja di kantor cabang. Sekarang kami berdua bekerja di bidang penerjemahan dan proofreading (mengoreksi cetakan percobaan).

Kedua saudara perempuan saya yang lain juga tetap dalam pelayanan sepenuh waktu. Gulemia, yang paling muda, mulai sebagai perintis biasa pada tahun 1949 ketika berumur 14 tahun, dan sejak tahun 1960 menjadi perintis istimewa (yang membaktikan 140 jam sebulan dalam pekerjaan pengabaran). Pada tahun 1966, setelah ibu saya meninggal, kakak perempuan saya yang tertua, Siranouche, menjadi pasangan Gulemia sebagai perintis istimewa. Mereka sekarang melayani di sebuah kota kecil bernama Caconde, di tengah-tengah pegunungan, di daerah São Paulo.

Tidak ada pekerjaan lain yang dapat memberi kita lebih banyak sukacita dari pada memberitakan Kerajaan Allah. Kami bersyukur kepada Yehuwa dan Kristus karena menggunakan kami sama seperti ’empat anak dari Filipus.’ (Kisah 21:9) Kami berempat mendapat hak kehormatan untuk membantu kira-kira 400 orang menemukan sukacita yang sama ini. Kami telah melihat jumlah Saksi-Saksi di Brasilia bertambah dari 1.300 menjadi lebih dari 170.000.

Yang terutama sangat menarik bagi kami ialah apa yang kami lihat di Stadion Olimpiade di Munich, Jerman, tahun 1978, di bagian Turki dari Kebaktian Internasional ”Iman yang Berkemenangan.” Ini sesuatu yang sangat menyentuh hati kami—orang-orang Armenia dan Turki duduk bersama dalam damai dan kasih yang sejati, mendengarkan nasihat Alkitab! Setelah acara hari itu selesai, menurut anda siapa yang menawarkan diri untuk mengantar kami dengan mobilnya ke tempat penginapan kami? Ya, seorang Saksi Turki! Benar, Yehuwa membuat banyak mujizat!

Betapa lebih banyak sukacita yang dapat kita nikmati jika kita tetap setia kepada Pencipta kita yang pengasih! Maka kita akan melihat kemenangan dari KerajaanNya dan berada di sana untuk menyambut kembali orang-orang yang kita kasihi dalam kebangkitan!—Diceritakan oleh Hosa Yazedjian.

[Blurb di hlm. 16]

Banyak pria dalam keluarga Ibu diambil, dan tidak pernah kedengaran lagi kabarnya

[Blurb di hlm. 17]

’Mereka harus dihabisi dan hati nurani yang terganggu tidak perlu dipersoalkan’

[Blurb di hlm. 17]

Karena saya tidak mau dipengaruhi oleh agama apapun, saya tidak mau membaca bacaan dari Saksi-Saksi Yehuwa

[Blurb di hlm. 20]

Orang-orang Armenia dan Turki duduk bersama dalam damai dan kasih, mendengarkan nasihat Alkitab

[Gambar di hlm. 18]

Hosa Yazedjian di kantor pusat Watch Tower di Brasilia, di tempat ia bekerja

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan